Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sekolah: Alat Makin Modern, Durasinya Justru Makin Panjang

21 Agustus 2016   09:59 Diperbarui: 21 Agustus 2016   10:16 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: iowadailydemocrat.com

Sekitar 20-an tahun yang lalu, sistem sekolah hampir seharian pernah juga diujicobakan. Hanya saja waktu itu "semangatnya" untuk memberi waktu libur yang lebih panjang. Karena perhitungannya jadwal pelajaran hari Sabtu disebar ke 5 hari lainnya, supaya siswa-siswa bisa libur dua hari seminggu, supaya liburnya Sabtu-Minggu, bukan cuma Minggu. Kebetulan waktu itu uji cobanya berbarengan waktunya dengan uji coba sistem 5 hari kerja. Pekerja kantoran yang biasanya pulang jam 1-2 siang, terpaksa pulang lebih sorean dengan kompensasi: hari Sabtu ikut liburan.

Ujicoba sekolah lima hari menuai banyak kritikan. Anak-anak ditengarai mengalami kelelahan, baik fisik maupun mental. Alhasil, sekolah 5 hari tidak jadi diwajibkan.

Berbeda halnya dengan sistem 5 hari kerja. Meski juga menuai banyak kritikan karena sebagian pegawai jadi tak bisa menjalankan kerja sambilan, mengurusi sawah–ladang–perkebunan dan obyekan, kebijakan 5 hari kerja tetap diteruskan, meski ada pengecualian.

Apa yang Hendak Dicapai dalam Sistem Full Day School Sekarang?

Agak membingungkan wacana kebijakan full day school sekarang. Karena jika tujuannya memperkecil waktu kontak siswa dengan dunia luar selain sekolah, pastinya hari Sabtu tidak akan dijadikan hari libur. Hari Sabtu tetap masuk, jadinya full day school 6 hari sekolah. Bahkan kalau bisa, hari Minggu tetap bersekolah, tetap dalam pengawasan sekolah. Karena itulah menguat pula wacana boarding school atau sekolah berasrama yang memungkinkan para siswanya tinggal/ menetap di lingkungan sekolah selama pendidikan.

Mungkin terlalu fokus pada anak didik sehingga melupakan tenaga pendidiknya. Tenaga pendidik juga manusia biasa yang biasanya juga memiliki keluarga. Apalagi yang sudah menikah. Jika dibebani jam kerja/mengajar yang 'berlebihan', tentu interaksinya dengan keluarga menjadi berkurang. Bahkan bisa jadi seorang guru malah tidak sempat mengurusi anaknya sendiri. Keluarga para pengajar tentu perlu dipikirkan sebagai bahan evaluasi kebijakan. Kecuali sekolah diasuh oleh para bruder dan suster yang memang "mengabdikan diri" pada dunia pendidikan sebagai bentuk pelayanan pada Tuhan.


Kalau mau didramatisir, pastinya banyak aspek yang bisa dijadikan perdebatan. Keberpihakan saya agak mengambang karena belum sepenuhnya paham mendikbud kita punya kemauan, tetapi saya lebih cenderung menginginkan jam sekolah diminimalkan saja dengan mengefektifkan penggunaan teknologi pembelajaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun