Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Segera Hadir, Monumen Tempe Indonesia

20 Oktober 2015   07:51 Diperbarui: 20 Oktober 2015   08:13 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menurut Ketua Forum Tempe Indonesia (FTI), Prof Dr Ir Made Astawan MS, penyebutan tempe pada kitab Serat Centhini inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa MTI dibangun di Klaten.

Salah satu produk tempe yang diproduksi Rumah Tempe Indonesia, Bogor, sedang dalam proses fermentasi. (Foto: Gapey Sandy)

“Klaten adalah salah satu daerah yang disebut dalam Serat Centhini, yang ada kutipan tentang hidangan tempe. Tapi, bukan berarti Klaten satu-satunya pusat tempe. Memang disebutkan nama Desa Tembayat atau Bayat, dan itu memang adanya di Klaten. Oleh karena itu, untuk mengenangnya maka di Klaten akan didirikan Monumen Tempe Indonesia,” jelasnya ketika diwawancarai penulis.

Artinya berdasarkan penyebutan itu, kata Made Astawan, diperkirakan tempe sudah dikonsumsi di Indonesia sejak tahun 1.700-an. Tempe ini juga bukan berasal dari luar Indonesia, karena satu-satunya produk olahan kedelai yang asli Indonesia adalah tempe.

“Kalau yang lainnya, seperti tauco, kecap, dan tahu itu adalah budaya dari luar Indonesia. Bukan juga dari Jepang, karena enggak ada tempe di Jepang. Indonesia itu punya bukti kuat tentang tempe ini, salah satunya ya di Serat Centhini itu yang ditulis pada sekitar yahun 1.800-an, meskipun dipercayai bahwa tempenya sudah dikonsumsi sejak tahun 1.700-an. Makanya harus diklaim sekarang. Kalau tidak, nanti semua orang bisa mengajukan, termasuk Malaysia dan Jepang, sehingga bisa ‘berbahaya’ kalau ini terjadi,” urainya khawatir.

Sangat berbeda kualitasnya. Kiri (kedelai lokal Organik), Tengah (kedelai GMO impor dari Amerika Serikat), Kanan (kedelai non GMO impor dari Amerika Serikat). (Foto: Gapey Sandy)

Menurut Made lagi, persyaratan untuk mengajukan tempe sebagai Intangible Cultural Heritage of Humanity (ICHH) banyak sekali. Mulai dari surat-surat dukungan, termasuk dari Gubernur Jawa Tengah dan Bupati Klaten, yang keduanya sudah didapatkan. Syarat lain adalah film dokumenter, bukti tertulis, monumen sebagai bukti bahwa tempe benar-benar dikenal oleh masyarakat setempat, dan lainnya.

“Kita berharap tempe diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya tak benda asal Indonesia (ICHH). Maksudnya, tempe ini sudah dikenal di berbagai negara, bahkan para peneliti di negara-negara maju, saat ini juga banyak yang meneliti soal tempe. Mereka banyak menemukan berbagai temuan seperti senyawa-senyawa aktif termasuk aneka khasiat dari tempe. Sebagai penelitian, silakan itu dilakukan dan sah-sah saja. Tapi satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah tempe merupakan budaya Indonesia. Ini yang harus mereka sebutkan. Jadi, soal penelitian, klaim, paten tentang tempe dimana-mana ya boleh-boleh saja, dan tidak boleh kita kuasai. Tapi, kita sebagai negara yang memiliki budaya tempe ya harus diakui, karena tempe itu produk budaya Indonesia,” tuturnya.

Kedelai lokal Organik yang cukup mahal harganya, karena hasil panen “organik”. Seharga Rp 20.000 untuk ukuran sebotol minuman kemasan ukuran satu liter. (Foto: Gapey Sandy)

Kedelai jenis GMO impor dari Amerika Serikat. Biasanya dibeli dalam bentuk curah, seharga Rp 7.000 per kg. (Foto: Gapey Sandy)

Kelak, bila UNESCO mengakui tempe sebagai ICHH asal Indonesia, maka statusnya akan sama seperti Batik yang lebih dulu diakui sebagai ICHH asal Indonesia oleh UNESCO pada 2 Oktober 2009. “Sama seperti Batik. Batik itu ‘kan juga ada dibuat di Malaysia, Afrika dan negara lainnya. Tapi tetap mereka harus mengakui kalau Batik adalah produk budaya Indonesia. Sama dengan tempe, ke depannya kita berharap akan seperti Batik itu,” harapnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun