Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Truthuk, Teror Akustik Ala Anak Kreatif

11 Oktober 2015   19:52 Diperbarui: 11 Oktober 2015   19:52 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Truthuk. Sampel, tidak dijual. (Sumber: Dokpri)"][/caption]

Kami menyebutnya truthuk. Karena bunyi dasarnya memang terdengar truthuk..thuk..thuk..thuk. Bagi kami, sebenarnya ini hiburan dan dolanan. Tapi bagi orang lain, hal itu kadang mengagetkan dan menjengkelkan.

Kami membuatnya dari kaleng bekas. Entah bekas kaleng susu atau bekas kaleng cat. Kami pasangkan dua batang kayu atau bambu sekelingking sebagai kaki-kakinya di bagian bawah dan sebagai sepasang sungut di bagian atas, lalu kami ikatkan beberapa karet gelang di badan kalengnya.

Kami lubangi koin usang lima rupiahan zaman dulu atau tutup botol tepat di tengahnya. Kami masukkan sepasang gelang karet, kami rentang ke kiri dan ke kanan, kami sangkutkan pada sungut-sungut kayu di tepinya. Kami putar koin dalam arah horizontal hingga karet-karet pengikatnya terpilin-pilin. Jika koin itu kami lepas, berputarlah ia sambil memukul bagian atas kaleng dan menimbulkan suara berisik truthuk..thuk..thuk..thuk. Makin banyak pilinan karet penahan koin, makin lama durasi suaranya. Makin besar kalengnya, makin keras bunyinya.

Awalnya truthuk hanya kami bawa-bawa dan kami bunyikan. Saat lain kami tancapkan di tanah lalu kami mainkan. Selanjutnya kami coba ganjal dengan batu bertali panjang sehingga bisa dibunyikan dari kejauhan. Awalnya memang asyik, tapi lama-lama membosankan. Tak heran, perkembangan ide kami pun mulai memerlukan sasaran.

Maka kami tancapkan truthuk-truthuk kami di tepi jalan desa yang berpagar tanaman. Biasanya tanaman wura-wari bang, bambu-bambuan, atau teh-tehan. Kami "kokang" truthuk kami dengan batu bertali sebagai "detonator"-nya seraya mengamati calon 'klien' (sebenarnya lebih cocok disebut calon korban).

Korban favorit kami adalah orang yang berjalan sambil melamun. Begitu calon korban terlihat mendekat, kami pun berpencar masuk ke lubang-lubang tempat sampah sambil memegang tali yang terhubung dengan batu pengganjal koin. Begitu korban berada di posisi yang kami sepakati, kami tarik tali-tali kami secara serempak. Maka pecahlah kesunyian oleh bunyi truthuk-truthuk kami.

Biasanya klien akan terlonjak kaget, tak jarang marah dan mengumpat. Tapi kami hanya tertawa cekikikan di lubang-lubang persembunyian kami yang belasan meter jauhnya dari tepi jalan. Itu pun masih dengan bersembunyi di bawah tumpukan sampah daun pisang. Pokoknya aman.

Memang asyik. Seronok kalau kata Upin–Ipin. Meski telinga kami terpaksa sering kena jewer atau slentik oleh orangtua kami. Mereka katakan perbuatan kami tak baik karena mengganggu orang, apalagi sasaran kami kebanyakan orang-orang tua. Bagaimana kalau korban kami ternyata punya penyakit jantung?

Namun, kami bergeming. Aksi teror akustik terus kami lanjutkan. Toh ada saat di mana orangtua kami tak di rumah. Maka korban kami makin banyak saja. Dari yang melompat saking kagetnya hingga sepeda yang nyungsep ke pagar hidup akibat hilangnya konsentrasi pengendaranya.

Metode operasi kami pun bervariasi. Kadang tali "detonator" kami rentang ke tengah jalan supaya korban sendiri yang memicu berbunyinya truthuk kami. Bisa karena tersangkut kaki maupun terdorong roda sepeda. Kami amati saja dari jauh tanpa rasa berdosa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun