Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Beyond Blogging Kompasiana, Jadi Lebih dari Sekadar Mesin "Pembunuh" Silent Majority

3 Februari 2017   16:34 Diperbarui: 5 Februari 2017   22:21 923
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto layar profil kompasisna Gatot Swandito (Dok. Pri)

Beyond Blogging. Begitu slogan teranyar Kompasiana sebagai pengganti “Sharing and Connecting” yang sudah dikenal luas sebagai karakter Kompasiana Sebagai slogan terbaru, beyond blogging mulai diperkenalkan begitu Kompasiana memasuki tahun kedelapan beroperasinya blog keroyokan ini.

Sejak dilahirkan keduania maya pada 22 Oktober 2008, Kompasiana telah dihuni oleh netizen dari berbagai kalangan, mulai dari Wapres Jusuf Kala, Mantan KSAU Chappy Hakim, Mantan Ketua DPR RI Marzuki Alie, Calon Gubernur DKI Jakarta 2017-2022 Anis Baswedan yang mendaftar saat mengikuti Konversi Partai Demokrat pada 2014, artis lawas Marissa Haque, budayawan Arswendo Atmowiloto dengan akun samarannya, purnawirawan TNI AU Marsda Prayitno Ramelan, pakar hukum tata negara yang juga penulis pidato Presiden H.M. Soeharto, Profesor Yusril Ihza Mahendra, dokter, guru, politisi, wartawan, mahasiswa, pelajar, sampai yang mengaku bukan “siapa-siapa”. Jadi, di Kompasiana ini semua ada, dari yang “tetek” sampai yang “bengek”.

Menariknya, di Kompasiana ini semua anggotanya “satu rasa sama rata”. Anggota yang bukan “siapa-siapa” bisa mendebat tulisan yang ditayangkan oleh para pakar dalam bidangnya. Malah anggota yang bukan siapa-siapa ini, kadang lebih “nyaring” tulisannya ketimbang anggota yang “siapa-siapa”. Di Kompasiana ini juga anggota yang bukan “siapa-siapa” atau yang biasa disebut dengan silent majority dapat menyuarakan aspirasinya.

Mungkin sudah menjadi budaya di belahan bumi manapun bila silent majority selalu dianggap warga kelas dua yang tidak tahu apa-apa tetapi berisik. Stempel tidak tahu apa-apa, sok tahu, culun, naif, pengganggu, dan lain sebagainya, mau tidak mau membuat netizen menjadi minder untuk menuliskan gagasannya. Gegara stempel itu, banyak netizen yang tidak berani menyuarakan gagasan, pikirannya, atau opininya dalam bentuk tulisan. Mereka takut dikatai “sok pinter”, “keminter”, atau bahkan tidak tahu diri.

Tetapi, faktanya tidak demikian. Di kompasiana ini, saya yang termasuk dalam kelompok silent majorityyang bukan “siapa-siapa” berani beradu pikiran dengan Yusril. Kurang apa Yusril. Ia bergelar akademik Profesor Doktor Hukum Tata Negara. Yusril pernah menduduki berbagai jabatan di kementerian pada sejumlah kabinet. Yusril juga diketahui sebagai pesaing Abdurahman Wahid dan Megawati saat pemilihan calon presiden 1999-2004  dalam sidang umum MPR RI pada 1999. 

Yusril juga kerap hadir dalam berbagai talk show yang ditayangkan berbagai stasiun televisi. Meski demikian, toh berbagai “predikat” yang menempel pada Yusril bukanlah “teror” bagi saya untuk tidak mendebatnya. Di Kompasiana ini, kedudukan Yusril sama dengan ratusan ribu silent majority lainnya.

Sekarang ini, banyak politisi, pengamat, pakar, dan lainnya yang meributkan soal pemberlakukan presidential threshold (PT) pada pemilu serentak 2019 nanti. Kalau isu ini manjadi kontroversial ini baru diributkan pada saat ini, tidak demikian dengan di Kompasiana. Di Kompasiana, tulisan tentang PT sudah ditayangkan sejak lebih dari 2,5 tahun yang lalu.

Lewat artikel “Dampak Presidential Threshold yang Tidak Terpikirkan DPR dan Para Pakar yang ditayangkan pada 1 Agustus 2013, saya sudah menuliskan kalau PT harus 0 %. Dalam artikel tersebut saya menuliskan, “Oleh karena itu sebaiknya untuk pemilu presiden ke depan, PT ditetapkan 0% (nol persen)”Dan, kalau sekarang PT hangat diperdebatan, maka isu itu sudah lama didengungkan di Kompasiana ini.

Yang menarik saat Yusril mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi terkait Yusril Izha Mahendra kembali mengajukan permohonan uji materi. Kali ini menguji materi Pasal 14 ayat 2 dan Pasal 112 UU No 42/ 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Menurut pakar hukum tata negara ini, kedua pasal itu bertentangan dengan Pasal 6A ayat 2 UUD yang berbunyi "PasanganCapres dan Cawapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu". Jika permohonan Yusril dikabulkan, maka mau tidak mau Pemilu 2014 harus dilaksanakan secara serentak atau Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden digelar di hari yang sama.

Banyak yang menduga, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kalau MK akan mengabulkan uji materi. Bagaimana pun Yusril memegang prestasi cemerlang dalam soal uji materi.  

"Saya dengar, mudah-mudahan tidak benar dan tidak terjadi, konon katanya, Perppu tentang MK ini dikaitkan dengan apa yang ditangani MK. Yaitu persoalan UU Pemilihan Presiden, apakah berlaku sekarang ini ada perubahan, threshold, calon presiden. Saya dengar bisik-bisik politik itu bisa dikaitkan. Saya tidak percaya," ungkap SBY di Taman Mini Indonesia Indah, Jaktim pada 18 Desember 2013 (Sumber).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun