Beberapa waktu yang lalu media sosial sedang heboh membahas video kontroversi oleh seorang Tik Toker bernama Rizky Kabah. Bagaimana tidak, ia membuat banyak orang geram lewat pernyataannya yang mengatakan bahwa semua guru adalah koruptor. Lewat videonya ia juga menyebutkan bahwa semua guru korupsi agar bisa membangun rumah ataupun berlibur. Terlepas dari kepribadian atau cara Rizky mengungkapkan perasaan lewat video yang ia unggah di media sosial seharusnya ia lebih bijak lagi dalam membuat dan meramu konten.
Sebagai seorang guru saya sangat menyayangkan hal tersebut, disaat saya dan mungkin banyak guru lainnya yang sedang berjuang untuk mendidik para pelajar agar bijak menggunakan media sosial. Ia seolah tutup mata terhadap dampak dari konten-konten yang ia buat, karena dapat diakses oleh siapapun dan dimanapun. Perjuangan seorang guru di negeri ini bukanlah perkara hal yang mudah. Guru di pelosok misalnya, ia harus berjuang setiap hari untuk bisa mencapai sekolah tempat ia mengajar dengan segala keterbatasan transportasi, media ajar maupun fasilitas yang ada di sekolah tempat ia mengajar. Guru honorer juga harus lapang dada dengan gaji yang terkadang tidak sampai tiga ratus ribu per-bulan. Adapun guru yang sudah PNS atau ASN harus menitipkan SK-nya di bank, agar dapat mencicil rumah atau meminjam uang untuk keperluan mendesak.
Benarkah Semua Guru Korupsi?
Saya tidak akan membahas panjang lebar masalah kebenaran pernyataan, klarifikasi dan permohonan maaf yang sudah di post oleh Tik Toker tersebut. Saya spesifik akan membahas kata "korupsi" yang dilayangkan Rizki kepada semua guru. Lalu, "Apakah benar semua guru itu korupsi? Apakah benar semua guru meminta dana tambahan kepada orangtua siswa?". Menggenaralisasi guru dengan kata "Semua" jelas tidak tepat. Banyak guru yang benar-benar mendedikasikan hidupnya secara tulus untuk mencerdaskan anak bangsa, terlepas dari jumlah materi yang ia peroleh. Bahkan banyak diantara guru-guru harus mengeluarkan uang pribadi untuk membeli bahan peraga atau fasilitas pembelajaran, menyediakan administrasi kelas, menyediakan soal-soal sumatif yang menarik bagi siswa. Ini masih berbicara tentang materi, belum hal-hal lain seperti waktu, pikiran, idealisme dan emosi yang terkadang terkuras habis untuk menyelesaikan persoalan lain di sekolah disamping kegiatan mengajar di kelas.
Di era media sosial saat ini tentu guru-guru harus berhati-hati dalam menyampaikan informasi kepada peserta didik. Terlebih di sekolah negeri, saya sendiri sebagai wali kelas dan guru mata pelajaran IPA harus memutar otak jika ingin mengumpulkan dana untuk kegiatan tugas kelompok atau keperluan praktikum lainnya. Â Sebagai wali kelas saya menyerahkan sepenuhnya kepada bendahara kelas terkait pengumpulan uang kas kelas dan nominalnya pun berdasarkan kesepakatan bersama. Selain itu untuk tugas kelompok saya berusaha meminimalisir pengeluar dengan membuat lembar kerja yang dapat diakses siswa secara digital on-time dengan gawai mereka sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya untuk mencetak laporan. Kemajuan teknologi dan informasi jika dapat dimanfaatkan dengan baik dapat mengurangi beban moril seorang guru yang sering dikaitkan dengan aktivitas menghimpun dana dari peserta didik.Â
Tentang Kebiasaan Memberi Hadiah Kepada Guru
Di Jepang tidak ada perayaan hari guru secara nasional layaknya di Indonesia. Fakta ini saya peroleh dari beberapa sumber bacaan saya di media sosial. "Bagaimana mungkin sebuah negara yang pendidikannya sangat maju tidak punya hari khusus untuk mengungkapkan rasa terimakasihnya kepada guru?" Negera maju seperti jepang tidak memiliki hari khusus untuk berterimakasih kepada guru. Warga negera Jepang meyakini bahwa guru adalah seorang individu yang memang layak dihormati setiap harinya. Rasa hormat bukan berarti melalui ucapan terimakasih atau memberikan hadiah pada satu hari tertentu, namun melalui tindakan nyata guru dimana guru diberikan rasa nyaman ketika berada dalam masyarakat.
Saya teringat seorang dosen dari universitas Oxford yang melarang mahasiswanya bertepuk tangan sebagai penghargaan setelah ia selesai menyelesaikan mata kuliah di kelasnya. Ia mengatakan bahwa itu adalah pekerjaannya jadi tidak perlu melakukan hal tersebut. Ia juga mengatakan: Ia akan membiarkan mereka bertepuk tangan jika mahasiswanya membantu petugas kebersihan membersihkan sampah yang ada dikelas tersebut. Ini adalah perihal hal berterimakasih yang sangat menyentuh saya.
Bagaimana di Indonesia?
Saat pembagian laporan hasil belajar (rapor) pasti menjadi momen yang dinantikan sekaligus menegangkan bagi siswa dan orang tua. Di balik perasaan lega atau kecewa atas hasil belajar, tersimpan tradisi unik di berbagai sekolah di Indonesia, yakni pemberian hadiah kepada guru. Tindakan ini seringkali dibungkus dengan niat baik sebagai bentuk apresiasi atas jasa guru dalam mendidik anak. Namun, di balik niat baik tersebut, tersimpan sejumlah pertanyaan di benak saya. Apakah hal tersebut termaksud tindakan korupsi?
Apakah Hadiah Kepada Guru Bentuk Apresiasi?
Menurut S. Hornby Korupsi adalah suatu pemberian atau penawaran dan penerimaan hadian berupa suap, serta kebusukan atau keburukan. Pemberian hadiah kepada guru seringkali dipandang sebagai bentuk penghargaan atas kerja keras yang telah ia lakukan. Di Indonesia guru dianggap sebagai pahlawan tanpa tanda jasa yang patut diberikan apresiasi lebih. Namun, seiring berjalannya waktu, tradisi ini mulai mengarah pada sesuatu yang lebih kompleks. Apakah pemberian hadiah ini murni didasari oleh rasa terima kasih, atau lebih kepada bentuk kebiasaan di sosial masyarakat yang sulit ditolak?
Beberapa pendapat mengatakan kekhawatiran bahwa pemberian hadiah dapat memunculkan ekspektasi tertentu dari guru. Guru mungkin merasa terbebani untuk memberikan nilai yang lebih baik kepada siswa yang orang tuanya memberikan hadiah. Hal ini tentu saja dapat merusak integritas dan profesionalisme guru. Hal ini pula yang mendasari saya untuk berusaha menolak pemberian berupa hadiah atau bingkisan saat pembagian rapor disekolah. Meskipun beberapa orangtua peserta didik merasa pemberian hadiah adalah hal yang wajar namun ada juga orangtua peserta didik yang mengerti dan menghargai keputusan saya.