Mengapa Konflik Ini Terjadi?
Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya konflik anggapan syirik dan bid’ah terhadap praktik Kejawen ini. Pertama, perbedaan cara memahami ajaran Islam. Kelompok Muslim puritan lebih memahami ajaran tauhid secara tekstual dan sempit. Mereka menilai bahwa segala sesuatu yang tidak pernah dicontohkan Rasulullah SAW adalah bid’ah dhalalah yang harus ditinggalkan. Di sisi lain, masyarakat Kejawen memahami Islam secara kontekstual dan kultural/buaya. Bagi mereka, Islam datang untuk menyempurnakan tradisi baik yang sudah ada, bukan menghapus seluruh warisan leluhur.
Kedua, kurangnya edukasi sejarah Islam Nusantara. Banyak yang tidak mengetahui bagaimana Walisongo berhasil mengislamkan Jawa tanpa konflik berdarah, justru dengan pendekatan budaya seperti wayang, gamelan, dan tradisi selamatan. Seandainya sejarah ini dipahami dengan baik, mungkin tidak akan mudah menilai tradisi Kejawen sebagai sesuatu yang sesat.
Ketiga, metode dakwah yang keras dan langsung. Dakwah yang menggunakan celaan dan penolakan hanya akan membuat masyarakat melawan. Bukannya menimbulkan kesadaran tauhid, justru menumbuhkan kebencian dan jarak antar umat Islam sendiri.
Dampak Sosial dan Keagamaan
Kasus tentang anggapan syirik dan bid’ah terhadap praktik Kejawen memberikan dampak nyata dalam kehidupan masyarakat Muslim Jawa. Dampak yang paling terasa adalah terpecahnya hubungan sosial antarwarga. Mereka yang sebelumnya mungkin hidup rukun dalam satu desa, gotong royong saat hajatan, dan saling bantu ketika ada masalah sesame lain, sekarang mulai menjaga jarak karena berbeda pandangan keagamaan.
Selain itu, anak-anak muda menjadi bingung dan kehilangan identitas. Di sisi lain, mereka diajarkan tauhid dan akidah yang lurus di sekolah atau pengajian, tetapi di rumah, mereka diajak ikut slametan, nyadran, atau sedekah bumi bersama keluarga besar. Kebingungan ini jika tidak diarahkan dengan baik bisa memunculkan dua kemungkinan: mereka menolak tradisi daerahnya dengan cara kasar, atau mereka meninggalkan ajaran Islam sama sekali karena merasa Islam tidak ramah terhadap budaya mereka.
Dampak lainnya adalah mulai hilangnya kearifan lokal yang selama ini menjadi identitas budaya Jawa. Tradisi yang memiliki nilai kebersamaan, gotong royong, dan rasa syukur kepada Tuhan perlahan ditinggalkan karena takut dianggap musyrik. Padahal, jika dipahami dengan pemahaman yang mendalam, praktik Kejawen tidak bermaksud menyaingi akidah Islam, tetapi justru memperbanyak ragam keimanan umat Muslim Jawa.
Menyikapi Keragaman dengan Bijak
Lalu bagaimana sebaiknya umat Islam menyikapi perbedaan ini? Pertama, kita perlu menghidupkan kembali pendekatan Islam Nusantara yang diajarkan oleh para wali dan ulama terdahulu. Pendekatan ini memandang budaya sebagai media dakwah, bukan sebagai lawan agama. Selama tradisi itu tidak melanggar prinsip tauhid dan syariat, maka tradisi tersebut bisa di adaptasi dan diberi makna islami.
Kedua, diperlukan adanya diskusi budaya dan agama di tingkat desa atau kampung, yang melibatkan tokoh agama dari berbagai kelompok, sesepuh adat, dan pemerintah desa. Kegiatan semacam ini penting untuk menjelaskan makna hakikat sebuah tradisi, agar tidak ada pihak yang merasa benar sendiri maupun tersinggung karena tradisinya dihina.