Mohon tunggu...
Gede Surya Marteda
Gede Surya Marteda Mohon Tunggu... Freelancer -

Mencari jati diri di belantara Hutan Jati. Berusaha semampunya untuk menjadi pribadi yang humoris.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tafsir Lain dari Film Senyap: Kedua Pihak Adalah Korban

9 Januari 2015   06:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:30 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Saya bernyanyi memanglah sengaja

Buat pelipur hatiku yang susaaah

Apalah guna kubenang lah benang

Jikalah ku benang memutuslah tali

Apalah guna kukenang lah kenang

Jikalah ku kenang mamutuslah hatiii



Ini sebenarnya cukup lucu atau paling tidak sanggup mengundang senyum: sebuah rekaman yang memperlihatkan seorang pria berbaju merah jambu sedang menyenandungkan sebuah lagu dengan vibra suara yang dibuat-buat, di sebelahnya anak kecil, kemungkinan besar anaknya, asik bermain. Anehnya, tidak sedikitpun jejak senyum apalagi tawa menghiasi wajah seorang laki-laki muda yang menonton rekaman tersebut yang belakangan diketahui bernama Adi Rukun. Yang hadir malah mata yang memerah dan dahi yang berkerut. Adi terpaku dalam senyap.

Begitulah Joshua Oppenheimer mengawali narasinya tentang Adi Rukun, seorang pembuat kacamata keliling, yang merupakan salah satu keluarga korban pembantaian pasca peristiwa G30S tahun 1965. Ramli, kakak kandung yang bahkan belum pernah dikenalnya, adalah salah satu korban dalam pembantaian yang berkedok “pemberantasan” atas anggota dan simpatisan PKI setelah tragedi berdarah pada tahun 1965 tersebut. Ramli dipukul, ditendang, disayat dikemaluan, bahkan ususnya sempat terburai sebelum akhirnya dibuang ke perkebunan kelapa sawit tak jauh dari rumah keluarganya. Sampai film ini mulai dibuat tahun 2003, keluarga tersebut masih sembunyi-sembunyi ketika mengunjungi kubur tersebut.

Penjagalnya bahkan bukanlah orang yang tak dikenal, bukan liyan, bahkan dekat: tetangga Adi sendiri. Hal ini menyisakan ketegangan yang tak kunjung surut, namun tak terucap. Mamak Adi, Rohani, sejak kejadian tersebut, tidak pernah bertegur sapa lagi dengan penjagal anaknya, bahkan menunjukan kebencian yang tulus. Adi akhirnya memutuskan untuk mengonfrontasi pelaku, menuntut pertanggungjawaban moral. Adi datang bukan karena dendam, ada beku yang harus dipecahkan.

Pelaku-pelaku yang ikut dalam peristiwa pembantaian tersebut sekarang masih duduk nyaman di tampuk kekuasaan. Masing-masing punya kuasa untuk melegitimasi pembunuhan massal tersebut menjadi sebuah tindakan yang heroik, kedok yang selalu dipropagandakan Orde Baru, bahwa komunis dalam hal ini direpresentasikan oleh PKI atau siapapun yang terasosiasi dengan partai ini mengandung bahaya laten bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Benar kata Lenin, “Kebohongan yang diucapkan berulang-ulang serta mertajadi kebenaran.”

Reaksi pelaku ketika dikonfrontasi oleh Adi juga berbeda-beda. Ada yang mengakui bahwa tindakannya keliru, tapi berlindung di payung “bela negara”, Ada yang menganggapnya sebagai suatu yang banal dalam perihal politik, ada yang bahkan marah karena tak mau bicara “politik”, bahkan pamannya sendiri yang terlibat secara tidak langsung dalam peristiwa tersebut hanya menganggap enteng. Adi tidak mendapatkan apa yang dia inginkan, tapi tidak juga pulang dengan tangan kosong. Dia membawa secercah harapan. Bahwa pintu gerbang menuju hari yang tak lagi senyap telah perlahan-lahan terbuka.

Ironi

Senyap bukanlah film pertama yang dibuat Joshua di Indonesia. Kontak awal Joshua dengan Indonesia adalah saat buruh salah satu perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara meminta dia untuk mendokumentasikan dan mendramatisasi perjuangan buruh perkebunan kelapa sawit tersebut. Proses pembuatan film tersebut membuka sebuah hal yang tabu, salah satu sumber ketakutan yang menghalangi mereka untuk membuat sebuah serikat buruh, basis perjuangan politik kaum buruh, yaitu stigmatisasi keberadaan mereka, karena propaganda yang dilancarkan oleh Orde Baru. Terbukalah juga jalan menuju keluarga Ramli, yang namanya bahkan menjadi sinonim kejadian 50 tahun yang lalu tersebut.

Film Senyap boleh dibilang merupakan pendamping dari film yang lebih dahulu diluncurkan yaitu Jagal (The Act of Killing). Olahan sinematiknya pun cukup mirip, bahkan bisa dibilang lebih baik. Pencahayaan disajikan dengan detail yang tinggi: agak gelap saat pensuasanaan lebih muram dan lebih terang saat pensuasanaan lebih tenang dan cenderung ceria namun juga tidak mengaburkan setting yang digunakan entah itu di dalam kamar, di ruang tamu, ataupun di luar ruangan. Penggunaan komposisi in-frame (seperti menonton adegan dalam televisi) dan penggunaan selective focus menambah juga unsur estetika dalam film ini. Namun, yang patut diapresiasi adalah kemampuan dalam pemilahan warna serta penentuan elemen-elemen visual tanpa disisipkan narasi (seperti gambar pemandangan bentangan gunung-gunung yang kemudian dilanjutkan oleh gambar pelaku yang mengayunkan golok sembari tersenyum) namun mampu menunjukan ironi yang terjadi: dalam ketenangan dan keindahan tersimpan kebuasan.

Senyap

Film Jagal menampilkan sosok Anwar Congo, salah satu pimpinan penjagal di Medan, yang tertawa dan menari salsa, seakan menganggap dirinya sebagai Ratu Adil yang sedikit binal saat membunuh orang-orang dalam daftar yang ia pegang. Di akhir film ditunjukan bahwa bahkan “pemberantasan PKI yang kontra revolusionis” yang dia sebut sebagai keadilan itupun terguncang. Film Senyap disisi lain, melengkapi dengan mengambil sudut pandang Adi, seorang korban yang seharusnya tak berdaya saat pelaku masih kuasa, malah maju menuntut pertanggungjawaban dan permohonan maaf dengan sikap yang rendah hati. Walaupun akhirnya sampai film berakhir, Adi tidak juga memperoleh pengakuan yang dia inginkan, karena dengan posisi pelaku yang masih berkuasa, dengan mudah pelaku melegitimasi aksi pembantaian tersebut sebagai tindakan heroik. Akhirnya, Adi kembali menyentuh kesenyapan walau hanya sesaat. Dengan konteks Jagal yang dikeluarkan sebelum Senyap, saya melihat bahwa Joshua ingin menyampaikan sebuah thesis, yang sebenarnya sudah lekat dengan kita dari zaman nenek moyang, bahwa penyelesaian permasalahan menyangkut peristiwa ini, entah itu dengan rekonsiliasi ataupun pencabutan impunitas pelaku, tidaklah dapat terlaksana tanpa adanya sebuah usaha bersama yang terorganisir dan masif.

Selain itu, kebanyakan pembacaan terhadap film ini seakan menitikberatkan, bahkan dengan penilaian jomplang, hanya keluarga pembantaian tersebut saja yang menjadi korban dan membutuhkan keadilan. Namun, realitas yang saya lihat malah menunjukan hal lain: korbannya bukan hanya sejuta lebih orang yang terbunuh dan berakhir sebagai tapol dan sejuta lebih keluarga yang ditinggalkan korban namun juga keluarga-keluarga para penjagal dan mungkin juga sebagian penjagal yang termakan propaganda serta hasutan rezim Orde Baru tanpa menyadari fakta sebenarnya, dan tak pula lupa keluarga dari 7 perwira yang terbunuh pada peristiwa G30S tersebut yang masih berada dibawah bayang-bayang dendam yang tak tentu benar. Pendapat saya dikonfirmasi dengan adegan seorang perempuan dan ibu yang meminta maaf pada Adi atas apa yang dia alami. Ada tetes air mata yang jatuh saat mereka mengucap maaf. Sehingga bila ini disadari, seharusnya tercipta sebuah kontemplasi bersama kedua belah pihak untuk menuntut kebenaran sejarah yang lebih terang. Dan, ada pula dalang-dalang yang masih bersembunyi dalam bayang yang perlu diungkap.

Akhirnya, Film Senyap, Jagal, dan film lainnya yang menawarkan alternatif fakta sebagai antithesis film resmi Orde Baru, Pemberontakan G30S/PKI, membuktikan bahwa: walaupun akhirnya memutus hati, lebih baik memilih mengenang, lebih baik melawan lupa.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun