Belakangan ini, pemberian amnesti dan abolisi kepada Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto pada Juli 2025 lalu menjadi perbincangan hangat, terutama terkait upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Salah satu hal yang jadi sorotan utama adalah bagaimana kebijakan ini justru bisa membawa dampak negatif bagi sistem hukum kita yang sebenarnya sedang berjuang memperbaiki diri.
Pemerintah sendiri berargumen bahwa pemberian amnesti dan abolisi itu adalah cara untuk memperkuat persatuan bangsa, serta meringankan beban sistem hukum yang sudah sangat penuh dengan kasus korupsi. Mereka melihat langkah ini sebagai sesuatu yang pragmatis demi meredam ketegangan politik sekaligus menciptakan suasana yang lebih kondusif bagi negara.
Tapi, kalau saya lihat dari sudut pandang mahasiswa, saya merasa kebijakan ini justru membawa resiko besar yang seringkali terlupakan. Hukuman yang diberikan pada pelaku korupsi seharusnya bisa memberikan efek jera yang kuat agar tidak ada lagi yang berani melakukan hal serupa. Tapi dengan amnesti dan abolisi, jadi seperti ada anggapan bahwa tindakan korupsi itu bisa dimaklumi, bahkan terasa seperti bisa “dibeli” atau diampuni begitu saja.
Mereka yang sebenarnya harus bertanggung jawab dan menjalani hukuman akhirnya mendapatkan keringanan yang terasa kurang adil kalau dilihat dari segi kerugian yang sudah mereka timbulkan. Lebih jauh lagi, kebijakan ini punya potensi besar untuk menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum dan keadilan di Indonesia.
Bisa dibayangkan, ketika masyarakat melihat adanya intervensi politik yang melibatkan partai-partai besar dalam proses ini, tentu publik jadi curiga bahwa pemberian pengampunan ini bukan hanya soal keadilan, tapi juga alat politik semata. Ini bisa bikin rasa keadilan jadi kabur dan membuat korban serta masyarakat merasa tak dianggap serius. Pada akhirnya, saya sbagai mahasiswa melihat bahwa walaupun tujuan pemerintah ingin menjaga stabilitas dan persatuan, pemberian amnesti dan abolisi bagi koruptor harus dikaji ulang dengan sangat teliti dan hati-hati. Jangan sampai kita justru mengorbankan prinsip keadilan dan upaya pemberantasan korupsi demi alasan pragmatis yang sifatnya sementara.
Muhammad Hammam Gifary
Mahasiswa Komunikasi Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Nasional
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI