Mohon tunggu...
Anies Ajeng Garahita
Anies Ajeng Garahita Mohon Tunggu... -

keeping smile in my face although inside i feel like dying, just for the sake supporting others

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jebol

3 Oktober 2012   01:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:20 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jebol adalah rusak parah (terbongkar) hingga tidak berfungsi (tt tanggul air, dinding, dsb) krn tidak mampu menahan benturan keras yg melanda. Tapi Jebol yang aku maksud di sini bukan semata-mata jebol karena rusak, melainkan nama samaran yang kugunakan untuk mendeskripsikan orang yang akan aku ceritakan kali ini.

Sekolah Menengah Pertama tingkat delapan

“Kamu pilih ya, mau ikut lomba hafalan qur’an atau ikut olimpiade biologi ?” tanya ibu guru biologi sekolahku saat itu.

“Saya mau ikut olimpiade biologi aja bu.”

“Kalau begitu kamu siap-siap ya, nanti ibu kasih bukunya, kamu harus baca buku-bukunya ya, kalau ada yang kamu tidak mengerti, tanya ke ibu saja ya, ibu ada di ruang guru”

“Siap bu”

Ini pertama kalinya aku mengikuti olimpiade sains tingkat nasional. Buku biologi yang diberikan ibu guru menjadi salah satu kitab yang wajib aku baca dan aku bawa kemana-mana. Tidak mengherankan bila waktu istirahat siang, aku akan sibuk membaca dan menghafal nama latin yang tertulis di buku. Mengahafal seluruh sistem peredaran darah, sistem pernapasan, saraf, dan semua bahasan biologi yang tidak mungkin aku jelaskan satu demi satu.

Sekolah kami mengirim enam orang wakil dalam olimpiade ini, dua orang untuk matematika, dua orang untuk fisika dan dua orang untuk biologi. Aku berpikir bahwa orang yang akan mewakili sekolah semuanya berasal dari kelas kami, itu berarti yang ikut semuanya adalah murid perempuan. Ternyata aku salah mengira, ada satu anak laki-laki yang ikut mewakili sekolah kami, dan laki-laki itu juga mewakili sekolah kami untuk biologi. Sebut saja laki-laki itu jebol, aku tidak terlalu mengenal siapa jebol itu yang aku tahu kami memang satu sekolah selama sekolah dasar, tetapi karena aku tidak pernah satu kelas dengan jebol, aku mengenal jebol hanya sebatas nama.

Aku dan jebol tidak pernah menerima materi bersama-sama, materi yang diberikan pun berbeda, aku belajar dengan caraku sendiri, dan jebol beajar dengan caranya sendiri. Kami juga sama sekali tidak pernah bertegur sapa, entah karena aku yang terlalu malu dan menjaga hijab, yang jelas aku tidak pernah bisa menatapnya lurus-lurus.

Setelah begadang semalaman karena tidak tenang untuk menghadapi hari esok, aku mengambil salah satu buku biologi dan membacanya berulang-ulang. Ibuku melihat kegelisahan yang ada di dalam diriku, dan beliau memintaku untuk menenangkan pikiran, karena kau memang sangat mudah grogi dan gelisah untuk hal-hal semacam ini.

“Aku takut gagal bu”

“Semua ada hikmahnya, walau kamu gagal, kamu pasti mendapat setiap pelajaran dari apa pun yang kamu kerjakan, lagipula olimpiadenya baru besok, jangan pesimis dulu jangan kalah sebelum berperang”

Semua perkataan ibu aku telan bulat-bulat, aku tidak boleh pesimis, tidak boleh menyerah sebelum melakukan apa-apa. Esoknya aku bersiap menuju tempat olimpiade dilakasanakan, tapi rupanya bukan mobil jemputan yang akan mengantar kami ke tempat itu, kami naik mobil ayah jebol, karena ayah jebol merupakan kepala yayasan sekolah kami. Aku memang tidak tahu apa-apa tentang jebol, karena dia memang anak yang luar biasa unik. Sepengetahuanku jebol adalah seperti anak laki-laki kebanyakan, suka bermain dengan teman sebayanya, tidak pernah memakai dasi birunya dengan rapi, selalu datang terlambat, dan dia memang unik. Dia akan memilih untuk diam di kelas sambil main sapu entah itu bepura-pura memainkan mike atau sembari joget-joget tidak karuan. Tapi anehnya dia adalah anak yang luar biasa pintar, di balik keunikannya yang mampu membuat guru kami menggeleng-gelengkan kepala atas setiap kelakuannya yang bisa dibilang kurang wajar. Aku selalu mengamati diam-diam, melihat apa yang membuat dia bisa begitu lain dari yang lain, bagi sebagian teman-teman perempuanku mungkin menganggap bahwa dia aneh, tapi aku menganggap dia hanya unik.

Semenjak pemberitahuan yang dilakukan oleh kepala sekolah sehingga seisi sekolah tahu bahwa aku akan mewakili olimpiade biologi dengan jebol. Riuh anak-anak yang baru beranjak remaja  membahana di masjid seusai sholat dhuha. Aku yang masih tidak mengerti apa-apa tertunduk malu, tidak mengerti apa yang mereka ributkan.

Sesampainya kami di tempat pelaksanaan olimpiade, kami di antar ke tempat duduk kami. Jebol duduk bersebelahan denganku, tidak bicara denganku dan tidak juga bicara dengan teman perempuanku yang lain. Yang jebol katakan kepadaku hanya sebatas meminjam penghapus dan meminta isi pensil mekanik, selebihnya kami terpaku mengerjakan soal masing-masing. Saat istirahat pun dia hanya duduk diam di tempatnya, memainkan dasi biru sambil tertunduk, entah mengantuk atau bosan. Aku yang tidak memiliki keberanian untuk mengajaknya bicara hanya mampu melihatnya sambil berbincang dengan teman perempuan yang duduk di belakangku. Akhirnya olimpiade berakhir, dan kami diantar kembali ke sekolah.

Kepala sekolah mengumumkan bahwa yang lolos olimpiade adalah teman kami yang mewakili bidang fisika. Aku kecewa karena tidak mampu mengecap bagaimana rasanya di karantina hanya untuk mengerjakan soal-soal olimpiade. Aku tidak melihat gurat kecewa dari jebol, dia masih sibuk bercanda dengan teman sebelahnya, sekilas dia terlihat tidak peduli dengan apa yang diumumkan kepala sekolah, tapi aku yakin di dalam hatinya, dia pasti merasa kecewa, sama seperti kecewa yang aku rasakan.

Saat ini aku sedang kuliah semester lima di sebuah politeknik di Bandung, apa aku mengambil biologi sebagai pilihan pendidikanku? Sayang sekali tidak, karena ayahku menentang keinginanku untuk mengambil ilmu biologi sebagai pilihan jurusan kuliahku. Takdir berkata lain, aku mengambil jurusan teknologi informasi di bidang akuntansi yang sama sekali bertolak belakang dengan pilihanku.

Pernah bertemu jebol lagi? Sayangnya tidak, karena setiap kali ada reuni yang diadakan, pasti aku punya segudang alasan untuk tidak hadir, selalu bentrok dengan jadwal kuliahlah dan yang paling baru karena aku harus kerja praktek di salah satu perusahaan berskala multinasional di Jakarta. Bagaimana kabar jebol? Setahuku dia diterima di salah satu perguruan tinggi negeri di Semarang, sayang beribu sayang, dia yang sekarang tidak seperti jebol yang ku tahu saat sekolah menangah pertama. Sekarang rokok telah mengganti permen chupa cup yang sering dia makan saat sekolah menengah pertama. Rambutnya tidak lagi pendek, kumis tipis menghiasi wajahnya. Dia tetap unik tapi dengan bentuk yang berbeda, metamorfosis anak sekolah menengah pertama yang menjadi mahasiswa kuliahan.

PS : Aku liat video kamu yang di upload di youtube, kamu memang masih sama ya, konsisten jadi orang yang lain daripada yang lain. Oh iya aku pengen liat lagi, kamu joget-joget sambil pegang sapu sambil bilang “Oh, TAMON ….” dong, hahaha ….

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun