Mohon tunggu...
gatot arifianto
gatot arifianto Mohon Tunggu... -

Staff urusan Umum/perpustakaan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Islam dan Pluralisme Agama

31 Januari 2012   09:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:14 4132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

A.Pendahuluan

Plularisme agama telah menjadi salah satu wacana kontemporer yang sering dibicarakan akhir-akhir abad 20, khusus di Indonesia. Wacana ini sebenarnya ingin menjembatani hubungan antar agama yang sering kali terjadi disharmonisasi dengan mengatasnamakan agama, diantaranya kekerasan sesame umat beragama, maupun antar umat beragama.

Islam adalah agama universal yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, persamaan hak dan mengakui adanya pluralisme agama. Pluralisme agama menurut Islam adalah sebuah aturan Tuhan (Sunnatullah) yang tidak akan berubah, juga tidak mungkin dilawan atau diingkari. Ungkapan ini menggambarkan bahwa Islam sangat menghargai pluralisme karena Islam adalah agama yang dengan tegas mengakui hak-hak penganut agama lain untuk hidup bersama dan menjalankan ajaran masing-masing dengan penuh kesungguhan.

Indonesia merupakan salah satu negara multi etnis, ras, suku, bangsa, budaya dan agama. Agama-agama dan berbagai aliran tumbuh subur oleh karena itu pemahaman tentang pluralisme agama dalam suatu masyarakat yang demikian majemuk sangat dibutuhkan demi untul terciptanya stabilitas ketertiban dan kenyamanan umat dalam menjalakan ajaran agamanya masing-masing serta untuk mewujudkan kerukunan antar umat sekaligus menghindari terjadi konflik social yang bernuasa syara’.

Dialog dan komunikasi antarumat beragama merupakan suatu kebutuhan yang harus dilaksanakan oleh segenap elemen umat beragama, guna untuk menghilangkan kecurigaan, suuzhan, dan untuk menjalin hubungan yang harmonis antarsesama umat beragama. Agama Islam sangat terbuka dan selalu membuka diri untuk berdialog dengan sesama umat beragama sebagaimana yang telah dicontohkan Rasulullah pada periode Madinah, dialog yang dibangun Nabi Muhammad dengan penduduk Madinah kemudian melahirkn suatu perjanjian yang sangat terkenal yaitu “Piagam Madinah”.

B.Konsep Dasar Pluralisme Agama

Kata “Pluralism agama” berasal dari dua kata, yaitu “Pluralisme” dan “Agama” dalam bahasa Arab diterjemahkan dengan “al-ta’ddudiyah” dan dalam bahasa Inggirs “religius pluralism”. Dalam bahasa Belanda, merupakan gabungan kata plural dan ism. Kata “plural” diartikan dengan menunjukkan lebih dari satu. Sedangkan isme diartikan dngan sesuatu yang berhubungan dengan paham atau aliran. Dalam bahasa Inggris disebut pluralism yang berasal dari kata “plural” yang berarti lebih dari satu atau banyak. Dalam Kamus The Contemporary Engglish-Indonesia Dictionary, kata “Plural” diartikan dengan lebih dari satu/jamak dan berkenaan dengan keanekaragaman. Jadi pluralisme, adalah paham atau sikap terhadap keadaan majemuk, baik dalam konteks sosial, budaya, politik, maupun agama. Sedangkan kata “agama” dalam agama Islam diistilahkan dengan “din” secara bahasa berarti tunduk, patuh, taat, jalan. Pluralisme agama adalah kondisi hidup bersama antarpenganut agama yang berbeda-beda dalam suatu komunitas dengan tetap mempertahankan cirri-ciri spesifik ajaran masing-masing agama.

Dengan demikian yang dimaksud “pluralisme agama” adalah terdapat lebih dari satu agama (samawi dan ardhi) yang mempunyai eksistensi hidup berdampingan. Saling bekerja sama dan saling berinteraksi antaa penganut satu agama dengan penganut agama lainnya, atau dalam pengertian yang lain, setiap penganut agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan menghormati hak agama lain, tetapi juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan, guna tercapainya kerukunan dalam keragaman. Dalam perspektif sosiologi agama, secara terminology, pluralisme agama dipahami sebagai suatu sikap mengakui dan menerima kenyataan kemajemukan sebagai yang bernilai positif dan merupakan ketentuan dan rahmat Tuhan kepada Manusia.

Pengakuan terhadap kemajemukan agama tersebut adalah menerima dan meyakini bahwa agama yang kita peluk adalah jalan keselamatan yang paling benar, tetapi bagi penganut agama lain sesuai dengan keyakinan mereka agama mereka pulalah yang paling benar. Dari kesadaran inilah akan lahi sikap toleran, inklusif, saling menghormati dan menghargai, serta memberi kesempatan kepada orang lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan masing-masing. Hal ini sesuai dengan sila pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dan UUD’45 pasal 29 ayat (2) yang menjamin kebebasan beragama dan beribadah sesuai menurut agama dan kepercayaan masing.masing. pasal 29 ayat (2) UUD’45, disamping jaminan kebebasan beragama, keputusan yang fundamentak ini juga merupakan janji tidak ada diskriminasi agama di Indonesia. Mukti Alim secara filosofi mengistilahkan dengan agree in disagreement (setuju dalam perbedaan).

Setiap agama tidak terpisah dari yang lainnya dalam kemanusiaan. Keterpisahan mereka dalam kemanusiaan bertentangan dengan prinsip pluralisme yang merupakan water dasar masyarakat manusia yang tidak bisa dihindari. Dilihat dari segi etnis, bahasa, agama, budaya, dan sebagainya, Indonesia termasuk satu negara yang paling majemuk di dunia. Indonesia juga merupakan salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Hal ini disadari oleh para founding father kita, sehingga mereka merumuskan konsep pluralisme ini dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Munculnya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 merupakan sautu kesadaran akan perlunya mewujudkan pluralisme ini yang sekaligus dimaksudkan untuk membina persatuan dalam menghadapi penjajah Belanda, yang kemudian dikenal sebagai cikal-bakal munculnya wawasan kebangsaan Indonesia. Pluralisme ini juga tetap dijunjung tinggi pada waktu persiapan kemerdekaan, sebagaimana dapat dilihat, antara lain dalam siding BPUPKI. Betapa para pendiri republik ini sangat menghargai pluralisme, baik konteks sosial maupun politik. Bahkan pencoretan “tujuh kata” dalam Pancasila, yang terdapat dalam Piagam Jakarta, pun dipaham dalam konteks menghargai kemajemukan dan pluralisme.

Untuk mendukung konsep pluralisme konsep pluralisme tersebut, diperlukan adanya toleransi antarsesama umat beragama. Meskipun semua masyarakat yang berbudaya kini sudah mengakui adanya kemajemukan sosial, namun dalam kenyataannya, permasalahan toleransi masih sering muncul dalam suatu masyarakat, termasuk di Eropa Barat Amerika dan Negara-negara lain.

Ada dua macam penafsiran tentang konsep penafsiran, yakni penafsiran negative dan penafsiran positif. Yang pertama menyatakan bahwa toleransi itu hanya mensyaratkan cukup dengan membiarkan dan tidak menyakiti orang/kelompok lain. Yang kedua menyatakan bahwa toleransi itu membutuhkan lebih dari sekedar itu. Ia membutuhkan adanya bantuan dan dukungan tehadap keberadaan orang/kelompok lain. Artinya toleransi itu tidak cukup hanya dalam pemahaman saja, tapi harus dipublikasikan dengan tindakan dan perbuatan dalam kehidupan nyata. Kita hidup dalam pluralisme agama, suka tidak suka ralitas pluralistic memang menjadi wahana dan wacana bagi kehidupan beragama kita. Di dalam agama Islam konsep dasar pluralisme sudah ada sejak dari awal agama itu syari’atkan oleh Allah SWT, dipermukaan bumi ini yang dibawa oleh Raulullah Muhammad SAW. Maka oleh karena itu apabila umat Islam ingin memahami makna pluralisme sesuai dengan konsep Islam, maka jawabannya yang paling tepat adalah kembali kepada Al-Qur’an.

C.Pandangan Islam Terhadap Pluralisme Agama

Islam adalah agama universal yang menjunjung tinggi aspek-aspek kemanusiaan, persamaan hak dan mengakui adanya pluralisme agama. Pluralisme agama menurut Islam adalah sebuah aturan (sunnatullah) yang tidak akan berubah, juga tidak mungkin dilawan atau diingkari. Ungkapan ini menggambarkan bahwa Islam sangat menghargai pluralisme karena Islam adalah agama yang dengan tegas mengakui hak-hak penganut agama lain untuk hidup bersama dan menjalankan ajaran masing-masing dengan penuh kesungguhan.

Sesungguhnya, fenomena agama dan beragama telah ada bersamaan dengan keberadaan manusia dan akan terus berlanjut sampai akhir kehidupan manusia. Untuk melihat sikap dan ajaran Islam tentang pluralisme, kita harus menelaahnya dari Muhammad SAW dan Islam dalan kehidupan umat manusia. Sejarah mencatat bahwa Muhammad SAW diutus oleh Allah sebagai Nabi dan Rasul yang terakhir dengan membawa risalah Islamiyah, dengan misi universal rahmatalilla’alamin sebagaimana tertuang dalam Firman Allah “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam”. (QS. Al-Anbiya: 21/107). Agama Islam yang dibaa oleh Nabi Muhammad menjadi penutup semua ajaran langit (agama samawi) untuk umat manusia, Islam tidak mempersoalkan lagi mengenai asal ras, etnis, suku, agama dan bangsa. Semua manusia dan makhluk Allah akan mendapatkan prinsip-prinsip rahmat secara universal. Al-Qur’an telah mencapai puncaknya dalam berbicara soal pluralisme ketike menegaskan sikap penerimaan Al-Qur’an terhadap agama-agama selain Islam untuk hidup bersama dan berdampingan. Yahudi, Kristen, dan agama-agama lainnya baik agama samawi maupun agama ardhi eksistensinya diakui oleh agama Islam. Ini adalah suatu sikap pengakuan yang tidak terdapat di dalam agama lain.

Agama Islam adalah agama damai yang sangat menghargai, toleran dan membuka diri terhadap pluralisme agama. Isyarat-isyarat tentang pluralisme agama sangat banyak ditemukan di dalam Al-Qur’an antara lain Firman Allah “Untukmu agamamu dan untukku agamaku”. (QS. Al-Kafirun: 109/6). Pluralisme agama adalah merupakan perwujudan dari kehendak Allah SWT. Allah tidak menginginkan hanya ada satu agama walaupun sebenarya Allah punya kemampuan untuk hal itu bila Ia kehendaki. “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu dia menjadikan manusia umat yang satu,” (QS. Hud: 11/118). Dalam Al-Qur’an berulang-ulang Allah menyatakan bahwa perbedaan di antara umat manusia, baik dalam warna kulit, bentuk rupa, kekayaan, ras, budaya dalam bahasa adalah wajar, Allah bahkan melukiskan pluralisme ideologi dan agama sebagai rahmat. Allah menganugerahkan nikmat akal kepada manusia untuk memilih agama ia yakini kebenarannya tanpa ada paksaan dan intervensi dari Allah. Sebagaimana Firmannya “Tidak ada paksaan dalam agama”. (Qs. Al-Baqarah; 2/256). Manusia adalah makhluk yang punya kebebasan untuk memilih dan inilah salah satu keistimewaan manusia dari makhluk lainnya, namun tentunya kebebasan itu adalah kebebasan yang harus dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah SWT. Pluralisme agama mengajak keterlibatan aktif dengan orang yang berbeda agama (the religious other) tidak sekedar toleransi, tetapi jauh dari itu memahami akan substansi ajaran agama orang lain. Pluralisme agama dapat berfungsi sebagai paradigma yang efektif bagi pluralisme sosial demokratis di mana kelompok-kelompok manusia dengan latar belakang yang berbeda bersedia membangun komunitas global. Nurkholis Madjid, mengatakan bahwa salah satu persyaratan terwujudnya masyarakat modern yang demokratis adalah terwujudnya masyarakat yang menghargai kemajemukan (pluralitas) masyarakat dan bangsa serta mewujudkan sebagai suatu keniscayaan.

Al-Qur’an melihat kemajemukan agama sebagai misteri Ilahi yang harus dierima untuk memungkinkan hubungan antar kelompok dalam wilayah public. Namun, Al-Qur’an mengakui ekspresi keberagamaan manusia yang berbeda memiliki nilai spiritual interinstik atau nilai perennial. Menurut Gamal al-Banna, Al-Qur’an sangat aspiratif terhadap akal. Betapa banyak ayat yang dimulai redaksi rasional seperti alam tara (apakah kamu tidak melihat); alam ta’lam (apakah kamu tidak mengetahui) dan diakhiri dengan redaksi yang sama (rasional); seperti afala tatafakkarun (apakah kalian tidak berfikir); afala ta’qiun (apakah kalian tidak menggunakan akal) dan lain sebagainya. Islam meletakka prinsip menerima eksisteni agama lain dan memberikan kebebasan kepada pemeluk agama lain untuk menjalankan ajaran agamanya tanpa batasan. Dengan adanya kebebasan inilah, Yahudi, Kristen mendapatkan kebebasan secara sempurna.

D.Al-Qur’an dan Pluralisme Keagamaan

Kitab suci Al-Qur’an diturunkan dalam konteks kesejarahan dan situasi keagamaan yang pluralistic (plura-religius). Setidaknya terdapat empat bentuk keyakinan agama yang berkembang dalam masyarakat Arab tempat Muhammad SA menjalankan misi profektinya sebelum kehadiran Islam, yaitu Yudaisme (Yahudi); Kristen, Zoroastrianisme dan agama Makkah sendiri. Tiga diantaranya yang sanat berpengaruh dan senantiasa disinggung oleh Al-Qur’an dalam berbagai levelnya adalah Yahudi, Kristen dan agama Makkah.

Kedatangan Al-Qur’an ditengah-tengah pluralitas agama tidak serta merta mendeskriditkan agama-agama yang berkembang saat itu, tapi Al-Qur’an yang sangat aspiratif, akomodatif, mengakui dan membenarkan agama-agama yang dating sebelum Al-Qur’an diturunkan. Bahkan lebih jauh dari itu Al-Qur’an juga mengakui aka keutamaan umat-umat terdahulu sebagaimana terdapat dalam ayat. “Wahai Bani Israil! Ingatlah nikmat-Ku yang telah aku berikan kepadamu, dan Aku telah melebihkan kamu dari semua umat yang lain di alam ini (pada masa itu).” (QS. Al-Baqarah: 2/47). Dalam ayat ini, tergambar suatu sikap pengakuan Al-Qur’an akan keunggulan dan keutamaan umat-umat terdahulu sebelum umat Islam.

Al-Qur’an sebagai sumber normatif bagi satu teologi inklusif-pluralis. Bagi kaum muslimin, tidak teks lain yang mempunyai posisi otoritas mutlak dan tak terbantahkan selain Al-Qur’an. Maka, Al-Qur’an merupakan kunci untuk menemukan dan memahami konsep pluralisme agama dalam Al-Qur’an.

E.Pengakuan Al-qur’an Terhadap Pluralisme Agama

Pengakuan terhadap pluralisme atau keragaman agama dalam Al-Qur’an, ditemukan dalam banyak terminology yang menuruk kepada komunitas agama yang berbeda seperti ahl al-kitab, utu al-Kitab, utu nashiban min al-Kitab, ataytum al-Kitab, al-ladzina Hadu, al-nashara, al-Shabi’in, al-majusi dan yang lainnya. Al-Qur’an disamping membenarkan mengakui keberadaan, eksistensi agama-agama lain, juga memberikan kebebasan untuk menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Ini adalah sebuah konsep yang secara teologis mempersatukan keragaman tersebut dalam satu umat yang memiliki kitab suci Ilahi. Karena memang pada dasarnya tiga samawi yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam adalah bersaudara, kakak adik, masih terikat hubungan kekeluarga yaitu berasal dari Nabi Ibrahim AS.

Pengakuan Al-Qur’an terhadap pluralisme dipertegas lagi dalam khutbaj perpisahan Nabi Muhammad. Sebagaimana dikutip Fazlur Rahman, ketika Nabi menyatakan baha, “Kamu semua adalah keturunan Adam, tidak ada kelebihan orang Arab terhadap orang lain, tidak pula orang selain Arab terhadap orang Arab, tidak pula manusia yang berkulit putih terhadap yang berkulit hitam, dan tidak pula orang yang hitam terhadap yang putih kecuali karena kebajikannya.” Khutbah ini menggambarkan tentang persamaan derajat umat manusia dihadapan Tuhan, tidak ada perbedaan orang Arab dan non Arab, yang membedakan hanya tingkat ketakwaan. Sebagaimana Firman Allah “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah adalah yang paling takwa”. (QS. Al-Hujurat:49/13).

Pengakuan Al-Qur’an terhadap ah al-Kitab antara lain :

199. Dan Sesungguhnya diantara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. mereka memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allah Amat cepat perhitungan-Nya. (QS. Ali Imran: 3/199).

Menurut riwayat Jabir Ibn Abd Allah, Anas, Ibn Abbas, Qatadah da Al-Hasan, teks surat Ali Imran ayat 199 di atas, turun berkenaan dengan kematian raja Najasyi dari Habsah. Pada saat kematian raja Najasyi, Nabi menyuruh kepada sahabatnya untuk melaksanakan shalat jenazah. Para sahabat saling membicarakan kenapa Rasul menyuruh untuk melaksanakan shalat bagi seorang raja kafir (ateis). Maka turunlah ayat diatas untuk menegaskan spritualitas sebagian ahli kitab.

Al-Qur’an juga secara eksplisit mengakui jaminan keselamatan bagi komunitas agama-agama yang termasuk Ahl al-Kitab (Yahuid, Nasrani, Shabi’in) sebagaimana dalam pernyataannya.

62. Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin[56], siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah[57], hari kemudian dan beramal saleh[58], mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.(Al-Baqarah: 2/62)

[56] Shabiin ialah orang-orang yang mengikuti syari'at nabi-nabi zaman dahulu atau orang-orang yang menyembah bintang atau dewa-dewa. [57] Orang-orang mukmin begitu pula orang Yahudi, Nasrani dan Shabiin yang beriman kepada Allah Termasuk iman kepada Muhammad s.a.w., percaya kepada hari akhirat dan mengerjakan amalan yang saleh, mereka mendapat pahala dari Allah. [58] Ialah perbuatan yang baik yang diperintahkan oleh agama Islam, baik yang berhubungan dengan agama atau tidak.

Sayyid Husseyn Fadlullah dalam tafsirnya menjelaskan: Makna ayat ini sangat jelas. Ayat ini menegaskan bahwa keselamatan pada hari akhir akan dicapai oleh semua kelompok agama ini yang berbeda-beda dalam pemikiran dan pandangan agamanya berkenaan dengan akidah dan kehidupan dengan satu syarat: memenuhi kaidah iman kepada Allah, hari akhir, dan amal shaleh. Ayat-ayat itu memang sangat jelas tu mendukung pluralisme. Ayat-ayat itu tidak menjelaskan semua kelompok agama benar, semua kelompok agama sama. Tidak! Ayat-ayat ini menegaskan semua golongan agama akan selamat selama mereka beriman kepada Allah, hari akhir dan beramal shaleh.

Sikap pengakuan Al-Qur’an terhadap adanya jaminan keselamatan bagi agama lain diluar Islam sangat kontras dengan prinsip ajaran agama Katolik, seumur-umur gereja Katolik belum pernah mengakui keselamatan yang ada di luar gereja Katolik. Keselamatan hanya ada dalam agama Katolik. Kritik dan protes yang dilancarkan gerakan keagamaan Protestan yang dimotori oleh Martin Luther selama 400 tahun lamanya tidak banyak merubah hegemoni kebenaran tunggal yang dimiliki agama ini. Baru tahun 1965 dalam konsili VAtikan II, gereja Katolik mulai mengubah cara pandang keagamaannya. Mereka mulai membuka diri mau mengakui adanya pluralitas keselamatan di luar gereja Katolik. Demikian juga halnya yang terjadi pada agama Protestan yang menurut sejarah kelahirannya merupakan gerakan protes dan pembaharuan terhadap gereja Katolik, mulai terasa  kepayahan untuk menyatukan langkah-langkah gereja-gereja kecil dalam sekte-sekte yang independent dilingkungan internal agama Protestan. Penganut sekte-sekte dalam agama Protestan tidak selamanya dapat akur antara satu dengan yang lainnya.

Sungguh menarik untuk mencermati dan memahami pengakuan Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam yang berfungsi sebagai petunjuk (hudan) dan obat penetram (syifa li mafi al-shudhur) terhadap pluralitas agama, jika ayat-ayat Al-Qur’an dipahami secara utuh, ilmiah-kritis-hermeneutis, terbuka, dan tidak memahaminya secara ideologis-politis, tertutup, Al-Qur’an sangat radikal dan liberal dalam menghadapi pluralitas agama.

Secara normatif-doktrinal, Al-Qur’an dengan tegas menyangkal dan sikap eksklusif dan tuntutan truth claim (klaim kebenaran) secara sepihak yang berlebihan, seperti biasa melekat pada diri penganut agama-agama, termasuk para penganut agama Islam. Munculnya klaim kebenaran sepihak itu pada gilirannya akan membawa konflik dan pertentang yang menurut Abdurahman Wahid (Gus Dur), merupakan akibat dari proses pendangkalan agama, dan ketidak mampuan mampuan penganut agama dalam memahami serta menghayati nilai dan ajaran agama yang hakiki. Al-Qur’an berulangkali mengakui adanya manusia-manusia yang saleh di dalam kaum-kaum tersebut, yaitu Yahudi, Kristen, dan Shabi’in seperti pengakuan terhadap adanya manusia-manusia yang beriman di dalam Islam. Ibnu ‘Arabi salah seorang Sufi kenamaan mngatakan, bahwa setiap agama wahyu adalah sebuah jalan menuju Allah, dan jalan-jalan tersbut berbeda-beda. Karena penyingkapan diri harus berbeda-beda, semata-mata anugrah Tuhan yang juga berbeda. Jalan bias saja berbeda-beda tetapi tujuan harus tetap sama, yaitu sama-sama menuju kepada satu titik yang sama yakni Allah SWT.

F.Pluralisme Agama Keniscayaan Sejarah

Agama dan beragama lebih dahulu dari usia itu sendiri sebab sejarah belum ditulis sedikitpun kecuali setelah manusia mengenal peradaban. Pluralisme atau kebhinekaan agama merupakan suatu kenyataan aksiomatis (yang tidak bisa dibantah) dan merupakan keniscayaan sejarah (histrical necessary) yang bersifat universal. Prespektif sosio-historis, pluralisme keagamaan merupakan realitas emperis yang tercipta diluar otoritas manusia, kesadaran akan realitas tersebut dan kesediaan menerima keragaman sebagai suatu hal yang tidak mungkin dipisahkan dari kehidupan umat manusia. Dalam bahasa agama, pluralisme atau kebinekaan merupakan sunnatullah (kepastian hokum Tuhan) yang bersifat abadi (perennial); argument histories yang menunjukkan keniscayaan sejarah akan pluralisme agama, dikemukakan oleh Ismail Raji al-Faruqi bahwa kebinekaan atau pluralisme agama tersebut disebabkan oleh perbedaan tingkat perkembangan sejarah, peradaban dan lokasi umat yang menerimanya. Ismail Raji al-Faruqi menjelaskan bahwa asal dari agama itu satu karena bersumber pada satu (Tuhan). Sebagaimana Firman-Nya “Maka hadapkanlah wajahmu kepada (Allah) dengan lurus (tetaplah) atau fitrah Allah yang telah menciptakan manusia di atas fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang benar, akan tetapi, kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Al-Rum: 30:30). Tetapi kemudian, sejalan dengan tingkat perkembangan sejarah, peradaban, lokasi, dan kebutuhan umat yang menerimanya, din al-fitrah tersebut menjadi suatu agama histories atau tradisi agama yang spesifik dan beraneka plural.

Bila kita merujuk kepada sejarah agama, kita menemukan bahwa tiga agama besar, yaitu Yahudi, Kristen dan Islam lahir dari satu bapak (Ibrahim). Ini yang membuat kita mengerti akan sabda Rasulullah tentang para nabi bahwa mereka adalah “keluarga besar (abn ‘allat)”. Ayah mereka satu dan ibu mereka banyak. Secara histories-geografis mereka terikat oleh satu tempat dan waktu yang tidak berjauhan, sampai setiap agama itu menyebar keseluruh benua. Seharusnya, hubungan antar agama yang satu dengan agama yang lainnya adalah hubungan persaudaraan. Saying, pada kenyataan setiap agama justru mempersempit gerak agama lain. Masing-masing menciptakan suasana ketegangan, jika tidak ingin dikatakan suasana permusuhan. Hubungan paling buruk terjadi antara Kristen, di satu sisi, dengan Yahudi dan Islam, disisi lain, dengan Kristem dan Yahudi di sisi lain. Yang demikian itu terjadi karena Islam, sebagai agama terakhir, harus menentukan sikapnya terhadap agama-agama yang dating mendahuluinya. Sesungguhnya Islam, Yahudi dan Kristen adalah agama-agama yang saling berhubungan, yang berbeda-beda di antara ketiganya sangatlah kecil. Kemahaesaan Allah meniscayakan akan pluralitas seain Dia, arinya hanya Allah saja yang Esa (tunggal) sedangkan selain Dia, adalah plural. Menolak pluralisme berarti pada dasarnya menolak kemajemukan, sedangkan menolakan kemajemukan sama saja dengan mengingkari sunnatullah, dan itu tidak mungkin.

G.Upaya Memelihara Pluralisme Agama

Pada dasarnya pluralisme tidak membutuhkan suatu system yang baku untuk memeliharanya, yang dibutuhkan adalah pemahaman masyarakat beragama tentang pluralisme itu sendiri. Namun walaupun demikian ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menjaga keberlangsungan pluralisme, antara lain :

1.Adanya Kesadaran Islam yang Sehat

Pluralisme dalam masyarakat Islam memiliki karakter yang berbeda dari pluralisme yang terdapat dalam masyarakat lain. Ciri khas dalam Islam meniscayakan adanya perbedaan baik itu perbedaan ras, suku, etnis, sosial, budaya dan agama. Dan pluralisme tidak dimaksudkan sebagai penghapusan kepribadian Islami. Kesadaran Islam yang cerdas merupakan factor yang menjamin pluralisme dan menjaganya dari penyimpangan dan kesalahan. Kesadaran Islam yang cerdas tidak pernah menutup diri dari berbagai kecenderungan yang positif obyektif. Bahkan kecenderungan itu bias jadi akan menambah keistemewaan agama Islam itu sendiri.

Kesadaran Islam yang sehat akan mampu melihat dengan jernih sisi kebenaran yang terdapat dalam agama lain karena semua agama punyai nilai-nilai kebenaran yang bersifat universal, tidak panatisme agama secara berlebihan dan selalu membuka diri dengan orang lain walaupun berbeda agama dan keyakinan. Bila sikap seperti ini dimiliki oleh setiap muslim, maka pluralisme agama dapat berkembang dengan baik dan harmonis ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

2.Mara Ma’ruf Nahi Mungkar

Pemahaman konsep amar ma’ruf nahi mungkar yang benar, akan mampu menjadi perangkat lunak yang akan terwujudnya pluralisme. Karena amar ma’ruf nahi mungkar memberikan peluang bagi tumbuhnya kebebasan berpikir dan terwujudnya kondisi demokratis. Jika amar ma’ruf nahi mungkar tidak lagi berjalan dalam masyarakat sebagaimana mestinya, maka akan sangat mungkin tumbuhnya kemungkaran yang tidak terhitung, tanpa ada seorang pun yang berani melakukan kritik dan reformasi social. Kondisi seperti ini akan anti pluralisme.

Sayangnya, kadang kala karena kesalahpahaman akan konsep amar ma’ruf nahi mungkar, yang terjadi justru amar ma’ruf nahi mungkar menjadi perangkat yang melawan pluralisme bahkan cenderung membenarkan tindakan-tindakan amarkhis. Ini terjadi ketika konsep amar ma’ruf nahi mungkar berada di tangan orang-orang yang berpandangan totaliter yang memiliki jargon “satu kata” hanya mereka yang benar sedangkan orang lain salah, inilah senjata mereka dalam memberangus orang lain yang memiliki pandangan yang berbeda. Seperti kasus yang terjadi akhir-akhir ini di tanah air yang hangat dibicarakan diberbagai media baik cetak maupun elektronik, yaitu bentrok fisik yang terjadi antar ormas-ormas Islam dengan aliran Ahmadiyah baik di bogor, Sukabumi dan daerah-daerah lainnya. Seharusnya bila semua pihak bias berladang dada, saling memahami dan menahan diri itu tidak semestinya terjadi. Menurut analisa penulisan ini, merupakan salah bentuk penyelewengan makna amar-ma’ruf nahi mungkar itu sendiri. Agama Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan kepada umatnya untuk menegakkan untuk menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Islam mengajarkan dengan hikmah (arif dan bijaksana); usatun hasanah (contoh tauladan yang baik), mau’idzah hasanah (pengajaran yang baik) dan menasehati dengan cara lemah lembut dengan penuh kesabaran dalam mengajak orang lain kepada jalan kebenaran, bukan dengan cara-cara kekerasan dan menghakimi. Agama seharusnya dapat menjadi pendorong bagi umat manusia untuk selalu menegakkan perdamaian dan meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia di bumi ini. Agama dengan ajaran yang suci dan mulai tidak layak dijadikan tameng untuk mengeksekusi penganut agama lain yang tidak seagama dalam pergaulan social, apalagi bila agama dijadikan unsur pembenaran untuk terjadinya konflik social antar sesame umat beragama, melakuka perbuatan anarkis, hal yang demikia adalah merupakan suatu penistaan terhadap agama, apapun agamanya dan siapapun yang melakukan itu tidak dapat dibenarkan.

3.Dialog Antarumat Beragama

Salah satu faktor penyebab terjadinya konflik keagamaan adalah adanya paradigam keberagaman masyarakat yang masih eksklusif (tertutup). Pemahaman keberagaman ini tidak bisa dipandang sebelah mata karena pemahaman ini dapat membentuk pribadi yang antipati terhadap pemeluk agama lain. Pribadi tertutup dan menutup ruang dialog dengan pemeluk agama lain. Pribadi yang selalu merasa hanya agama dan alirannya saja yang paling benar sedangkan agama dan aliran keagamaan lainnya adalah salah dan bahkan dianggap sesat. Paradigma keberagaman seperti ini (eksklusif) akan membahayakan stabilitas keamanan dan ketentraman pemeluk agama bagi masyarakat yang multi agama.

Membangun pesaudaraan antarumat beragama adalah kebutuhan yang mendesak untuk diperjuangkan sepanjang zaman. Persaudaraan antar sesame umat beragama itu hanya dapat dibangun melalui dialog yang serius yang didasarkan pada ajaran-ajaran normative masing-masing dan komunikasi yang intens, dengan dialog dan komunikasi tersebut akan terbangun rasa persaudaraan yang sejati antar sesama umat, maka akan sirnalah segala sakwa sangka di antar mereka.

Alwi Shihab mengatakan, dialog antar umat beragama mempersiapkan diri untuk melakukan diskusi dengan umat agama lain yang berbeda pandangan tentang kenyataan hidup. Dialog tersebut dimaksudkan untuk saling mengenal, saling pengertian, dan saling menimba pengetahuan baru tentang agama mitra dialog. Dengan dialog akan memperkaya wawasan kedua belah pihak dalam rangka mencari persamaan-persamaan yang dapat dijadikan landasan hidup rukun dalam suatu masyarakat, yaitu toleransi dan pluralisme agama. Agama Islam sejak semula telah menganjurkan dialog dengan umat lain, terutama Kristen dan Yahudi yang di dalam AlQur’an dengan ungkapan ahl al-Kitab (yang memiliki kitab suci). Penggunaan kata ahl al-kitab untuk panggilan umat Kristen dan Yahudi, mengindikasikan adanya kedekatan hubungan kekeluargaan antara umat Islam, Kristen dan Yahudi. Kedekatan tiga agama samawi yang sampai saat ini masih dianut oleh umat manusia itu semakin tampak jika dilihat dari genologi ketiga utusan (Musa, Isa dan Muhammad) yang bertemuan pada Ibrahim sebagai Bapak agama tauhid. Ketiga agama ini, sering juga disebut dengan istilah agama-agama semitik atau agama Ibrahim.

H.Penutup

Konsep pluralisme agama sejak awal sudah ada dalam agama Islam, ia merupakan bagian prinsip dasar dari agama Islam itu sendiri. Agama Islam, sebagai agama yang mengemban misi rahmatanlilamin memandang pluralisme atau keragaman dalam beragama merupakan rahmat dari Allah ST, yang harus diterima oleh semua umat manusia, karena pluralisme adalah bagian dari otoritas Allah (Sunnatullah) yang tidak dapat dibantah oleh manusia. Secara histories, pluralisme agama adalah keniscayaan sejarah yang tidak dapat dipungkiri, hal ini tergambar dalam sejarah tiga agama besar, yaitu Yahudi, Kristen dan Islam yang bersumber dari satu bapak tetapi banyak ibu.

Al-Qur’an dalam berbagai kesempatan banyak bicara tentang pluralisme, bahkan Al-Qur’an berulangkali mengakui adanya manusia-manusia yang saleh di dalam kaum-kaum tersebut, yaitu Yahudi, Kristen, dan Shabi’in seperti pengakuannya terhadap adanya manusia-manusia yang beriman di dalam Islam. Sikap pengakuan Al-Qur’an terhadap pluralisme telah mencapai puncaknya dalam berbicara soal pluralisme ketika menegaskan sikap penerimaan Al-Qur’an terhadap agama-agama selain Islam untuk bersama dan berdampingan. Yahudi, Kristen dan agama-agama lainnya baik agama samawi maupun agama Ardhi eksistensinya diakui oleh Agama Islam. Ini adalah suatu sikap pengakuan yang tidak terdapat di dalam agama lain.

Pluralisme agama dapat terdapat dan terpelihara dengan baik, apabila pemahaman agama yang cerdas dimiliki oleh setiap pemeluk agama. Antar umat beragama perlu membangun dialog dan komunikasi yang intens guna menjalin hubungan persaudaraan yang baik sesame umat beragama. Dengan dialog akan memperkaya aasan kedua belah pihak dalam rangka mencari persamaan-persamaan yang dapat dijadika landasan hidup rukun dalam suatu masyarakat, yaitu toleransi dan pluralisme. Wallahu A’lam.

DAFTAR PUSTAKA

Azyumardi Azra, Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 2007.

Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara Merajut Kerukunan Antarumat, Jakarta: Kompas, 2002.

Amir Mahmud (Ed); Isalam dan Realitas Sosial Di Mata Intelektual Muslim Indonesia, Jakarta: Edu Indonesia Sinergi, 2005.

A. Mukti Ali, Agama dan Pembangunan Indonesia, Jilid V: Biro Hukum dan Humas Depag: Jakarta, 1999.

Alef Theria Wasim dkk (Ed); Harmoni Kehidupan Beragama: Problem, Peraktik & Pendidikan, Yogyakarta: Oasis Publisher, 2005

Abd. A’la, Melampaui Dialog Agama, Jakarta: Kompas, 2002.

Alwi Sihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, Bandung: Mizan, 1999.

Aloys Budi Purnomo, Membangun Teologi Inklusif-Pluralistik, Jakarta: Kompas, 2003.

Abdulaziz Sachedina, Beda Tapi Setara Pandangan Islam tentang Non-Islam, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2004.

Anis Malik Toha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, Jakarta: Prespektif, 2005.

Bahtiar Effendy (Ed); Agama dan Radikalisme di Indonesia, Jakarta: Nuqtah, 2007.

Gamal al-Banna, Doktrin Pluralisme Dalam Al-Qur’an, Jakarta: Menara, 2006.

Hendra Riyadi, Melampaui Pluralisme Etika Al-qur’an tentang Keragaman Agama, Jakarta: PT. Wahana Semesta Inetrmedia, 2007.

Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme Akhlak Quran Menyikapi Perbedaam, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006.

J. Riberu, Tonggak Sejarah Pedoman Arab: Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: Dokpen MAWI, 1983

Jauhar Azizy (Tesis 2007); Pluralisme Agama dalam Al-Qur’an: Telaah Terhadap Tafsir Departemen Agama, (Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.

Muhamad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan Menjalin Kebersamaan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003.

Murad W. Hofmann, Menengok Kembali Islam Kita, Bandung: Pustaka hidayah, 2002.

Muhammadiyah, Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP, Tafsir Tematik Al-Qur’an Tentang Hubungan Sosial Anatarumat Beragama, Yogyakarta: Pustaka SM, 2002.

M. Amin Abdullah, Alqur’an dan Pluralisme dalam Khazanah: Jurnal Ilmu Agama Islam, Volume 1, Nomor 6, Juli-Desember, 2004.

Muhammad Abid Al-Jabiri, al-Aql al-Siyasi al-Arabi, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991.

M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Kebangsaan, Yogyakarta: Pilar Media, 2007.

M. Yudhi R. Haryono, Bahasa Politik Al-Qur’an Mencurigai Makna Tersembunyi di Balik Teks, Bekasi: Gugus Press, 2002.

Nurkhalis Madjid, Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman, Jakarta: Kompas, 2001.

Nurkhalis Madjid, Cendikiawan dan Religiusitas Masyarakat, Jakarta: Paramadina, 1999

Nurkhalis Madjid, Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, 2003.

Suarahman Hidayat, Islam Pluralisme dan Perdamaian, Jakarta: Fikr, 1998.

Said Agil Husin Al Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama, Jakarta: PT. Ciptuta Press, 2005

Said Agil Husin Al Munawar, Aktualisasi Nilai-nilai Qur’ani Dalam Sistem Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press, 2003

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun