Rasanya baru kemarin kita masih bertanya-tanya kapan teknologi bakal jadi secanggih film sci-fi. Eh tiba-tiba sudah ada deepfake yang bisa bikin video palsu Sri Mulyani ngomong guru adalah beban negara. Ironis sih, padahal guru-guru itulah yang dulunya mengajari kita buat berpikir kritis.
Video yang viral itu ternyata hasil deepfake dari pidato Sri Mulyani di Forum Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia di ITB pada 7 Agustus 2025. Jadi ada orang iseng yang ngambil pidato asli, terus diedit pakai AI sampai keliatan seolah-olah beliau bilang hal yang kontroversial. Keren sih teknologinya, tapi serem juga dampaknya.
Yang bikin geleng kepala, betapa cepatnya konten ini viral tanpa banyak orang yang sempat ngecek dulu. Era sekarang sangat aneh, informasi bisa nyebar lebih cepat dari pada virus flu di angkot. Tapi verifikasinya? Ya gitu deh, sering ketinggalan kereta.
Banyak penulis yang biasanya bangga dengan kemampuan analisis dan logika mereka, begitu liat video viral di timeline langsung auto-pilot jari. Otak yang katanya dipenuhi dengan critical thinking tiba-tiba pindah.... Post dulu, mikir belakangan. Padahal kalau nulis artikel biasa bisa riset berhari-hari, tapi kalau udah berhadapan sama konten medsos yang juicy, semua protokol intelektual langsung dibuang ke tong sampah.
Media sosial memang udah jadi medan perang informasi yang chaos. Satu video muncul, langsung dishare ratusan ribu kali sebelum ada yang sempat konfirmasi ke sumbernya. Yang lebih ironis lagi, para penulis yang seharusnya jadi garda terdepan dalam menyaring informasi malah ikutan jadi broadcaster hoaks. Algoritma platform media sosial juga makin nambah masalah karena prioritasnya engagement, bukan akurasi. Yang viral itu yang laku, mau bener atau salah mah belakangan.
Penulis dan jurnalis harusnya punya standar lebih tinggi dibanding netizen biasa. Tapi realitanya? Banyak yang langsung reactive writing begitu ada isu panas tanpa cross-check dulu. Dalihnya sih takut ketinggalan momentum, tapi ujung-ujungnya malah ikut nyebarin misinformasi. Ironis banget, profesi yang hidup dari kata-kata malah jadi korban dari kecerobohan kata-kata sendiri.
Teknologi deepfake sendiri sebenarnya punya potensi positif. Bisa dipake buat film, pendidikan, atau rekonstruksi sejarah. Tapi ya begini, seperti pisau yang bisa buat masak tapi juga buat berbahaya kalau salah pakai. Masalahnya, tidak semua orang punya niat baik.
Kemenkeu langsung klarifikasi bahwa video tersebut hoaks, tapi damage-nya udah telanjur terjadi. Banyak orang yang udah keburu percaya dan marah duluan. Ini yang bahaya dari disinformasi: walau udah dibantah resmi, ada aja yang masih percaya versi palsu.
Sekarang kita hidup di zaman dimana mata telanjang udah gak bisa diandalkan lagi. Video yang kelihatan real bisa aja fake. Audio yang kedengarannya familiar mungkin hasil rekayasa. Foto yang dramatis barangkali cuma hasil edit canggih. Skeptisisme sehat jadi skill wajib, bukan pilihan.
Yang bikin sedih, profesi guru yang udah susah payah mendidik bangsa malah jadi sasaran hoaks. Ironi banget kan? Orang-orang yang mengajarkan literasi malah dikorbankan dari rendahnya literasi digital masyarakat.
Pelajaran dari kasus ini cukup jelas: jangan langsung percaya sama konten viral, apalagi yang kontroversial. Cek dulu ke sumber resmi. Tanya sama yang ahli. Jangan jadi bagian dari chain penyebar hoaks. Simple, tapi susah dipraktekkan di tengah hiruk pikuk media sosial.
Teknologi terus berkembang, deepfake bakal makin canggih dan sulit dideteksi. Kalau sekarang masih bisa dibedain sama mata jeli, mungkin beberapa tahun lagi udah hampir sempurna. Kita perlu prepare diri dan upgrade skill digital literacy sebelum terlalu terlambat.
Platform media sosial juga perlu lebih aktif deteksi dan hapus konten palsu. Tapi jangan berharap mereka solve semua masalah. Pada akhirnya, user sendirilah yang harus smart dan responsible. Share dengan bijak, verifikasi sebelum percaya, dan ingat bahwa setiap klik punya konsekuensi.
Dunia digital memberi kita akses informasi tak terbatas, tapi juga membuka pintu buat manipulasi yang sophisticated. Balance antara keterbukaan informasi dan filter hoaks jadi challenge besar. Terlalu ketat bisa jadi censorship, terlalu longgar malah jadi chaos seperti sekarang.
Mungkin ini saatnya kita lebih appreciate profesi fact-checker dan jurnalis investigatif. Mereka yang bekerja di belakang layar buat memastikan informasi yang kita terima akurat. Tough job di era post-truth ini, tapi sangat penting buat demokrasi dan peradaban.
Akhirnya, kasus Sri Mulyani ini cuma satu contoh dari banyak kasus deepfake yang bakal terus bermunculan. Bukan cuma public figure, orang biasa juga bisa jadi target. Privasi dan reputasi jadi lebih vulnerable dari sebelumnya. Welcome to the digital age, dimana reality dan fiction makin susah dibedain.