Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Di Kompasiana, Perseteruan Menjadi Denyut Nadinya

27 Desember 2013   16:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:26 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menyampaikan buah olah pikir, apapun medianya, harus siap dengan segala konsekuensinya, mulai dari cibiran, perdebatan yang berlarut-larut, bahkan ancaman pemidanaan. Reaksi tersebut pastinya disebabkan oleh perbedaan cara pandang, keberpihakan, dan juga kepentingan. Tidak terkecuali dengan pengunggah tulisan di Kompasiana. Pengunggah tulisan di “etalase warga biasa” ini harus siap menanggung resiko atas hasil olah pikirnya.

Baru-baru ini sebuah artikel yang ditayangkan di Kompasiana pada 14 Desember 2013 membuahkan somasi bagi penulisnya. Artikel berjudul “Anas: Kejarlah Daku, Kau Terungkap yang diunggah Sri Mulyono ini menarik perhatian tim pengacara keluarga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sebagaimana diberitakan Tempo.co somasi itu disebabkan keberatan atas paragraf ketiga yang menyebut “Dari Jedah SBY ‘memerintahkan’ KPK supaya segera menetapkan status hukum Anas ‘tersangka’”. Kepada penulisnya, tim pengacara SBY memberi tenggat waktu seminggu untuk memberikan bukti kapan SBY memerintahkan KPK menetapkan Anas sebagai tersangka.

Jelas yang dipersoalkan dalam somasi tersebut adalah kata “memerintahkan” yang digunakan Mulyono dalam artikelnya. Di sinilah terjadi perbedaan pandang dalam memaknai kata “memerintahkan”. Meski diapit tanda petik, tim pengacara keluarga SBY yang diketuai Palmer Situmorang memaknainya secara denotatif yang menunjukan pengertian sebenarnya, tidak tercampur oleh nilai rasa, atau kiasan. ”Memerintahkan” dimaknai Palmer sebagai perbuatan menyuruh orang lain untuk melakukan sesuatu. Dari posisi ini Palmer berpendapat kata “memerintah” dalam artikel “Anas: Kejarlah Daku, Kau Terungkap” bermuatan fitnah.

Sebagaimana diberitakan Kompas.com, SBY menunjuk pengacara Palmer Situmorang dari Kantor Palmer Situmorang & Partners untuk menghadapi serangan-serangan yang mengarah ke fitnah. Palmer ditunjuk untuk mewakili keluarga SBY, bukan sebagai Presiden RI. Pembentukan “satgas anti-fitnah” ini dinilai sangat wajar apabila melihat banyaknya serangan terhadap SBY baik lewat media massa maupun media sosial. Apalagi SBY pun merasa sering di-bully di dunia maya.

“Di ‘Land of Twitter’ ini saya telah menerima banyak masukan dan saran, dan juga kritik. Tidak jarang saya di-"bully",ungkap SBY lewat akun Facebook-nya.

Sedang dari sisi Sri Mulyono, kata “memerintahkan” dipilihnya sebagai interpretasi dari pernyataan yang disampaikan SBY di Jeddah, Arab Saudi pada 4 Februari 2013. Tanda petik pada kata “memerintahkan digunakan Mulyono sebagai penegasan bila kata tersebut bermakna konotatif yang memiliki makna kiasan. Pilihan kata tersebut pastinya juga dilandasi pada “suasana kebatinan” (baca: kegalauan hati) yang melingkupi Partai Demokrat sebelumnya. Hal ini tercermin dari konferensi pers Sekretaris Majelis Tinggi Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat Jero Wacik yang mengungkapkan hasil analisis beberapa tokoh senior di Partai Demokrat mengenai penyebab utama jebloknya suara Demokrat. Jero mengatakan jebloknya elektabilitas Demokrat lantaran sejumlah kasus korupsi yang menjerat tokoh-tokoh partai ini. Karenanya Jero meminta SBY segera turun tangan.

"Hasil survei partai terus turun dari waktu ke waktu. Kami tak ingin akhirnya benar-benar jeblok. Sudah saatnya Ketua Dewan Pembina turun tangan," kata Jero di Jakarta, Minggu (3/2/2013).

Tidak hanya itu, sejumlah media pun menafsiran pernyataan SBY tersebut sebagai “desakan” atau “permintaan”. Misalnya, Sindonews.com menurunkan berita dengan judul Mendesak penetapan tersangka, SBY langgar etika hukum dan Detik.com yang menurunkan berita SBY Minta KPK Segera Tuntaskan Kasus Anas Urbaningrum. Bahkan, Kompas.com menggunakan kata “intervensi” saat memublikasikan tanggapan Anas atas pernyataan SBY tersebut.

Langkah hukum yang diambil Palmer tersebut menyebabkan warga Kompasiana terbelah. Sejak kasus ini diberitakan Tempo.co pada 23 Desember 2013 sedikitnya sudah ada delapan artikel yang mengulasnya di Kompasiana. Dari sekitar delapan artikel tersebut, enam diantaranya menilai negatifsomasi Palmer dan hanya dua artikel yang mendukung langkah hukum terhadap Mulyono. Dan, dari keseluruhan komentar tersimpulkan puluhan Kompasianer berpandangan negatif terhadap somasi Palmer dan hanya tiga-empat Kompasianer saja yang mendukung Palmer. Tentu saja, baik yang menolak maupun yang mendukung Palmer memiliki argumentasinya masing-masing. Dengan argumentasinya, Kompasianer “anti-somasi Palmer” menilainya langkah hukum tersebut sebagai blunder konyol. Sebaliknya, Kompasianer “pro-somasi Palmer” pun berpendapat artikel Mulyono bermuatan fitnah yang harus diseriusi.

Dari kasus “SBY” versus Mulyono ini terbukti sebuah silang pendapat di Kompasiana bisa dipicu hanya oleh sebuah kata. Jika sebuah kata saja, bila dibaca dengan kacamata berbeda, dapat menimbulkan silang sengketa, maka sangat wajar bila di blog keroyokan ini kerap kali terjadi perseteruan. Tidak jarang silang pendapat itu berlangsung lama dan melibatkan banyak akun.

Silang opini di Kompasiana bukanlah keburukan yang harus dijauhi. Justru, dalam bersilang pendapat, ada banyak manfaat yang bisa didapat. Bagi akun-akun “petarung” yang kerap menerjunkan diri ke dalam berbagai “medan tempur” pastinya mendapat pengetahuan baru yang semakin meluaskan wawasannya.

Bagi Kompasiana sendiri, perseteruan sesama warga menjadi energi tambahan penambah denyut nadi. Saat “lesu darah” berkepanjangan setelah jarang dikunjungi warganya, perseteruan yang dipicu artikel Pakde Kartono kembali “mendetakkan jantung” Kompasiana. Kompasiana kembali menggeliat. Semangat menulis Kompasianer yang sempat mengendor kembali bangkit. Kompasianer tidak lagi memedulikan berapa banyak tulisannya dibaca. Tahun 2014 adalah tahun, berkaca pada momen Pilkada DKI 2012, tidak lama lagi Kompasiana akan dibanjiri artikel dukung-mendukung. Kompasiana akan kembali memanas.

Menghentikan perseteruan di Kompasiana sama halnya dengan menghentikan denyut nadi Kompasiana itu sendiri. Dan, secara perlahan akan “membunuhnya”. Dan, “membunuh” Kompasiana sama halnya dengan memberangus kemerdekaan berpendapat. Seperti wejangan guru saat masih duduk di bangku sekolah dasar, “Bangsa Indonesia adalah bangsa yang cinta damai, tetapi lebih cinta kemerdekaan.” Dan, lewat media yang bukan "kecengan" ini Kompasianer akan memertahankan kemerdekaan berpendapatnya.

Salam perseteruan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun