Mohon tunggu...
GEDE SUARNAYA
GEDE SUARNAYA Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Peminat Masalah Reformasi Birokrasi, Keuangan Negara, Administrasi & Kebijakan Publik, serta Manajemen Strategi.\r\nSemoga bisa memberikan i\r\nnspirasi dan manfaat bagi kita semua.\r\nBlog Pribadi: www.gedesuarnaya.com.\r\nTwitter@gedesuarnaya\r\n

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mencari Moral Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan

27 Oktober 2011   01:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:27 1609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemaknaan masyarakat yang sempit terhadap korupsi yang hanya bersifat ekonomistik atau merugikan keuangan negara saja, membuat perilaku yang sebenarnya korup menjadi sumir dan dilegalkan. Lantas apa yang terjadi dengan sempitnya pemaknaan itu? Jelas, bahwa para perusak lingkungan semakin melenggang bak seorang model, merusak lingkungan dengan “berbagai gaya”

Pembuat bata merah di Buleleng dalam waktu dekat ini dipastikan akan membayar Pajak kepada pemerintah. Hal ini menyusul disusunnya Perda tentang Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan. Atas kondisi ini, para pembuat bata merah di Buleleng hanya bisa pasrah. Mereka meminta agar tarif pajak diringankan. (Bali Post, 17/10/2011)

Tidak bisa dipungkiri lagi, sebagai konsekwensi dari otonomi daerah, Pemerintah Daerah harus berupaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) masing-masing. Dengan PAD yang tinggi diharapkan bisa berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat di daerah yang bersangkutan.

Sesuai dengan amanah Undang-Undang nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, maka selain Retribusi, Pajak Daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang sangat penting dalam membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah. Untuk mewujudkannya, diperlukan upaya untuk mengoptimalkan penggalian sumber-sumber Pajak Daerah melalui kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi Objek dan Subjek Pajak Daerah sesuai dengan Undang-Undang. Untuk mengatur mekanisme pelaksanaan di lapangan maka perlu disusun Peraturan Daerah (Perda).

Salah satu Perda yang sedang digodok di DPRD Buleleng adalah Perda tentang Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan.Namun sangat disayangkan sekali, belum jadi Perda saja sudah membuat para pelaku usaha pembuatan bata merah di Buleleng resah. Bisa dimaklumi memang, pelaku usaha pembuatan bata merah di Buleleng sebagian besar berskala kecil dan modalnya pas-pasan. Ditambah lagi, jika usaha yang digeluti tersebut menjadi tumpuan kehidupan bagi keluarga mereka. Jadi, kontan saja mereka “gerah” jika mendengar usaha mereka akan dipajaki.

Bukan Pajak Atas Pembuatan Bata Merah

Pengertian Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah berdasarkan Undang-Undang No.28 Tahun 2009 adalah “pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di dalam dan/atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan”.

Lalu, apakah pembuatan bata merah kena pajak?. Dalam Pasal57 ayat (1) huruf (dd) disebutkan bahwa, “Objek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah kegiatan pengambilan Mineral Bukan logam dan Batuan yang meliputi: huruf (dd). “tanah liat”. Jadi, berdasarkan Undang-Undang tersebut yang dipajaki adalah kegiatan pengambilan bahan baku pembuatan bata merahnya yaitu tanah liat. Pemahaman masyarakat yang keliru terhadap Objek Pajak yang akan dipajaki, bisa membuat upayapemerintah dalam meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat dalam membayar Pajak akan sia-sia.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah kapan kegiatan pengambilan Mineral Bukan Logam dan batuan tidak dikenai atau dikecualikan Pajak?. Pasal 57 ayat (2) huruf (a) dalam Undang-Undang yang sama disebutkan bahwa “kegiatan pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan yang nyata-nyata tidak dimanfaatkan secara komersial, seperti kegiatan pengambilan tanah untuk keperluan rumah tangga, pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel listrik/telepon, penanaman pipa air/gas”.Jadi sepanjang kegiatan pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan dalam hal ini tanah liat, hanya manfaatkan untuk kepentingan sendiri dan tidak untuk diperjualbelikan, maka kegiatan tersebut tidak dipajaki.

Penulis mengamati beberapa kondisi yang mungkin terjadi di lapangan terkait dengan kondisi Objek Pajak.Pertama, apakah atas pengambilan tanah liat yang memanfaatkan lahan/tanah milik sendiri untuk pembuatan bata merah yang diperjualbelikan akan dikenai Pajak Daerah?. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, kegiatan pengambilan tanah liat tersebut dikenai Pajak Daerah, karena pemanfaatanya digunakan untuk kepentingan komersial, meskipun tanah tersebut milik sendiri. Tentu saja, para pengusaha bata merah tersebut tidak serta-merta dikenai Pajak daerah begitu saja. Dalam Perda nanti, akan diatur tarif Pajak (berdasarkan UU PDRD paling tinggi 25%), dasar pengenaan Pajaknya (nilai jual pengambilan tanah), serta batasan volume/tonase hasil pengambilan tanahnya. Nilai jual pengambilan tanah yang dimaksud adalah dihitung dengan mengalikan volume/tonase hasil pengambilan dengan nilai pasar atau harga standar masing-masing jenis Mineral Bukan Logam dan Batuan.

Semua pengusaha bata merah yang ada harus didata apakah sudah memenuhi kriteria sebagaiWajib Pajak Daerah atau tidak. Jika sudah memenuhi, maka wajib dikukuhkan sebagai Wajib Pajak Daerah dan diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah (NPWPD). Disamping itu, pengusaha yang melakukan penggalian wajib memperoleh ijin penggalian dari instansi terkait.

Kedua, apakah atas pembuatan bata merah dengan memanfaatkan bahan baku tanah liat dari hasil pembelian tanahdenganpihak lain dikenai Pajak daerah?. Dalam kondisi tersebut, yang dikenai Pajak Daerah adalah penjual yang melakukan kegiatan pengambilan tanah liat, sudah jelas karena kegiatan pengambilan tanah liat tersebut digunakan untuk kepentingan komersial. Bagaimana dengan pengusaha bata merahnya? Pengusaha bata merah apabila telah memenuhi syarat untuk dikukuhkan sebagai Wajib Pajak (WP) akan dikenakan Pajak Penghasilan atas usaha pembuatan bata merah dan kepadanya diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sesuai dengan tarif Pasal 17 Undang-Undang nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan dan UU nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Untuk menghindari duplikasi pengenaan Pajak, maka kebijakan pungutan pajak daerah tidak boleh tumpang tindih dengan pungutan Pajak Pusat. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang nomor 28 tahun 2009, “Daerah dilarang memungut Pajak selain jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2)”.

Pemungutan Pajak Harus Adil

Bicara Pajak tentu harus bicara keadilan. Oleh karena itu, agar pemungutan Pajak tidak menimbulkan penolakan dari masyarakat, maka dalam pungutannya harus benar-benar memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.

Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedangkan adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak (Mardiasmo,2009:2). Keadilan dalam penerapan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan akan tercermin dalam pengenaan tarif Pajaknya. Tarif Pajak yang dikenakan adalah tarif tunggal, artinya tarif tersebut berlaku sama bagi semua pengusaha galian, tidak memandang apakah pengusaha tersebut bermodal “cekak” atau tidak. Yang membedakan adalah volume/tonase galiannya. Semakin besar volume/tonase galian, maka semakin besar pula Pajak Daerah yang harus dibayar. Jangan Khawatir, Wajib Pajak berhak mengajukan keberatan dan banding terhadap Pajak yang dikenakan serta mengajukan Pengurangan Ketetapan dan Sanksi Administratif.

Disamping syarat keadilan, pemungutan Pajak tersebut seyogyanya tidak menggangu perekonomian masyarakat (syarat ekonomis). Jangan sampai gara-gara penerapan Perda tersebut, kegiatan produksi dan perdagangan masyarakat menjadi terganggu. Apalagi banyak penduduk desa di Bali, yang memang secara turun- temurun menggantungkan kelangsungan hidup keluarga mereka pada usaha pembuatanbata merah.

Moral Pajak (Tax Morale)

Kerusakan lingkungan yang secara terus-menerus terjadi di sekitar kita, sadar atau tidak akan menjadi “teroris” yang setiap waktu akan mengancam jiwa dan keselamatan kita. Mengutip pernyataan Endang Sukara , Wakil Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), bahwaprihatin dengan sifat serakah terhadap lingkungan yang justru membudaya di Indonesia (suarapembaruan.com, 21/10/2011). Penulis teringat dengan teori Jack Bologneyang terkenal dengan GONE itu. Menurut Jack Bologne ada empat akar penyebab mengapa korupsi terjadi, yaitu Greedy, Opportunity, Need danExposes (GONE).

Greedy, terkait dengan keserakahan dan kerakusan para pelaku korupsi. Dengan sifat greedy(serakah) tersebut seseorang terpicu untuk melakukan korupsi. Mereka selalu menghalalkan segala cara untuk mencari keuntungan baik corporate maupun pribadinya, meski harus merusak lingkungan. Opportunity, terkait dengan sistem yang memberi peluang untuk melakukan korupsi. Sistem dan lingkungan yang korup memberikan ruang gerak yang bebas terhadap para koruptor. Dengan sistem yang korup, para koruptorlah yang menjadi pemimpin. Jadi, jangan heran kalau awalnya lurus-lurus saja tiba-tiba bengkok dan ikut menjadi korup. Needs, terkait dengan sikap mental yang tidak pernah merasa cukup, dengan kebutuhan yang tidak terbatas. Exposes, hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku korupsi masih sangat lemah, sehingga membuat mereka semakin berani melakukan korupsi. Sanksi yang tidak tegas dan kesan pembiaran, membuat para perusak lingkungan semakin “tanpa beban” merusak lingkungan.

Pemaknaan masyarakat yang sempit terhadap korupsi yang hanya bersifat ekonomistik atau merugikan keuangan negara saja, membuat perilaku yang sebenarnya korup menjadi sumir dan dilegalkan. Lantas apa yang terjadi dengan sempitnya pemaknaan itu? Jelas, bahwa para perusak lingkungan semakin melenggang bak seorang model, merusak lingkungan dengan “berbagai gaya”.

Lalu dimana moral Pajaknya? Disinilah Pajak tersebut berfungsi sebagai pengatur (regulerend). Pemerintah melalui kebijakan Pajak bisa mengendalikan perusakanlingkungan yang terjadi. Dengan Adanya Perda Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, aktivitas usaha penggalian bisa dikendalikan. Usaha penggalian yang tak terkendali dan tanpa ijin Pemerintah sudah pasti akan merusak bentang alam dan meyisakan tebing curam, yang mengganggu lingkungan dan keselamatan warga sekitar.

Masyarakat harus memahami dan sadar betul dengan kondisi bahwa kita semua hidup di negeri bencana. Kesadaran itu pulalah hendaknya dibarengi dengan kesadaran memelihara lingkungan. Pengenaan Pajak Daerah ini pun harus dimaknai masyarakat sebagai upaya peran serta masyarakat dalam menyelamatkan lingkungan yang secara masif terjadi di sekitar kita. Namun, kesadaran akan lingkungan tidak saja dibebankan melulu pada masyarakat saja, kesadaran pemerintah justru sangat diperlukan terutama dalam mengawasi dan menindak tegas para pengusaha yang merusak lingkungan. Jika pemerintah tegas terhadap korupsi, pemerintah harus tegas pula kepada para pengusaha perusak lingkungan. Koruptor dan perusak lingkungan adalah sama saja. Sama kejamnya dengan “teroris”. Akhirnya, sudah sepantasnya masyarakat menyambut positif diberlakukannya Perda tersebut, mengingat masa depan anak cucu kita ada pada mereka.

Oleh:

Gede Suarnaya

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun