Sebelum Anda lanjut membaca, coba jawab satu hal: kalau sebuah sekolah tak punya listrik dan sinyal, lalu diberi laptop, itu namanya bantuan… atau beban? Â
Refleksi dari Timur Indonesia tentang laptop yang datang sebelum sinyal, dan anggaran yang besar sebelum kesiapan
Saya lahir dan besar di sebuah desa di Maumere, Nusa Tenggara Timur. Kampung kami jauh dari hingar-bingar kota, tapi punya mimpi besar soal pendidikan. Kami percaya bahwa sekolah adalah jendela perubahan. Tapi dalam kenyataannya, jendela itu sering tertutup rapat oleh keterbatasan: guru yang datang dan pergi, buku yang tak cukup, ruang kelas yang bocor, dan listrik yang hidup hanya beberapa jam sehari.
Maka, saat kabar pengadaan laptop Chromebook senilai Rp9,9 triliun diumumkan oleh pemerintah, saya terdiam lama. Bukan karena tak bangga melainkan karena bingung: untuk siapa proyek ini sebenarnya?
Chromebook Datang, Sinyal Belum Ada
Di banyak sekolah tempat saya dulu belajar, sinyal adalah barang langka. Untuk sekadar mengirim pesan WhatsApp saja, murid harus naik ke bukit. Listrik? Sering mati tanpa pemberitahuan. Belajar daring? Jangan ditanya, fotokopi bahan ajar pun masih jadi perjuangan. Tapi tiba-tiba, datanglah laptop. Chromebook yang katanya canggih itu diserahkan sebagai 'alat bantu belajar'.
Ironis. Karena yang terjadi kemudian adalah alat disimpan rapi, tak tersentuh. Guru tidak tahu cara memakainya. Siswa tak punya akses internet. Sekolah tak punya teknisi. Dan kelas tetap berlangsung seperti biasa menggunakan papan tulis, buku bekas, dan suara pelan guru yang sabar mengulang materi.
Digitalisasi atau Sekadar Belanja?
Kebijakan ini terasa tergesa, seolah-olah dikejar tayang alih-alih lahir dari rencana yang matang. Lihat saja faktanya: Chromebook dibagikan secara massal tanpa mempertimbangkan kesiapan masing-masing sekolah; pelatihan dasar bagi guru pun tidak merata. Banyak sekolah masih kesulitan akses listrik dan koneksi internet yang stabil, namun tetap mendapat perangkat digital tanpa pendampingan yang memadai. Lebih ironis lagi, distribusi besar-besaran ini dilakukan tanpa evaluasi terlebih dahulu, seakan yang penting bukan dampaknya, melainkan jumlahnya.
Apakah kita sedang mendigitalisasi pendidikan? Ataukah hanya sedang memoles wajah sistem pendidikan agar tampak modern, sementara akar masalahnya tetap dibiarkan?