Indonesia adalah salah satu negara dengan penduduk mayoritas muslim di dunia. Tetapi, hal ini tidak bisa menafikan bahwa Indonesia mempunyai ragam agama dan budaya. Di setiap daerah, islam bertemu dengan kebudayaan lokal, membuat islam menjadi semakin beragam. Salah satu contohnya adalah praktik Kejawen di tanah Jawa. Banyak masyarakat jawa yang beragama islam tetap melakukan tradisi di daerah mereka seperti selamatan, nyadran, sedekah bumi, dan ritual-ritual lain.
Sayangnya, di dalam masyarakat muslim ityuu sendiri, tradisi kejawen ini sering mendapat stigma negatif, tidak jarang datang tuduhan bahwa ritual selametan atau sedekah bumi adalah bentuk syirik atau bid’ah yang berbanding terbalik dengan tauhid islam. Stigma ini bukan hanya sekedar masalah anggapan untuk keagamaan, tetapi juga memunculkan konflik social. Di beberapa daerah, warga berselisih antara mereka yang ingin melestarikan tradisi budaya dan kelompok yang menolaknya karna bertentantangan dengan ajaran islam.
Pertanyaannya, betulkah tradisi kejawen itu syirik? Atau sebenarnya tradisi itu hanya bagian dari kearifan lokal yang dari zaman dahulu menjadi cara orang jawa mengekspresikan rasa syukur dan hormat kepada tuhan? Di sinilah pentingnya kita sebagai umat Islam di Indonesia memahami keragaman internal umat kita sendiri, agar tidak mudah menghakimi sesuatu yang kita belum pahami secara baik.
Kejawen pada dasarnya bukanlah agama baru, melainkan sebuah sistem nilai, filosofi hidup, dan praktik budaya orang Jawa yang telah ada jauh sebelum Islam datang. Ketika Islam masuk melalui dakwah Walisongo, ajaran Islam diterima secara damai karena para wali mampu menyampaikan pesan tauhid tanpa menghilangkan tradisi lokal. Inilah mengapa Islam Jawa tumbuh dengan wajah yang khas dan penuh kearifan lokal.
Ragam Praktik Kejawen di Tengah Muslim Jawa
Di antara praktik Kejawen yang sering dilakukan oleh masyarakat Muslim Jawa adalah “selamatan”, yaitu tradisi doa bersama sambil menyajikan makanan tertentu seperti tumpeng sebagai simbol rasa syukur kepada Allah atas rezeki dan keselamatan hidup. Lalu ada juga “nyadran”, yaitu ziarah ke makam leluhur menjelang Ramadan atau bulan Sya’ban, tujuannya adalah untuk mendoakan para leluhur dan membersihkan makam mereka. Selain itu, terdapat sedekah bumi, yaitu ritual syukur atas hasil panen dengan cara mengumpulkan makanan dan hasil bumi untuk didoakan bersama lalu dibagikan kepada warga desa.
Bagi masyarakat Jawa, semua ritual itu bukanlah bentuk penyembahan kepada selain Allah. Sesaji atau makanan dalam slametan hanyalah media simbolik untuk mengekspresikan doa, rasa syukur, dan sedekah kepada sesama. Namun, pemaknaan filosofis ini seringkali tidak dipahami oleh kelompok Muslim lain yang melihat tradisi tersebut hanya dari luarnya saja, lalu menganggapnya sebagai syirik atau bid’ah tanpa ditelusuri mendalam.
Konflik di Lapangan: Stigma Syirik dan Bid’ah
Konflik mengenai ritual Kejawen bukanlah masalah umum semata, tetapi benar-benar terjadi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Muslim Jawa. Di berbagai daerah, terutama di Jawa Tengah dan Yogyakarta, muncul kelompok pengajian baru atau ustadz muda yang menolak menghadiri acara “sedekah bumi” atau “nyadran” yang diselenggarakan warga. Mereka beranggapan bahwa kegiatan tersebut adalah bentuk kesyirikan karena mengandung unsur sesaji dan doa di tempat-tempat yang dianggap keramat, seperti punden desa atau sendang (mata air) yang dikeramatkan.
Misalnya, ketika warga desa ingin mengadakan ritual bersih desa, orang orang ini akan menyampaikan ceramah atau postingan media sosial yang menegaskan bahwa semua itu tidak sesuai dengan ajaran Islam yang tauhid. Bahkan, ada kasus di mana beberapa orang dengan sengaja membongkar tempat sesaji di sendang karena dianggap tempat syirik. Tindakan seperti ini menimbulkan ketegangan dan luka sosial di masyarakat. Warga yang melestarikan tradisi leluhur merasa dihina dan direndahkan, sementara orang orang yang menolak merasa sedang menjalankan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar.
Masalah seperti ini sering berujung pada renggangnya hubungan antarwarga. Mereka yang berbeda pandangan keagamaan tidak lagi saling menghadiri hajatan, acara desa, atau pengajian yang diadakan kelompok lain. Diam-diam, jarak sosial tercipta, dan nilai kerukunan yang selama ini menjadi kekuatan masyarakat Jawa perlahan menghilang sedikit demi sedikit.