Pandemi Covid 19 telah menyebabkan keadaan global menjadi tak menentu melihat penemuan vaksin sampai saat ini belum ditemukan secara pasti walaupun sudah ada beberapa produk sedang uji klinis dan Uji Tahap ke III seperti Sinovac antivirus berasal dari China. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia terus mencari antivirus secepatnya agar dapat diproduksi secara massal.
Pada tahap ini, Pemerintah Indonesia juga harus memikirkan keadaan ekonomi Indonesia yang pada Kuartal ke II Indonesia mengalami kontraksi Pertumbuhan Ekonomi Rill sebesar  -5,3% dan diprediksi pada kuartal ke III akan -2,9% atau kita akan masuk kedalam Resesi Technikal.
Resesi Technical adalah kontraksi pertumbuhan ekonomi secara 2 kuartal secara berturut-turut. Resesi ini berdasarkan siklus bisnis berada pada posisi peak sampai trough.
Dari Kebijakan Fiskal pemerintah telah melakukan belanja  pemerintah. Berdasarkan data sampai akhir bulan September 2020 Pemerintah berhasil mengakselerasi Belanja Negara sebesar Rp1.841,10 triliun atau sekitar 67,21% dari  Perpres 72/2020. Jumlah itu meliputi realisasi Belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp1.211,40 triliun (61,3%) dan realisasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) sebesar Rp629,70 triliun (82,4%).
Lalu pemerintah juga memotong pajak PPH pasal 21 dan PPH badan agar meringankan beban Industri yang terdampak serta pemberian bantuan UMKM sebesar Rp 2400.000.
Dari segi moneter Bank Indonesia telah melakukan beberapa kebijakan Moneter seperti penurunan BI rate sebanyak 100 BPS sampai bulan Oktober 2020 pada suku bunga 4% dalam rangka meringankan kredit, Melakukan kebijakan Quantitive Easing(QE) atau pelonggaran Likuiditas dengan memberi surat hutang jangka panjang untuk meningkatkan perekonomian dan akan menarik pinjaman dan Investasi.
Akan tetapi, dengan melihat beberapa kebijakan pemerintah dalam menstabilkan perekonomian hal tersebut menyebakan defisit APBN semakin besar.
Defisit anggaran naik 170% jika dibandingkan realisasi pada tahun lalu yang hanya Rp 252,41 triliun atau 1,57% dari PDB. Hal itu yang menjadi perhatian pemerintah untuk menutup deficit APBN yang semakin membesar. Salah satunya adalah dengan melakukan pinjaman ke Luar negeri.
Kebijakan untuk melakukan pinjaman ke luar negeri ternyata tidak effektif  dalam menstabilkan perekonomian melihat dana yang dipinjam dialokasikan kepada Bantuan Sosial yang tidak tepat sasaran misalnya adalah Kartu Prakerja dimana yang seharusnya menerima bantuan ini adalah Unemployment atau pengangguran sebaliknya kebnyakan diterima oleh orang yang bekerja akibatnya tujuan yang harusnya meningkatkan daya beli masyarakat terutama adalah tingkat konsumsi secara agregat tidak effective malah menyebabkan hutang kita ke luar negeri semakin meningkat.