Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Presidential Threshold Ala Jokowi Bakal Dibabat MK dan Fadli Zon yang Selalu Benar

5 Agustus 2017   11:22 Diperbarui: 7 Agustus 2017   12:08 1992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Entah strategi apa yang tengah dilancarkan Jokowi lewat sistem presidential threshold dalam pelaksanaan pemilu serentak yang bakal mulai dihelat sejak 2019.

Presidential threshold, apakah itu dipraktekan pada pemilu tidak serentak (pelaksanaan pileg mendahului dan dan pilpres) ataukah digelar secara serentak (pileg dan pilpres dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan pada hari yang sama), tetap saja merupakan racun bagi demokrasi.

Lebih dari 4 tahun yang lalu, sebelum presidential threshold (PT) diributkan seperti sekarang ini, lewat artikel ini uneg-uneg tentang buruknya PT sudah diposting di Kompasiana.

Dan, ketika Mahkamah Konstitusi menerima uju materi yang diajukan Effendi Ghozali tentang penyelenggaraan pemilu serentak, maka secara otomatis, logikanya, sistem PT sudah tidak mungkin dipraktekkan lagi.

PT sendiri baru dipraktekkan sejak Pilpres 2009. Pemerintah waktu itu beralasan PT akan membuat presiden terpilih lebih memiliki legitimasi.

Jika alasannya hanya karena masalah legitimasi, bukankah dalam pilpres sudah ada aturan pemenangnya harus mengantongi lebih dari 50% suara.


Selain itu, pemenang harus meraih minimal 20% suara di setiap propinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provonsi di Indonesia.

Dengan dipratekkannya persyaratan ambang batas 20% untuk kursi DPR RI dan 25% untuk suara, maka pilpres hanya diikuti maksimal 4 pasangan capres-cawapres. Tetapi, dalam pelaksanaannya, pilpres hanya diikuti maksimal 3 pasangan (Pilpres 2009 diikuti 3 pasangan, Pilpres 2014 diikuti 2 pasangan).

Sebaliknya, ketika PT tidak dipakai pada Pilpres 2004 (pilpres pertama yang digelar secara langsung) jumlah kandidat bisa mencapai 5 pasangan.

Tetapi, karena pemilu digelar tidak serentak (pileg mendahului pilpres), maka PT mengacu pada hasil pileg pada periode/tahun yang sama. PT untuk Pilpres 2009 merujuk pada hasil Pileg 2009. PT untuk Pilpres 2014 mengacu pada hasil Pileg 2014.

Tanpa adanya PT, semua parpol yang berpartisipasi dalam pemilu pada periode tersebut bisa mengajukan pasangan capres-cawapres. Meski parpol tersebut tidak lolos ke Senayan.

Sementara, dalam RUU Pemilu (sudah disetujui DPR RI, tetapi belum diteken Presiden RI), PT menggunakan hasil pileg periode sebelumnya, atau hasil pileg 5 tahun yang lalu. Dengan demikian, PT untuk Pilpres 2019 menggunakan hasil Pileg 2014.

Dengan sistem PT ala Jokowi ini, parpol perserta Pemilu 2019 yang tidak ikut dalam Pemilu 2014 tidak dapat mengajukan atau bergabung dengan parpol untuk mengajukan pasangan capres-cawapres. Karenanya, dalam Pilpres 2019, Perindo dan PSI hanya akan menjadi penggembira saja.

Dari situ saja terlihat bahwa RUU Pemilu ala Jokowi telah menimbulkan ketidakadilan. Padahal, dalam satu pasalnya, pemilu harus dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

" Presidential threshold 20 persen, menurut kami, adalah lelucon politik yang menipu rakyat Indonesia," ujar Prabowo Subiyanto usai bertemu Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono di Cikeas, Bogor, Jawa Barat, pada 27 Juli 2017 (Sumber: KOMPAS.COM).

"Gerindra tidak mau ikut melawan sesuatu di luar akal sehat dan logika," kata mantan Danjen Kopassus itu.

Prabowo salah besar. Ketidakwarasan dan ketidaklogisan PT ala Jokowi bukan pada penerapan 20% atau 25%, tetapi pada digunakannya hasil pileg periode sebelumnya. Lebih tidak waras lagi karena hasil pileg 2014 yang akan digunakan sebagai PT pada Pilpres 2019 sudah digunakan pada Pilpres 2014.

Dari persoalan adanya pratek ketidakadilan saja sudah pasti MK akan mengabulkan uji materi atas PT. (Dan, seperti biasanya, MK akan mengabulkan materi dari artikel yang saya posting di Kompasiana.

Tentang pertemuan SBY-Prabowo yang membahas PT sudah ditayangkan pada awal Maret 2017 (Prabowo-SBY Bertemu, Manuver Ugal-ugalan Jokowi ini akan Dibahas)

Demikian juga dengan pernyataan kalangan Istana yang mempertanyakan protes atas PT yang baru dilontarkan sekarang. Katanya, PT sudah ada sejak 2 Pilpres sebelumnya.

Kenapa baru protes? Jawabannya sangat mudah. Sebab, PT yang digagas pemerintah SBY masuk akal. Sebelum MK menerima uji materi yang diajukan Effendi, pelaksanaan pileg mendahului pilpres.

Dan, PT yang digunakan dalam Pilpres 2009 dan Pipres 2014 adalah hasil pileg pada periode yang sama. Karenanya semua parpol peserta pemilu pada periode tersebut berhak mengajukan atau berkoalisi untuk mengajukan capres-cawapres.

Dalam sistem PT yang digagas pemerintah SBY, asas keadilan masih berlaku. Sementara PT pada RUU yang bakal ditandatangani oleh Presiden Jokowi, asas keadilan sudah tidak ada lagi.

Atas dasar adanya ketidakadilan dan kekonyolan serta ketidaklogisan PT dalam RUU produk pemerintah Jokowi tersebut, maka sudah berang tentu MK akan mengabulkan uji materi yang diajukan pemohon.

Dan biasanya keputusan MK sejalan dengan pikiran waras. Seperti yang saya tulis di sini.  Jadi sudah bisa dipastikan MK akan mencoret aturan PT yang digagas pemerintah Jokowi.

Dengan dibatalkannya aturan PT ala Jokowi, maka capres-cawapres bisa berjumlah sama dengan jumlah parpol peserta pemilu. Kalau pemilu diikuti 10 parpol, maka jumlah maksimal pasangan kandidat adalah 10.

Jumlah maksimal pasangan kandidat tersebut sebagai logika dari aturan yang menyebut hanya parpol yang berhak mengajukan pasangan capres-cawapres.

Dengan tidak adanya PT dan pemilu yang digelar secara serentak, mau tidak mau setiap parpol harus mengajukan jagoannya dalam pilpres.

Sebab, akan terlihat sangat janggal jika pada saat kampanye Nurul Arifin dari Golkar mengampanyekan pencalegan dirinya dan kemenangan partainya sekaligus (di saat yang bersamaan) menyerukan untuk memilih Jokowi yang notabane kader PDIP.

Itulah keuntungan yang didapat PDIP jika PT dipraktekan dalam Pilpres 2019. Sebab, semua parpol pendukung Jokowi, mau tidak mau akan memberi konstribusi atas raihan suara PDIP. Sebaliknya, parpol-parpol pendukung juga tidak akan menyerang PDIP.

Masalahnya, tidak semua parpol peserta pemilu 2019 memiliki kader yang layak tanding. Bahkan, Golkar sebagai parpol besar dengan pengalaman panjang serta jejaring yang menggurita pun tidak memiliki kader yang pantas untuk diajukan.

Persoalan parpol tidak hanya berhenti sampai tidak adanya kader yang layak dicapreskan, tetapi juga pada nyaris tidak adanya figur non-partai yang pantas untuk diterjunkan.

Nyaris tidak ada bukan berarti tidak ada sama sekali. Karenanya, bagi anak bangsa yang merasa pantas untuk memimpin bangsa dan negara ini, bersiaplah menerima elit-elit parpol yang datang untuk meminangnya.

Dari semua pernyataan elit politik soal PT, yang paling menggelitik adalah keluh kesah Fadli Zon.

Kata Wakil Ketua Umum Gerindra ini, aturan PT menyulitkan Gerindra.

"20 persen itu menyulitkan," kata Wakil Ketua DPR ini (Sumber KOMPAS.COM).

Kalau Gerindra sebagai pemenang ketiga yang berhasil meraih 73 kursi DPR RI (dari total 560 kursi) dan 11,81% suara dipikir Fadli sulit memenuhi PT, artinya Gerindra kesulitan mengajak parpol-parpol lain untuk berkoalisi mengajukan Prabowo sebagai capres.

Apakah Gerindra merasa sudah kepayahan menawarkan figur ketua umunya kepada parpol-parpol lain? Lantas, kenapa Prabowo menjadi sulit "dijual"?

Jika melihat sikap SBY yang memilih netral pada Pilpres 2014, Fadli benar. Bagaimana tidak, semua orang tahu jika Hatta Rajasa yang menjadi cawapres bagi Prabowo tidak lain dan tidak bukan adalah besan SBY sendiri, besan dari istri SBY sendiri, mertua dari anak kandung SBY sendiri, ayah dari menantu SBY sendiri, kakek dari cucu SBY sendiri, serta suami dari besan SBY sendiri.

Meski hubungan kekeluargaannya begitu erat, toh, SBY lebih memilih mengarahkan partai yang dipimpinnya untuk tidak mendukung Jokowi tetapi juga tidak mendukung Prabowo.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun