Mohon tunggu...
Al Gifari
Al Gifari Mohon Tunggu... Lulusan Sarjana Hukum | Pernah nulis jurnal, artikel, sampai caption galau | Meneliti realita, menulis pakai hati (dan sedikit sarkasme)

Membawa keresahan lokal ke ruang publik. Menulis tentang lingkungan, budaya, dan realita sosial. Kalau tulisan saya bikin kamu nggak nyaman, mungkin karena kenyataannya emang begitu.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Ekonomi Kita Tak Sakit, Tapi Salah Arah: Saat Pertumbuhan Tak Sejalan dengan Keadilan

11 Juli 2025   16:37 Diperbarui: 11 Juli 2025   16:37 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Statistik boleh bicara tentang pertumbuhan. Tapi ketika rumah tangga masih bergantung pada utang, petani terpinggirkan, dan pekerja kehilangan arah maka kita harus bertanya: ekonomi ini tumbuh ke mana, dan untuk siapa?"

Indonesia sering dibanggakan sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil. Data makroekonomi menunjukkan angka-angka yang tampak menjanjikan: pertumbuhan PDB berkisar di angka 5 persen, inflasi terkendali, neraca perdagangan positif. Namun jika kita jujur menengok ke jalan-jalan sempit, ke pasar tradisional, ke desa-desa terpencil, atau ke rumah-rumah kontrakan padat di pinggiran kota, kita akan mendapati kenyataan lain: pertumbuhan itu belum berpihak pada keadilan.

Perekonomian kita bukan sakit. Ia tumbuh. Tapi tumbuh ke arah yang salah.

Pertumbuhan Tanpa Pemerataan

Selama dua dekade terakhir, Indonesia terus mendorong narasi pertumbuhan ekonomi sebagai ukuran utama keberhasilan. Namun, pertanyaan mendasarnya: pertumbuhan untuk siapa? Sementara sektor-sektor unggulan seperti tambang, properti, dan digital berkembang pesat, sebagian besar masyarakat masih berkutat pada pekerjaan informal, upah rendah, dan ketidakpastian hidup.

Data dari BPS menunjukkan bahwa kesenjangan (rasio Gini) masih tinggi di banyak daerah. Ketimpangan antarwilayah, antara desa dan kota, antara Indonesia Barat dan Timur, menciptakan wajah ganda dalam satu negara: satu menikmati bonus demografi, lainnya terjebak dalam stagnasi pembangunan.

Pekerja Bukan Pemilik Masa Depan

Pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang oleh konsumsi rumah tangga, namun sebagian besar pekerja kita belum memiliki jaminan sosial dan keamanan kerja yang memadai. Buruh pabrik, pengemudi ojek online, karyawan kontrak, hingga pekerja lepas di sektor digital seringkali tidak memiliki posisi tawar dalam sistem ekonomi.

Sementara itu, pemilik modal besar terus memperluas usahanya, mendapat insentif dan fasilitas negara, tanpa kewajiban sosial yang sepadan. Ini bukan sekadar soal kaya dan miskin, tetapi soal relasi kuasa antara mereka yang memegang kendali dan mereka yang menopang fondasinya.

Keadilan Sosial: Amanat yang Terabaikan

Konstitusi kita tegas menyebut bahwa negara harus mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun sayangnya, keadilan sering kali didefinisikan secara sempit sebagai distribusi bantuan sosial atau subsidi. Padahal, keadilan sejati adalah soal akses: akses terhadap pendidikan, kesehatan, pekerjaan layak, hingga kepemilikan tanah dan sumber daya.

Di banyak daerah, masyarakat lokal tergusur oleh proyek strategis nasional. Lahan mereka diambil, hutan mereka dibabat, demi pembangunan yang katanya untuk semua, tapi manfaatnya hanya dirasakan segelintir. Jika ini dibiarkan, kepercayaan pada sistem ekonomi nasional akan terus menurun.

Narasi Palsu Kemakmuran

Di media sosial, kita sering disuguhi cerita sukses startup, influencer muda kaya raya, atau bisnis online yang menjanjikan jutaan rupiah per hari. Tapi itu bukan realitas mayoritas. Narasi kemakmuran yang dibangun seringkali menutupi wajah ekonomi riil yang penuh perjuangan.

Banyak anak muda terjebak dalam impian instan: investasi bodong, pinjol ilegal, dan gaya hidup konsumtif yang tidak sejalan dengan kondisi finansial mereka. Ini bukan semata kesalahan individu, tetapi akibat dari sistem ekonomi yang lebih banyak menjual mimpi ketimbang membangun fondasi.

Solusi: Arah Baru yang Berkeadilan

Jika ekonomi kita ingin lebih sehat, maka ia harus ditata ulang. Pertama, kita perlu menggeser fokus dari pertumbuhan ke pemerataan. Pemerintah harus lebih berani mengintervensi pasar untuk melindungi yang lemah, bukan hanya memfasilitasi yang kuat.

Kedua, reformasi agraria dan redistribusi aset harus dijalankan secara nyata, bukan hanya dalam pidato politik. Tanah, air, dan sumber daya alam tidak boleh dikuasai oleh segelintir orang.

Ketiga, ekonomi lokal dan komunitas harus diperkuat. UMKM, koperasi, dan ekonomi berbasis desa bukan pelengkap, tapi seharusnya jadi tulang punggung ekonomi nasional.

Keempat, pendidikan dan pelatihan vokasi harus diarahkan untuk mencetak wirausaha sosial, bukan hanya pencari kerja.

Penutup: Ekonomi yang Menghidupi, Bukan Menyisakan

Ekonomi yang baik bukan sekadar yang tumbuh cepat, tapi yang menghidupi sebanyak mungkin orang. Kita tidak butuh statistik yang membanggakan jika itu hanya berlaku untuk menara-menara tinggi di kota besar.

Sudah saatnya kita mengevaluasi arah pertumbuhan kita. Bukan untuk menghentikan kemajuan, tapi untuk memastikan bahwa kemajuan itu tidak meninggalkan siapa pun di belakang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun