Sedangkan untuk mengelola rutinitas café, ada lima kru deaf. Masing-masing adalah, Frisca (25) sang juru masak (koki) yang lulusan SLB, asli Manado tapi lama tinggal di Bali dengan bekerja di sebuah restoran. Nurul (21) yang berasal dari Bandung dan baru lulus SLB. Tugas Nurul adalah “menyapa” para tamu yang datang ke café. Ini adalah pengalaman kerja pertama kali buat Nurul. Ada lagi, Sari (30) warga Ciputat, Tangsel, yang bertugas membuat minuman pesanan para tamu. Wawan (27) yang membantu bagian dapur dan juga menangani accounting pada bagian kasir.
“Terakhir adalah Maruf (22). Ia berasal dari salah satu desa di Ciamis, Jawa Barat. Kita biasa memanggilnya dengan ‘Aup’. Maruf ini mengirim permohonan untuk bekerja di Fingertalk melalui akun facebook kami yaitu deafcafe.fingertalk, dan waktu itu, Maruf menyebutkan apa-apa saja prestasi yang perah diraihnya. Melalui biodata itu, kami mengetahui bahwa ‘Aup’ ini ternyata lulusan terbaik di salah satu SLB di Ciamis. Ia juga atlet futsal yang beberapa kali mewakili wilayahnya dalam sejumlah kompetisi futsal. Akhirnya, dengan tangan terbuka kami menerima Maruf bergabung di Deaf Café Fingertalk sebagai kitchen staf,” tutur Dissa yang merupakan alumni SMP Al Izhar Pondok Labu, dan SMAN 70 Bulungan di Jakarta Selatan dengan Program Akselerasi dua tahun (2004 – 2006).
BERKAH JADI RELAWAN
Bimbingan kedua orangtua Dissa memang menggariskan agar pendidikan selalu menjadi prioritas nomor satu. Makanya, setamat SMA, Dissa menempuh studi S1 ke Negeri Sakura, dengan kuliah jurusan Business Administration di Ritsumeikan Asia Pacific University di Beppu, Prefektur Oita, Jepang. Kemudian, Dissa melanjutkan studi S2 di University of New South Wales di Sidney, Australia, dengan mengambil jurusan Professional Accounting.
Pada rentang tahun 2012 – 2013, Dissa sempat bekerja secara profesional di Tokyo. Ia menjadi Business Analyst pada satu perusahaan Web Advertising. Tapi, karena jam kerjanya long hours, seringkali memaksa Dissa stay bekerja hingga pukul 02.00 dini hari. Menyadari jam kerja yang kurang bersahabat, Dissa merasa lebih baik mencari pengalaman kerja baru. Tapi, ini bukan berarti ia lantas menclok ke perusahaan anyar. Ia justru mengerem keinginan bekerja profesional. Pilihannya, malah jatuh pada bekerja secara sosial dengan menjadi relawan atau volunteer.
Keinginan Dissa untuk menjadi social worker---yang tidak akan menerima gaji, malah sebaliknya memberi sumbangsih bagi banyak orang---, memang menggebu-gebu. Ya, sejak kecil, Dissa memang sudah jatuh hati dengan kerja sosial. Bahkan sewaktu kuliah dan bekerja di Jepang, Dissa pernah menjadi relawan. Begitu juga ketika kuliah di Australia, Dissa terlibat sebagai relawan yang mengajar Bahasa Inggris ke berbagai belahan dunia. Salah satunya, ke Desa Shaitrawa, Jodhpur. Sebuah desa miskin dan terbelakang di pelosok India bagian Barat. Di Shaitrawa, Dissa menjadi relawan dari sebuah Lembaga Sosial Masyarakat (NGO) dengan mengajarkan Bahasa Inggris kepada anak-anak tidak mampu, dari kalangan masyarakat yang urut-urutan kastanya berada pada posisi paling rendah, atau umum disebut Kasta Dalit. Malah, saking rendahnya kasta ini di India, banyak orang menjuluki masyarakat ini sebagai ‘The Untouchable’.
“Aku sengaja tidak mau berpindah kerja di perusahaan dulu. Aku pilih bekerja sebagai relawan. Karena memang, aku pernah bercita-cita ingin berkarir di lingkungan NGO. Selain itu, aku suka sekali bekerja yang melibatkan anak-anak kecil, utamanya yang kurang mampu dan kurang memiliki akses kepada jalur pendidikan formal, karena berbagai keterbatsan, termasuk ekonomi. Kesukaan ini mungkin dikarenakan lingkungan rumah, terutama Ibu aku yang juga membuka yayasan khusus menangani anak-anak yatim dan dhuafa. Makanya, aku menjadi terbiasa dengan semua ini,” terang Dissa.
Hal lain yang memacu Dissa memilih untuk jadi relawan adalah, karena keinginan kuatnya untuk mempelajari bahasa asing. Setelah menguasai Bahasa Indonesia, Jepang dan Inggris, hati Dissa kepincut untuk menguasai Bahasa Spanyol.