Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

16 Tahun Kompasiana, Tempat Keresahan Menjadi Tulisan

9 Oktober 2024   16:45 Diperbarui: 9 Oktober 2024   16:45 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ekspresi terhadap Kompasiana (Kompasiana.com / rifkidikompas)

"Jika menulis adalah cinta pertama, maka Kompasiana adalah pacar yang selalu bilang 'terserah' saat ditanya mau makan apa."

Kutipan ini mungkin terkesan sindiran, tapi bagi saya, justru menggambarkan dengan tepat hubungan saya dengan Kompasiana selama ini. Layaknya cinta pertama yang membuat kita bersemangat namun juga bingung, menulis di Kompasiana memberi saya kebebasan yang kadang terasa membingungkan. 

Platform ini bukan sekadar tempat menulis, melainkan sebuah panggung terbuka di mana kita bebas menuangkan apa saja - dari keresahan hingga pemikiran terliar kita. Meskipun terkadang respons yang kita dapat hanya berupa 'Aktual', 'Bermanfaat', 'Inspiratif' atau 'Menarik'. Tapi, di sinilah letak keunggulannya: kebebasan untuk mengekspresikan diri.

Bagi saya, Kompasiana bukan hanya platform menulis, tetapi juga tempat saya menemukan kembali minat dalam menulis setelah bertahun-tahun terjebak dalam kesibukan dunia kerja. Meskipun pengetahuan saya tentang blogging dan SEO masih cetek dibandingkan para ahli lainnya di Indonesia, saya merasa Kompasiana membawa dimensi baru bagi saya untuk lebih fokus pada kepakaran dan berbagi pemikiran dengan lebih otentik.

Dari semua tulisan yang pernah saya buat di Kompasiana, beberapa yang paling berkesan adalah tulisan-tulisan yang menjadi Headline. Meskipun jumlahnya bisa dihitung dengan jari, setiap headline tersebut memiliki cerita sederhana di baliknya, namun ternyata mampu menarik perhatian banyak pembaca dan disetujui oleh moderator konten Kompasiana

Misalnya, tulisan Remaja 90an, Ketika Gaya Hidup Menjadi Cermin Zaman dan Celana Jeans Longgar, Ketika Anak Muda Mendikte Fashion, berawal dari pengamatan saya saat melihat pakaian anak gadis saya yang remaja. Ternyata, gaya busananya sekarang tidak jauh berbeda dari gaya busana saya saat remaja. Rasanya lucu sekaligus membuat saya sadar bahwa tren mode memang selalu berulang. Dalam hati saya pun bergumam, "Kok mirip ya sama celanaku dulu? Memang saya sudah setua itu ya sampai dapat daur fashion?"

Tulisan lain yang berjudul Tas Mewah KW, Cerminan Gaya Hidup Mewah di Indonesia terinspirasi dari cerita istri saya yang baru saja membeli tas KW tiruan dari merek terkenal. Dari situlah muncul keresahan tentang bagaimana fenomena gaya hidup mewah yang kian marak di Indonesia, bahkan sampai menggunakan produk palsu hanya demi gengsi.

Headline terakhir yang saya buat, Membangun Talenta Esports Indonesia di Tengah Arus Global, lahir dari hobi lama saya bermain gim Mobile Legends dan sesekali masih mengikuti perkembangan esports. Menulis artikel ini untuk membagikan keresahan saya tentang betapa tertinggalnya esports Indonesia dalam hal kualitas sumber daya manusia. Juga, menurut saya lucu ketika pengurus besar esports justru diisi oleh orang-orang yang saya pesimis selama hidup mereka pernah bermain gim yang kompetitif.

Satu hal yang sama dari hampir semua tulisan tadi adalah keresahan. Meminjam istilah Raditya Dika, “Menulislah karena kamu resah.” Dan memang, keresahan adalah salah satu yang mendorong saya untuk terus menulis di Kompasiana.

Namun, cerita saya dengan Kompasiana tidak selalu mulus. Saya sebenarnya pernah membuat akun Kompasiana pada medio 2011 setelah mengikuti Kompasiana Blogshop di Makassar, yang dibawakan oleh Pak Pepih Nugraha. Sayangnya, karena saat itu baru diterima bekerja dan kesibukan di dunia nyata, akun tersebut terbengkalai hingga tak bisa diakses lagi. Baru beberapa bulan yang lalu, saya kembali membuat akun baru dan mulai menulis lagi. Ada sedikit penyesalan mengapa saya tidak tekuni sejak dulu, namun di sisi lain saya merasa bersyukur karena kini saya kembali belajar menulis, walaupun secara otodidak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun