Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Segera Hadir, Monumen Tempe Indonesia

20 Oktober 2015   07:51 Diperbarui: 20 Oktober 2015   08:13 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada praktiknya, sebagai Ketua FTI, Made Astawan mengaku dirinya turut membantu menyusunkan dokumen. Nah, dokumen-dokumen ini kalau sudah lengkap, diserahkan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Dirjen Kebudayaan. Selanjutnya, yang akan mengajukan ke UNESCO-nya adalah Pemerintah melalui Kemendikbud.

“Dari sisi Kemendikbud-nya sendiri sudah welcome, kami sudah melakukan pertemuan, sehingga makanya dokumen-dokumen itu harus disusun dan dilengkapi. Dokumennya itu sendiri banyak banget, mulai dari harus mendapatkan dukungan dari mana budaya itu mula-mula muncul. Kalau untuk ini kita anggap yang tepat adalah Klaten, ya okelah, makanya kita harus mendapatkan dukungan terlebih dahulu dari pejabat dan masyarakat Klaten. Kans tempe menjadi IHCC, sepanjang dokumennya lengkap dan sesuai dengan target pengajuan ke UNESCO pada 2017,” ujarnya.

Kedelai jenis Non GMO impor dari Amerika Serikat. (Foto: Gapey Sandy)

Dari segi penampilan fisik saja kedelai jenis Non GMO impor dari Amerika Serikat ini sudah menunjukkan bentuk yang lebih besar, lebih kuning, dengan belahan biji yang umumnya putih. Harganya bisa mencapai Rp 14.000 per kg. (Foto: Gapey Sandy)

Lantas bagaimana keterkaitan antara tempe yang bakal diajukan ke UNESCO sebagai ICHH asal Indonesia, dengan pemenuhan bahan baku kacang kedelai yang nyatanya masih impor, terutama dari Amerika Serikat?

Made Astawan sontak menjawab, hal tersebut tidak berkaitan. “Itu enggak ada hubungannya. Karena yang diklaim adalah tempenye, bukan kedelainya. Kalau asal kedelainya sih dari mana saja, boleh. Pengrajin juga tidak pernah mempersoalkan mana kedelai lokal dan kedelai impor, karena yang paling penting adalah sustainibilitas atau berkelanjutannya bahan baku tempe. Sementara kedelai lokal ini sangat sedikit sekali produksinya, dan tidak akan bisa sustain. Jadi, mau tidak mau ya impor,” terangnya.


Jangan lupa, pesan Made Astawan, Indonesia adalah pasar kacang kedelai terbesar se-Asia Tenggara, bahkan se-Asia. Di Indonesia, sebanyak 70% dari kacang kedelai itu dimanfaatkan untuk membuat tempe.

Tempe premium produksi Rumah Tempe Indonesia di Bogor yang sudah diekspor ke Korea Selatan. (Foto: Gapey Sandy)

“Jadi memang, untuk kondisi seperti saat ini, kedelai lokal enggak akan sanggup mencukupi kebutuhan bahan baku pembuatan tempe. Belum lagi, kedelai juga digunakan untuk membuat tahu, kecap dan lainnya. Jadi, supply kedelai lokal itu tidak akan bisa mencukupi demand kedelai secara nasional yang mencapai 2,5 juta ton per tahun. Selama ini, pemenuhan kebutuhan kedelai nasional, 30% - nya berasal dari lokal. Sedangkan 70% - nya impor dari Amerika Serikat, Argentina dan lainnya,” jelas Made yang juga Guru Besar Teknologi Pangan dan Gizi IPB ini.

Kapan Swasembada Kedelai?

Sementara itu Kepala Bagian Pemasaran Rumah Tempe Indonesia (RTI), Muhammad Ridha juga sepakat untuk memisahkan antara persoalan supply dan demand kedelai, dengan usaha menuntut tempe sebagai ICHH oleh UNESCO.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun