Ratna Sarumpaet menjadi perbincangan dalam beberapa waktu ini, setelah kabar bohongnya, menghiasi media, namun, jika kita melihat kebelakang banyak rangkaian hoax yang sudah disebarkan oleh masyarakat.Â
Polisi pun tidak tinggal diam dalam penanganan hoax ini, tercatat kelompok Saracen, Muslim Cyber Army menjadi target sasaran dari pihak kepolisian, mereka menggunakan sarana media sosial untuk menyebarkan hoaxnya, bahkan membuat media abal-abal yang mirip dengan media online yang familiar. Maka dari itu jurnalisme menjadi hal yang penting dalam penyebaran berita yang benar, karena pada dasarnya jurnalis yang menulis berita mempunyai kode etik yang menjadi panduan dalam penulisan berita.
Masyarakat Indonesia sangat tertarik dengan berita yang menghebohkan atau menyangkut masalah politik, maka hal inilah yang dimanfaatkan oleh penyebar hoax.Â
Masyarakat Indonesia seakan-akan mudah 'dibodohi' dengan isu-isu tersebut, penyebar hoax dengan mudah menyebarkan berita itu dan masyarakat menelan mentah-mentah tanpa adanya verivikasi. Maka dari itu penulis berita atau jurnalis harus mengedepankan fakta, bukan opini yang ada dimasyarakat, apalagi opini dari si penulis berita tersebut.Â
Hoax dalam Cambridge dictionary mempunyai arti tipuan atau lelucon, dalam konteks budaya hoax mengarah pada aktifitas menipu. Aktifitas hoax di Indonesia secara gamblang mulai terlihat menjelang Pemilihan Presiden tahun 2014, kemudian muncul kembali di tahun 2016 saat menjelang pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, isu politik dan agama menjadi hal yang empuk untuk dijadikan bahan hoax.
Tahun 2014
Berita bohong ini menjadi laris manis di masyarakat karena tidak ada tindakan tegas dari Lembaga terkait, seperti kepolisian dan KPU, hal ini yang membuat seolah-olah berita bohong dapat berjalan dengan mulus.
Tahun 2016
Hoax atau berita palsu kebanyakan disebarkan melalui aplikasi media sosial, seperti Facebook, dan aplikasi pengiriman pesan Whatsapp.