Langit mendung. Sama sekali tak menunjukkan kecerahannya yang membuat hati manusia senang. Apa langit juga merasakan sedihnya bagaimana hati manusia yang berdiri disini. Cahayanya semakin redup. Apa matahari juga merasakan sedih seperti kami sehingga ia mengurangi cahayanya untuk menyamakan warna dominan yang kami kenakan?. Ini tak lucu, mengapa seolah alam mendukung hal ini terjadi.
Secara bergantian rintik air hujan turun. Apa langit juga merasakan sedih seperti kami sehingga ia juga menangis. Rintiknya semakin deras. Apa alam bisa sesedih itu?. Mengapa alam seperti seolah tidak membantu keadaan paling tidak agar kami tidak terlalu bersedih. Aku benci situasi seperti ini. Situasi dimana rasa sedih benar benar merasuk ke dalam jantung, berlanjut ke paru-paru dan hati. Merasakannya, seolah kami ingin mati.
Aku mengenakan gaun hitam. Memegang payung berwarna hitam. Semua mengenakan benda serba hitam. Mengapa seakan mereka mendukung suasana kesedihan yang dominan kegelapan. Hening, hanya terdengar isakan beberapa sanak saudara yang ditinggalkan. Hening, hanya terdengar suara jatuhnya air hujan. Seperti pesta. Banyak orang yang datang. Mengenakan pakaian dengan konsep yang sama. Namun bedanya, disini hening dan bukan kebahagiaan yang kami dapatkan saat datang ke pesta ini.
"kak, konsep pakaian sama. Yang datang juga banyak. apa kita sedang berpesta?" Tanya seorang gadis kecil yang berdiri di sampingku yang tidak mengerti dimana dia sedang berada.
"Ya, Pesta kematian." Bisikku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H