Sayangnya, tidak ada jaminan harga tetap. Penenun menjual ke tengkulak karena tidak punya akses pasar langsung. Kadang harga ditentukan sepihak. Mereka tidak punya kekuatan tawar. Sistem koperasi pun belum berkembang luas. Banyak yang tidak tahu soal pemasaran online, dan tidak punya cukup modal untuk menyimpan kain sampai harga naik.
Saya pernah menyaksikan seorang ibu menjual kain ukuran dua meter seharga Rp150 ribu padahal ia menenunnya selama dua minggu. Tak jarang, penenun menjual hasil karyanya di bawah harga bahan karena mendesak butuh uang.
Tantangan: Tengkulak, Harga, dan Eksploitasi
Masalah utama dalam ekonomi tenun di Maumere adalah struktur pasar yang timpang. Tengkulak yang memiliki akses ke pembeli luar daerah atau turis mengambil keuntungan besar. Sementara penenun, yang memeras tenaga dan waktu, hanya dapat sisa kecil.
Tidak jarang, motif lokal Maumere dicetak ulang secara massal di luar daerah lalu dijual kembali sebagai "tenun Maumere palsu" di e-commerce besar. Ini bukan hanya eksploitasi ekonomi, tapi juga perampasan identitas budaya.
Belum lagi soal regenerasi. Anak muda enggan belajar menenun karena melihat ibunya tak dihargai. Mereka lebih memilih merantau ke kota daripada duduk di bawah rumah memintal benang. Jika ini terus terjadi, bukan hanya ekonomi yang terancam---budaya pun ikut punah.
Potensi Ekonomi Kreatif dan Digitalisasi
Meski penuh tantangan, potensi ekonomi tenun di Maumere luar biasa besar. Tenun bukan produk musiman. Ia punya cerita, keunikan, dan daya tarik global. Di era ekonomi kreatif, narasi lokal seperti ini justru sangat dicari.
Sudah ada beberapa komunitas muda di Maumere yang mencoba memasarkan tenun lewat TikTok dan Instagram. Mereka memotret proses menenun, mewawancarai penenun, lalu menjual produk langsung ke konsumen tanpa tengkulak. Respons pasar luar biasa.
Namun, gerakan ini belum masif. Dibutuhkan pelatihan digital, penguatan koperasi tenun, dan regulasi perlindungan motif. Pemerintah daerah seharusnya tidak berhenti di lomba-lomba promosi atau pameran seremonial. Mereka perlu menciptakan sistem distribusi yang adil dan berkelanjutan.
Upaya Kolektif dan Harapan Masa Depan