Mohon tunggu...
Germanus Loy Teku
Germanus Loy Teku Mohon Tunggu... Lainnya - Segala Sesuatu Ada Waktunya

Roger That

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kontrasepsi Untuk Si Nenek

12 Agustus 2016   18:49 Diperbarui: 12 Agustus 2016   18:55 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tentu saja tak ada seutas niatpun memberikan pil itu kepadanya. Tapi apa mau dikata, singkong telah menjadi tape. Yang tersisa cuma kegelian. Saat si nenek terbaring di ranjangnya, dia secara rutin mendapat kiriman pil dari dokter. Entah kenapa, pagi itu giliranku yang memberi si nenek pil. Kekagumanku padanya adalah semangat untuk bertahan hidup. Tanpa banyak tanya dia menerima semua bantuan kecil dan besar yang bisa membuat semangatnya berkobar-kobar. Termasuk tanpa banyak mengeluh menerima pil yang kuangsurkan padanya. Dia tidak bisa melihat, dan dari sanalah tragedy Kontrasepsi dimulai.

Namanya Linda. Baru kukenal kurang lebih tujuh bulan yang lalu. Waktu yang sama dengan kenalku pada temannya, orang yang padanya saya bekerja. Tapi dengan cepat keduanya menjadi temanku, walaupun pada awalnya sedap-sedap pedas bagiku untuk beradaptasi. Maklum saya dari pulau nyaris terpencil di timur Indonesia dan keduanya dari seberang lautan.

Jauh sekali tempat kelahiran mereka sehingga mereka tidak berbicara dengan bahasa sehari-hariku, Bahasa Indonesia. Kadang-kadang temanya berbicara Bahasa Indonesia, tapi bagiku sering jadi bahan ledekan karena aksennya persis seperti pastor-pastor barat yang bicara Bahasa Indonesia di gereja-gereja, kapela-kapela atau jalan-jalan di Flores. Linda berbicara beberapa kata penting saja seperti kosakata ampuh, Terima kasih dan bahasa para pemilik seribu pura, becik-becik, baik-baik.

Kini dia terbaring lemah di rumah sakit yang para perawatnya ramah tak ketulungan. Kalau di tempatku cuma bisa kudapatkan di rumah sakit - sejauh pengalaman pribadi- yang pengelolanya suster-suster. Harap saja sudah salah penilaianku sekarang :) Duduk di samping tempat tidurnya malam itu seperti sebuah moment kontemplasi dan refleksi.

Sesekali, sebenarnya terus-terus tepatnya, situasi itu terganggu dengan kegatalan tangan era digital yang belum tobat mengusap dan menyentuh layar handphone, pergi kamar mandi, mengembara di lorong rumah sakit sedikit. Ada gangguan lain yang memperkaya refleksiku dan mempermalukanku di saat yang sama. 

Tempat tidur ketiga setelah Linda  terbaring seorang bule perempuan . Kasihan juga saya melihatnya. Entah sakitnya apa tetapi dia sendirian. Sama sekali berbeda dengan pasien Indonesia di tempat tidur kedua  dan Linda yang kebetulan saja malam itu kutemani. Beberapa kali bule itu mengerang kesakitan. Dengan rela hati kubantu sebisaku memanggil perawat. Beberapa kali, lalu menjadi sering sampai pada dia memerintahku untuk cepat panggilkan perawat dengan nada tinggi.

Perlahan tawarlah hatiku  saat kulihat Linda tetap bergeming di tempat tidurnya tanpa ada keluhan yang keluar. Wajahnya sakit, gerakannya lemah dan saat posisi tidurnya tampak tidak nyaman, tidak ada erangan. Diam saja. Ketika saya dan perawat memperbaiki posisi tidurnya dia berujar dengan sangat jelas, Terima Kasih. Lalu diam lagi.

Linda selalu berterima kasih untuk apapun yang kita lakukan untuknya. Tidak terkecuali hal yang paling remeh temeh. Sehari sebelum ke rumah sakit, dia mengungkapkannya ini secara verbal saat saya menutup pintu kamarnya dan menghidupkan AC untuknya. Hari berikutnya dia tetap berbicara, namun terang sudah berlalu dari padanya. Matanya terbuka namun tidak melihat. 

Sambil memperhatikan napasnya yang terengah karena paru-paru yang parah, aku ingat pada ibuku yang cuma kudengar suaranya. Seperti Linda, mereka adalah para pelanggan rumah sakit. Entah sudah berapa kali ibuku mengembara dari rumah sakit yang satu ke rumah sakit yang lain. Ini telah menjadi hal yang biasa bagi kami anak-anaknya.

Bagi ayahku, ini seperti sebuah ujian janji sehidup-semati di depan altar bertahun-tahun yang lalu. Saya tidak ingin mengatakan kapan itu karena sebagai anak sulung, kalian pasti akan menerka umurku. Ayahku mencintainya setengah mati dan ibuku mati matian berusaha sembuh walaupun kadang nyaris menyerah atau sedikit manja kalau kami berada di sekelilingnya. 

Saat pagi tiba setelah perawat selesai menyalin pakainnya, kisah kontrasepsi perlahan-lahan dimulai. Girangnya hatiku bukan kepalang saat dia mengizinkanku menyuapinya beberapa sesap kopi susu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun