Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sekolah: Alat Makin Modern, Durasinya Justru Makin Panjang

21 Agustus 2016   09:59 Diperbarui: 21 Agustus 2016   10:16 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: iowadailydemocrat.com

Dalam lagunya "Siti Julaika", Franky Sahilatua dan sang adik Jane Sahilatua bercerita. Tentang dua sejoli yang bekerja di sebuah pabrik gula. Siti Julaika dan Durahim namanya. Keduanya menikah secara sederhana. Namun, saat lahir anak pertama, mereka sudah tidak lagi bekerja. Pabrik gula mengurangi tenaga kerja manusia, mesin-mesin telah didatangkan untuk menggantikan fungsi mereka.

Pabrik gula merupakan institusi bisnis. Tentu saja keuntungan menjadi salah satu fokus utamanya. Hitung-hitungan efisiensi pastinya selalu dilakukan agar keuntungan maksimal atas sejumlah biaya produksi tertentu. Efisiensi biaya rumit hitungannya, efisiensi waktu lebih mudah diamati dan dirasa. Jika semula untuk menghasilkan sejumlah tertentu gula perlu waktu satu hari, dengan bantuan mesin bisa jadi cuma setengah hari, misalnya.

Analogi di Bidang Pendidikan

Kita buat analogi dari ilustrasi di atas pada proses pembelajaran di dunia pendidikan Indonesia. Contoh kasus: jika proses pembelajaran konvensional (manual, sistem ceramah, tatap muka) perlu waktu 10 jam pelajaran di sekolah (minimal 5 kali tatap muka) untuk menyelesaikan satu pokok bahasan tertentu, maka dengan bantuan teknologi (IT dan Internet) mestinya hanya butuh 5 jam atau bahkan kurang (1 – 2 kali tatap muka). Karena proses belajar selanjutnya bisa dilakukan secara mandiri, tanpa harus "menghadirkan" guru secara fisik. Belajar bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja dengan bantuan komputer maupun perangkat multimedia lainnya. Kemajuan teknologi menghasilkan efisiensi waktu dan efektivitas pembelajaran.

Namun, sepertinya terjadi kontradiksi. Teknologi di bidang pendidikan sudah semakin maju, tetapi waktu belajar di sekolah bukan makin singkat, justru makin panjang dan padat. Terbukti dengan adanya sekolah yang merasa perlu memberikan les tambahan di luar jam pelajaran atau bahkan menerapkan sistem sekolah seharian (full day school).

Kalaupun bukan kontradiksi, berarti memang terjadi lonjakan kuantitas beban pelajaran yang dipaksajejalkan pada anak didik di masa sekarang. Beban kurikulum makin berat. Paling tidak jika dibandingkan dengan masa-masa sebelum internet berkembang. Mungkin ada yang dulunya materi tingkat SMP, sekarang sudah menjadi beban anak-anak SD; yang dulunya materi tingkat SMA, sekarang sudah menjadi beban anak SMP. Secara tersirat, anak-anak sekarang memang dipaksa tumbuh cepat secepat-cepatnya; tidak diperkenankan terlalu lama menikmati dunia kanak-kanaknya. Bijaksanakah?

Mengingat teknologi informasi dan komunikasi sudah sedemikian maju, mestinya bisa dimanfaatkan untuk "memangkas" durasi jam sekolah. Namun, mengapa kemajuan teknologi seakan tak berguna sehingga kemdikbud justru memimpikan pemberlakuan sistem sekolah seharian? Meski praktiknya tidak seharian (misal hanya sampai pukul 16.00), full day school terkesan menyiratkan niat "pemenjaraan". Anak-anak "ditahan" selama mungkin di sekolah supaya tidak "bebas berkeliaran" dan berbuat macam-macam tanpa pengawasan. Dengan cara pandang demikian, libur sekolah pastinya menjadi dilema. Bahkan bisa dianggap "berbahaya" bagi siswa.

Anak-Anak Enjoy Sekolah Seharian?

Agak aneh menyaksikan pendapat sebagian orang bahwa anak-anak mereka yang sekolah seharian ternyata "enjoy saja" tanpa merasa tertekan. Karena yang namanya anak-anak, meski dikumpulkan dalam sel tahanan dan hanya diberi makanan satu-dua kali seharian, mereka juga akan tetap bermain, gembira, dan bercanda dengan teman-temannya. Mungkin satu-satunya hal yang bisa merampas kebahagiaan mereka adalah "bullying", baik oleh teman sebaya maupun orang yang lebih tua. Selagi tak ada bullying, mereka akan enjoy aja, nggak ada capeknya, meski sampai malam juga.

Jadi, dari sudut pandang anak, pastilah full day school tidak sempat terpikir sebagai sesuatu yang memberatkan. Mereka hanya menganggap itu sebagai peraturan. Dan tugas mereka memang mengikuti peraturan itu, bukan ikut memikirkan filosofinya.

Pernah Dicoba Sebelumnya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun