Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Berkunjung ke Rumah Tempe Indonesia

18 Oktober 2015   11:04 Diperbarui: 27 Mei 2018   07:21 4171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto #1: Suasana di Rumah Tempe Indonesia, Bogor. (Foto: Gapey Sandy)

Rumah Tempe Indonesia (RTI), lokasinya searah dengan Lapangan Udara Atang Senjaya di Jalan Raya Semplak, Kemang, Bogor, Jawa Barat. Kalau dari arah Parung, tinggal lurus menuju arah Selatan, lalu ke Jalan Raya Cilendek No.27. Adanya di sebelah kiri, patokannya swalayan Indomaret. Memang agak sedikit masuk gang, tapi dari pinggir jalan raya sudah akan terlihat gedung megah, bertuliskan KOPTI Bogor. KOPTI singkatan dari Koperasi Pengrajin Tempe Tahu Indonesia. Nah, persis disamping Gedung KOPTI Bogor inilah RTI berdiri.

Dari luar, RTI seperti gedung kantor pada umumnya. Berpintu kaca dan terkesan formal. Tapi begitu saya masuk, semua bayangan itu sirna. Masuk ke dalam RTI, suasananya justru berubah mirip dapur. Hah, dapur? Ya, dapur pembuatan tempe!

Saya saksikan, ada 11 orang-orang muda yang bekerja. Di ruangan sisi paling kiri yang agak menjorok ke bawah, ada tiga pekerja yang merendam, merebus, meniriskan, dan mengupas kulit kacang kedelai. Drum atau dandang-dandang berukuran besar terbuat dari stainless steel menjadi piranti proses produksi yang paling menonjol. Ada pula mesin pengupas kulit kacang kedelai. Kesibukan di space ruang ini begitu terasa. Lantai menjadi basah bahkan sedikit tergenang air. Maklum, namanya juga proses perendaman, perebusan dan penirisan kacang kedelai.

Inilah Rumah Tempe Indonesia di Bogor. (Foto: Gapey Sandy)

Proses perendaman, pencucian, perebusan, penirisan dan pemecahan kulit kacang kedelai dilakukan secara higienis dengan peralatan standar yang terjaga kebersihan dan kesehatannya. (Foto: Gapey Sandy)

Agak lebih tinggi sedikit dari ruang perebusan dan penirisan kacang kedelai, adalah ruang peragian. Kacang kedelai yang sudah tiris, ditumpahkan ke meja panjang yang cekung dan diberi alas kain putih bersih. Karena masih terasa panas dengan sedikit-sedikit asap yang mengepul, kacang kedelai diangin-anginkan menggunakan kipas angin. Setelah dingin, mulailah proses peragian. Seperti menggunakan ayakan, ragi ditaburkan merata ke limpahan kacang kedelai. Lalu diaduk sampai merata.

Selesai peragian, mulailah pencetakan. Kacang kedelai dimasukkan ke plastik kemasan kemudian ditimbang, lalu di-laminating menggunakan mesin. Setelah itu, dibentuk dengan cara ditekan menggunakan semacam bilah kayu sehingga membentuk empat persegi panjang yang tebal. Lantas ditempatkan pada rak bersusun tingkat yang tertutup rapat dengan suhu ruang yang terukur. Inilah proses fermentasi hingga menjadi tempe. Setelah menjadi tempe, kemudian ditempatkan di rak tingkat bersusun lagi di sisi ruang bagian depan. Sampai disini, tempe-tempe sudah siap menjumpai para calon pembelinya.

Pembangunan RTI diinisiasi oleh Mercy Corps, Forum Tempe Indonesia, dan Primkopti Kabupaten Bogor. Tujuannya, menjawab kebutuhan masyarakat akan tempat produksi tempe yang ideal, higienis, ramah lingkungan, dan menghasilkan tempe berkualitas. Selain itu, RTI yang diresmikan pada 6 Juni 2012 ini juga menjadi tempat pendidikan, pelatihan dan penelitian.

Proses peragian dan diaduk hingga rata. (Foto: Gapey Sandy)

Proses memasukkan kacang kedelai yang sudah diragi ke dalam plastik kemasan dengan timbangan yang tepat dan sesuai presisi. (Foto: Gapey Sandy)

“RTI juga tempat pembelajaran, bukan hanya produksi. Kita ingin jadi rujukan atau role model yang ditiru pengrajin tempe. Karena, bicara industri tempe, rata-rata proses produksinya belum higienis, peralatannya belum standar, dan proses produksinya beraneka ragam, sehingga tidak ada yang betul-betul menghasilkan tempe berkualitas. Ini terjadi karena kebanyakan mereka mengikuti kebiasaan orangtua, atau sebelumnya pernah bekerja di pengrajin tempe, sehingga begitulah yang kemudian mereka terapkan,” ujar Muhammad Ridha, Kepala Bagian Pemasaran RTI kepada penulis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun