Mohon tunggu...
Balsabah Gatholojo
Balsabah Gatholojo Mohon Tunggu... Penulis - Setiap tulisan adalah anak jamannya

Dan kemerdekaan kata harus diperjuangkan!!!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mengikhtiarkan Netralitas Birokrasi Dalam Dunia Politik

26 Februari 2015   01:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:30 683
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengikhtiarkan Netralitas Birokrasi Dalam Dunia Politik

“Netralitas birokrasi adalah mitos, sebab birokrasi adalah faksi politik yang sangat aktif memihak dan memperjuangkan agenda kepentingannya sendiri”. Mungkin seperti itulah benak masyarakat Indonesia jika melihat peranan birokrasi di negara ini. Sebuah agenda seringkali berlawanan dengan demokratisasi pemerintahan yang tak korup. Struktur birokrasi cenderung hanya akan “loyal” dan “kompak”terhadap kepemimpinan politik yang memiliki agenda dan kepentingan sejalan, yang sayangnya bersifat anti penguatan pelayanan publik dan pemerintahan yang bersih dari “agenda” korupsi.

Berbagai kasus korupsi dan suap yang terungkap menunjukkan betapa kolaborasi jahat antara pemimpin birokrasi dan politik telah menghancurkan harapan akan pemerintahan yang sehat dan bertanggung jawab. Kasus Hambalang, SKK Migas, Pemprov Banten, dan ratusan lainnya, secara gambalang menunjukkan betapa persekongkolan antara birokrasi dan politisi sudah menjadi kanker ganas di tubuh demokrasi Indonesia.

Sebaliknya, terhadap kepemimpinan yang membawa agenda demokratisasi pemerintahan, niscaya birokrasi akan mengambil jalan melawan dengan berbagai strategi. Salah satu contoh kecilnya, adalah di Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta menunjukkan agenda penguatan pelayanan publik dan pemerintahan yang baik, secara terus menerus, di sabotase oleh elemen-elemen birokrasi yang mulai terganggu kepentingannya akibat egenda tersebut. Kecurangan dalam pengadaan bus tranjakarta, penyimpangan pemanfaatan rumah susun, permainan lelang kepala sekolah, perlawanan lelang jabatan, dan manipulasi penyusunan anggaran adalah bentuk sabotase atas agenda reformasi birokrasi yang sedang diupayakan oleh kepemimpinan Basuki Jhahaja Purnama sebagai pengganti gubernur yang telah dilantik menjadi presiden RI, Joko Widodo.

Birokrasi melakukan sabotase karena langkah membangun pelayanan publik yang kuat dan pemerintahan yang bertanggung jawab menggangu zona nyaman yang selama ini mereka nikmati. Praktik-praktik ketidaksungguhan dalam pelayanan dan penyimpangan anggaran memang menjadi tradisi birokrasi, bukan hanya di pmerintah dki jakarta semata, melainkan merata di berbagai instansi birokrasi pemerintahan di pusat dan daerah.

Kecenderungan perlawanan birokrasi terhadap agenda demokratisasi pemerintahan bersumber dari karakter kuasa politik yang melekat dalam proses formasi dan perkembangan struktur birokrasi pemerintahan negeri ini. Sejarah birokrasi Indonesia adalah sejarah tentang alat politik dan tentang dominasi kekuasaan pemerintahan.

Sebagai alat politik, birokrasi pemerintahan di Nusantara di bentuk pertama kali oleh rezim Hindia Belanda sebagai kepanjangan tangan agenda-agenda kolonialisme. Birokrasi buka merupakan struktur yang dibentuk untuk mengelola dan memenuhi kebutuhan penduduk sebagai warga negara kolonial.

Logika berpikir semacam ini kurang lebih diadopsi oleh selama pemerintahan Orde Baru, dimana birokrasi lebih berfungsi sebagai alat untuk mengontrol dan menguasai masyarakat daripada sebagai institusi yang sungguh-sungguh disusun untuk memproduksi pelayanan publk. Dengan menjadi alat dari sebuah rezim, birokrasi memiliki legitimasi sebagai aktor pemerintahan yang dominan dan kuat, yang menjadikan dirinya lebih sebgai patron daripada pelayanan bagi masyarakat luas.

Sebagai aktor yang mendominasi pemerintahan, birokrasi memiliki kuasa atas fungsi-fungsi pemerintahan. Termasuk di dalamnya pelayanan publik dan penyelenggaraan anggarran negara. Kekuasaan pemerintahan tersebar dalam berbagai detail kewenangan yang menjadi ranah bekerjanya birokrasi. Dengan kekuasaan terhadap detail kewenangan (termasuk data dan informasi kebijakan), aktor-aktor birokrasi menjelma jadi pemegang kekuasaan strategis, mulai dari perencanaan sampai dengan implementasi kebijakan.

Sayangnya, kekuasaan tersebut selama ini cenderung digunaka untuk melayani kepentingan partikular kelas “elit” kekuasaan maupun memanfaatkannya untuk memenuhi kepentingan sendiri kaum birokrat. Postur birokrasi yang terbangun pada akhirnya tak sejalan dengan semangat imparsialitas dan mengedepankan pelayanan publik. Akibatnya, terjadi disfungsi pelayanan publik yang akut dan pemerintahn yang tidak efektif.

Gagasan reformasi birokrasi ditujukan untuk mengembalikan fungsi-fungsi dasar birokrasi sebgai pengelola pelayana publik dan mendorong lahirnya pemerintahan yang efektif. Gagasan semacam ini secara frontal menyerang fondasi mentalitas kuasa politik birokrasi yang terbiasa dengan prktik permainan kewenangan dan sumber daya untuk keuntungan diri sendiri maupun kelas elit kekuasaan.

Publik harus menyadari, perlawanan birokrasi tersebut bukan berdasar pada pemimpin yang menginginkan perubahan. Lebih mendasar adalah perlawanan terhadap gagasan untuk memotong mentalitas sebagai penguasa yang menjadi norma dasar birokrasi pemerintahn. Dalam kasus di DKI jakarta, mulai dari bersifat terang-terangna (menolak lelang jabatan), pengabaian (kosongnya kantor pelayanan ketika ada inspeksi gubenur), dan akal-akalan dalam implementasi (seleksi kepala sekolah dan lelang bus transjakarta). Ini semua dapat dibaca sebagai bentuk perlawanan politik birokrasi.

Jika pada masa lalu tekanan dan mobiliasi publik berhasil mengakhiri keuasaan pemimpin rezim, maka kini tekanan perlu dibangkitkan kembali untuk memberikan dukungan terhadap kepemimpinan politik yang bertujuan mengikis mentalitas, meminjam bahasa Andi Wijaya, kleptokrasi, tidak lagi mempunyai kuasa birokrasi, dan mentranformasikannya menjadi pelayan publik yang ideal dalam pemerintahan yang efektif. Tanpa tekanan dari publik, niscaya elemen-elemen birokrasi yang melakukan sabotase terhadap inisiatif-inisiatif reformasi akan semakin percaya diri. Sehingga tugas birokrat, selain sebagai pembantu negara dan pelayan publik, dapat terlaksana. Semoga

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun