Mohon tunggu...
Geofakta Razali
Geofakta Razali Mohon Tunggu... Dosen - Nata Academy

Pemerhati Postmodernisme dan Komunikasi Psikologi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Psikologi Fanatisme dan Penyebaran Hoaks Era Homo Digitalis

1 Juli 2022   10:27 Diperbarui: 3 Juli 2022   09:03 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Foto oleh ROBIN WORRALL via Unsplash)

Di abad ke 21 ini, perkataan Nietzche cukup relevan tentang "Ke mana pun aku pergi. Selalu mengikutiku seekor anjing yang Bernama ego". Ego manusia homo digitalis menjelma menjadi sebuah algoritma yang tidak jarang menipu. Lalu dimanakah fungsi berpikir pada homo digitalis saat ini?

Menurut saya, proses berpikir manusia saat ini berada dalam posisi gamang antara sebuah fiksi dan fakta. Dan ini merupaka efek dari sulitnya melakukan verifikasi pada informasi.

Saat ini, proses rasionalisasi manusia terjadi secara bersamaan dengan sentimentalisasi manusia. Kecanggihan teknologi komunikasi dan smartphone membuat manusia tidak menyadari bahwa dirinya bisa menghasilkan tindakan brutal lewat pesan-pesannya jika sentimentalnya tidak dikendalikan dengan baik.

Michael Foucault pernah memakai kata tanpa "sorot mata psikiatri" mengatakan tentang psikologi manusia saat ini di dunia digital mengabaikan komunikasi moral.

Kebebasan membuat manusia homo digitalis melambung sebebas-bebasnya seolah-olah menemukan dirinya menemukan dunia baru tanpa negara. Eksibisionisme, narsisme mendapat panggung dengan ditunjang fanatisme dalam kurangnya pengawasan moral.

Sentimentalisasi privat sebagai fanatisme ini dipengaruhi beberapa isu dari agama, ras, gender untuk membelah kesatuan informasi. Pada abad ke-18, David Hume lebih menggunakan istilah "antusiasme" sebagai adjektif fanatisme yang menyangkut sikap religi berlebihan, ekstrim secara buta. Fanatisme sekaligus merupakan masalah penting dalam menentang ideologi negara yang demokratis.

Dalam filsafat kontemporer dan pemikiran-pemikirannya, psikologi orang fanatis ini dianggap merupakan ciri individi yang mengalami instabilitas psikis. Atau isitilah lain juga seperti "fundamentalisme".

Berangkat dari tahun 2019 dalam Pemilu, fanatisme kemudian masuk kepada lanskap politik yang fenomenal yang menhasilkan istilah lawan dan kawan dapat membelah keluarga, menceraikan persahabatan, dan merusak hubungan kerja menjadi tegang.

Psikologi fanatisme menjadi "aku sudah online" dalam media sosial untuk membela suatu kepercayaan dan kepentingan berubah menjadi ujaran penuh kebencian pada orang yang bertentangan dengan dirinya.

Analisa dan Contoh Fanatisme dalam Cara Berpikir, Hoaks, dan Ujaran Kebencian

Era digital ini membuka pentas semakin transparan dalam pamer fanatisme. Tidak perlu lagi ruangan khusus, panggung, aula auditorium dalam mempresentasikan ide propaganda. Isu yang lebih penting adalah narsisme yang penuh kebencian kepada yang berbeda pendapat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun