Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Ilusi Kriminalisasi Jadikan KPK Bunker Para Penjahat

9 Maret 2015   23:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:55 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ngakak juga baca berita-berita di media soal kriminalisasi. Tempo memberitakan Jokowi yang katanya kembali mengumbar janjinya untuk menghentikan upaya kriminalisasi terhadap pegawai, pemimpin, dan penyidik KPK serta para pendukungnya.

Lucunya, media juga membenturkan pernyataan Jokowi dengan JK. Pasalnya JK mengkritik langkah mantan Wamenkumham Denny Indrayana, mantan Kepala PPATK Yunus Husein, serta Wakil Ketua KPK nonaktif Bambang Widjojanto karena meminta dukungan unutuk menghentikan kriminalisasi terhadap KPK dan pendukungnya di Bareskrim Polri. Ketiganya adalah terlapor di Bareskrim. Bukan hanya itu Tempo pun memersoalkan ucapan Megawati yang membantah bahwa PDIP berkepentingan terhadap upaya kriminalisasi KPK dan para pendukungnya.

Kriminalisasi itu apa sih? Kriminalisasi menurut KBBI on line artinya proses yang memperlihatkan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat. Dalam perkembangannya, kriminalisasi mengalami perubahan makna, yaitu saat seseorang dinyatakan sebagai pelaku kejahatan karena adanya rekayasan hukum.

Pertanyaannya apakah Abraham Samad, Bambang, Denny, dan Yunus merupakan korban kriminalisasi? Atau, apakah ada rekayasa hukum terhadap mereka yang menyebabkan keempatnya terancam hukukan? Kalau rekayasa hukum tidak ada atau bukti serta saksi telah terpenuhi, apakah masih menyebut keempatnya korban kriminalisasi?

Memang di sini ada masalah terkait Pasal 32 UU KPK  yang menyebut jika pimpinan KPK menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, harus diberhentikan sementara dari jabatannya. Dengan pasal ini upaya pelemahan terhadap KPK terbuka lebar. Cukup dengan menerima dan menindaklanjuti laporan masyarakat dan kemudian menetapkan pimpinan KPK sebagai tersangka, maka pelemahan KPK sudah terjadi. Padahal laporan masyarakat beserta bukti dan saksinya tersebut belum diuji di persidangan. Sedang untuk sampai ke vonis hakim memerlukan waktu yang tidak sebentar.

Tapi, selama Pasal 32 UU KPK belum direvisi, maka UU itu masih kita pegang sebagai hukum positif. Dan, karena Samad dan Bambang sudah ditetapkan sebagai tersangka, maka keduanya harus diberhentikan sementara. Dalam persidangan itulah Samad dan Bambang harus bisa membuktikan kalau dirinya tidak bersalah. Dan, jika dalam persidangan nanti keduanya tidak terbukti bersalah, bukan saja keduanya dapat kembali bertugas sebagai pimpinan KPK, tetapi juga telah membuktikan kalau keduanya telah menjadi korban kriminaisasi.

Bahkan sebelum proses sidang pun, keempat orang tersebut dapat mengajukan prapreadilan. Herannya, kenapa keempatnya tidak menggunakan haknya tersebut. Baik, Samad dan Yunus, terutama Bambang dan Denny, lebih banyak menggalang opini tentang adanya kriminalisasi.

Lebih lucu lagi dengan menyebut “serta para pendukungnya”. Siapa yang dimaksud dengan para pendukung KPK ini? Apakah kalau ada pendukung KPK yang dilaporkan terlibat dalam kejahatan, entah itu pencabulan, pemerkosaan, pembunuhan, bahkan korupsi, maka tidak dibenarkan bagi polisi untuk menegakkan hukum atas para pendukung KPK tersebut?

Kriminalisasi memang salah, jadi tidak salah kalau Jokowi mengatakan stop kriminalisasi. JK dan Mega pun sependapat dengan stop kriminalisasi. Tetapi, apakah ketiganya mengatakan stop penegakan hukum? Jika ketiganya mengatakan hal tersebut, maka hancurlah NKRI ini.

KPK di bawah pimpinan Samad Cs ini menjadi KPK terlemah sejak berdirinya. KPK jilid 3 ini lebih cenderung mendramatisasi pemberrantasan korupsi ketimbang menuntaskannya. Ada dramatisasi yang diberi judul “Jumat Keramat”. Ada dramatisasi “rompi orange”. Ada dramatisasi “expose”. Tapi, faktanya, banyak kasus yang terbengkalai. Banyak tersangka yang sudah tetahunan belum juga dilanjutkan proses hukumnya. Ada banyak laporan masyarakat yang belum dilirik. Tidak hanya itu, untuk mengurus legalitas penyidiknya saja komisioner KPK di bawah Samad sebagai ketuanya ini abai. Dan jika saja hakim Sarpin Rizaldi memasukkan legalitas penyidik KPK, maka hampir dipastikan semua “burung” yang ada di tangan KPK dapat terbang bebas.

Karenanya ketimbang masyarakat yang disebut sebagai “rakyat yang tidak jelas” dan media memersoalkan kriminalisasi yang bisa saja hanya sekedar ilusi, ada baiknya jika “rakyat yang tidak jelas” itu berpikir bagaimana menyelamatkan dan menguatkan KPK ke depan. Salah satu caranya dengan merevisi Pasal 32 UU KPK.

Dan, kalau “rakyat yang tidak jelas” serta media masih terperosok dalam ilusi kriminalisasi, KPK bukan saja semakin lemah, tetapi juga bisa menjadi bunker yang nyaman bagi para penjahat.

http://www.tempo.co/read/fokus/2015/03/09/3124/Stop-Kriminalisasi-KPK-Jokowi-Terbentur-Kalla-dan-PDIP


Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun