Ketiga, pendidikan di sekolah, madrasah, dan pesantren perlu mengajarkan sejarah Islam Nusantara dengan jujur dan utuh. Siswa perlu mengetahui bahwa Islam berkembang di Indonesia bukan dengan ancaman, melainkan dengan seni, budaya, dan pendekatan penuh hikmah. Dengan pemahaman sejarah yang jujur, siswa akan lebih bijak menilai tradisi masyarakatnya sendiri.
Keempat, pendekatan dakwah harus dilakukan dengan rahmah (kasih sayang) dan hikmah (kebijaksanaan). Menasihati masyarakat adat bukan dengan hinaan atau merusak tempat sesaji mereka, melainkan dengan memberikan pemahaman yang lembut, diskusi terbuka, dan contoh akhlak yang mulia. Inilah cara dakwah Rasulullah SAW saat menghadapi tradisi jahiliyah di Mekah dan Madinah.
Pada akhirnya, stigma syirik dan bid’ah terhadap praktik Kejawen bukan hanya soal perbedaan pemahaman agama, tetapi juga menyangkut identitas dan harga diri budaya masyarakat Jawa. Jika kita terus menilai tradisi hanya dari satu sudut pandang tanpa memahami konteks sejarah dan filosofinya, maka yang lahir hanyalah perpecahan, bukan pencerahan.
Islam datang sebagai rahmat bagi seluruh alam, termasuk bagi masyarakat Jawa dengan segala ragam budayanya. Kita harus mampu memisahkan mana tradisi yang melanggar tauhid dan mana yang hanya merupakan simbol rasa syukur dan kearifan lokal. Dengan begitu, kita bisa meneladani para wali yang berhasil mengislamkan Nusantara tanpa menghapus jati diri bangsa ini.
Keragaman adalah suatu anugerah, bukan ancaman. Tugas kita sebagai Muslim Indonesia adalah menjaga keragaman itu dengan sikap bijak, penuh kasih sayang, dan pemahaman yang mendalam. Karena pada akhirnya, agama dan budaya adalah dua sayap yang jika bisa berjalan bersama, akan mengangkat manusia menuju derajat kemuliaan di sisi Allah SWT.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI