Mohon tunggu...
Al Gifari
Al Gifari Mohon Tunggu... Lulusan Sarjana Hukum | Pernah nulis jurnal, artikel, sampai caption galau | Meneliti realita, menulis pakai hati (dan sedikit sarkasme)

Membawa keresahan lokal ke ruang publik. Menulis tentang lingkungan, budaya, dan realita sosial. Kalau tulisan saya bikin kamu nggak nyaman, mungkin karena kenyataannya emang begitu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kain Tenun Jadi Cendera Mata, Tapi Bukan Jalan Sejahtera

13 Juli 2025   15:54 Diperbarui: 13 Juli 2025   16:46 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendorong tenun sebagai kekuatan ekonomi tidak bisa dilakukan sendirian. Pemerintah daerah perlu membentuk pusat pemasaran tenun berbasis koperasi dan mendampingi penenun hingga ke level digital. Anak-anak muda bisa terlibat aktif sebagai pendamping teknologi membantu promosi, dokumentasi, dan akses pasar.

Motif tenun Maumere memang telah mendapatkan perlindungan melalui Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), dan ini merupakan langkah penting. Namun, perlindungan hukum saja tidak cukup jika tidak diiringi dengan keberpihakan nyata terhadap kesejahteraan penenun.

Pariwisata berbasis edukasi tenun bisa menjadi alternatif baru yang lebih adil di mana wisatawan berinteraksi langsung dengan penenun, memahami proses kreatifnya, dan menghargai hasil karya secara utuh.

Jika semua pihak terlibat, maka tenun tak hanya lestari sebagai budaya, tapi juga tumbuh sebagai sumber ekonomi yang adil dan berkelanjutan.

Kain yang Menenun Masa Depan

Sebagai orang yang lahir dan tumbuh di Maumere, saya tidak ingin tenun kami hanya jadi simbol yang dipakai pejabat saat acara penting. Saya ingin tenun tetap hidup, berdenyut di tangan-tangan perempuan desa, dan menjadi sumber martabat serta kemandirian ekonomi.

Tenun mengajarkan ketekunan. Ia mengajarkan bahwa keindahan lahir dari kesabaran. Maka, tugas kita hari ini adalah menjadikan ketekunan itu bernilai bukan hanya secara budaya, tapi juga secara ekonomi.

Jangan biarkan penenun tetap miskin di tengah gemerlap pariwisata. Jangan biarkan warisan budaya dijual murah tanpa perlindungan. Jika benar kita bangga dengan tenun, maka sudah waktunya kita memperjuangkan mereka yang menenunnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun