Mohon tunggu...
kusnun daroini
kusnun daroini Mohon Tunggu... Petani - Pemerhati sosial politik dan kebudayaan dan sosial wolker

Pemerhati / penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Hantu itu Bernama Rapor dan "Ranking"

26 Desember 2017   22:42 Diperbarui: 27 Desember 2017   08:41 1634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Net-Tribunnews.com

Tidak ada yang tahu sejak kapan istilah rapor itu menjadi begitu populer dan sangat mendominasi dalam memori semua orang di setiap akhir dari enam bulanan. Mereka semua antre menunggu hasil akhir dari proses belajar, baik dari sang murid sendiri, juga tidak ketinggalan orang tua murid menunggu dengan kegalauan yang nyaris sama. 

Perilaku ini mengingatkan kita pada  orang memasang lotre pada seorang calo, yaitu mengadu nasib dan keberuntungan kepada lembaran kertas. Hanya ada dua pilihan dibalik isi kepala orang antara nasib baik dan buruk.

Persepsi banyak orang tentang rapor pun juga ada dua. Pertama ditunggu dengan perasaan suka cita seperti pemain olah raga yang mampu memprediksi kemenangan karena sudah langganan  merebut banyak medali di setiap perlombaan. Dan itu semua buah dari disiplin berlatih dan rajin belajar. 

Blok yang kedua merasa gundah gulana, susah dan resah luar biasa karena sudah akan menebak bahwa hasil dari  ujian sekolah dipastikan jeblok. Karena deretan nilai yang ada di rapor masih di bawah KKM. Jika melihat dua kecenderungan ini maka perserta didik dan orang tua murid akan terbelah dan tersegmentasi sedemikian rupa. 

Dampaknya secara psikologis terhadap sang murid dan wali murid begitu terasa. Seolah-olah secara tidak langsung muncul kasta dan peringkat di dalam dunia pendidikan. Semakin menegaskan pembelahan antara yang berprestasi dan yang tidak.  Seungguh memilukan.

Rapor pun juga bisa bermakna sebagai ajang sebuah panggung kontestasi untuk memvonisi anak didik yang kurang beruntung bernasib sial. Otomatis secara psikologis anak merasa terhukum yang karena dianggap kurang disiplin dan rajin. Walhasil, mayoritas yang dianggap tidak beruntung adalah mayoritas dalam hitungan  jumlah anak didik secara keseluruhan.

Efek lanjutan dari ajang pembagian rapor tersebut adalah pengelompokan secara garis tegas antara grup pintar dan cerdas serta kelompok lainnya yang  kurang cerdas atau bahkan dianggap bodoh. Bahkan kita seringkali melihat dan menyaksikan sendiri bagaimana ada model sekolahan yang membagi kelasnya berdasarkan tingkat prestasi dan nilai rapor juga. 

Padahal praktik pemilihan dan pemilahan ini adalah bentuk dari cara berfikir diskriminatif terhadap anak-anak didik. Dan praktek ini masih berlangsung sampai sekarang. Penulis sampai detik ini masih dibuat keheranan, mengapa model diskriminasi tersebut masih saja diberlakukan jika dampak jangka panjangnya secara tidak langsung sungguh mengerikan terhadap mentalitas dan moralitas anak didik secara keseluruhan.

Dapat dipastikan bahwa mereka yang mayoritas tersebut ibarat sudah mendapat stempel tidak cerdas di bawah rata-rata atau pemalas. Stigma-stigma miring tersebut pada gilirannya akan membentuk sikap sang murid akan menjadi minder, malu dan merasa tidak pantas bergaul dengan mereka yang dianggap cerdas dan pintar.

Sebaliknya bagi mereka yang diuntungkan secara nilai akan merasa di atas rata-rata karena naik pamornya terdongkrak oleh nilai rapot yang bagus. Sikap mereka juga semakin PD karena merasa diatas rata-rata teman-temannya. Kecenderungan ini juga gayung-sambut dengan perilaku guru kelas yang seringkali juga memprioritaskan mereka yang "prestasi" dalam setiap kegiatan sekolah.

Komplit sudah bagaimana model disparitas tersebut semakin menggiring anak didik pada dua garis akhir belajar yang berbeda. Yang berprestasi semakin menjulang tinggi karena terfasilitasi oleh situasi yang mendukungnya. Sisi lain bagi yang di bawah rata-rata semakin terpuruk masuk pada lubang ketidak jelasan yang gelap gulita.

Anehnya, fenomena di atas bukan dianggap sebuah malapetaka bagi masa depan pendidikan di Indonesia. Namun dianggap sebagai kemestian dan kebiasaan karena selama ini tidak pernah ada yang menggugat dan memberikan solusi untuk mendobraknya.

 "Pendekatan dunia pendidikan dengan seribu warna dan sejuta rasa"

Fenomena rapor dan ranking menjadi simbul dan pintu masuk untuk menyikapi potret pendidikan di Indonesia secara keseluruhan. Sudah begitu lama sistem pendidikan diIndonesia keluar dari jati diri dan ruh Nusantara yang kaya raya akan khasanah dan keajaiban yang pernah dibangun dengan megah oleh Nenek moyang kita. Karena sampai detik ini belum ada satu riset serius dan mendalam yang mengorek habis-habisan tentang kejayaan Nusantara. Orang tua dan buku-buku sejarah tidak pernah menggugah dan membangkitkan kesadaran revolusioner.

Sitem pendidkan nasional dan produk kurikulum sedari dulu hanyalah sebuah kerja copi paste dari peradaban modern. Akrobatik Bongkar pasang sistem pendidikan terus dilakukan sebagai wujud kegalauan saja. Biarpun tak terucap motto mereka adalah kita jangan menjadi bangsa yang tertinggal oleh mereka. Pertanyaannya; tertinggal dalam hal apa. Ditinggalkan oleh siapa. Dan siapa yan berhak mengatakan kita ini negeri yang terbelakang.

Saya kira anggapan-anggapan dan asumsi inilah yang harus kita dekonstruksikan kembali. Cara berfikir dan cara pandang bangsa ini terhadap dirinya sendiri sudah begitu jauh tersesat. Karena saking parahnya sehingga tidak mampu melihat dan mendefiniskan secara utuh dan jujur tentang jati diri dan hakekat kebangsaan yang kita punya. 

Kalau dirinya saja tidak mampu dikenali, lantas apa yang bisa diperbuat selanjutnya antara kesadaran dan ketidaksadaran bersikap dan berperilaku. Dengan kata lain sebagian bangsa ini sudah mengalami disorientasi. Satu Gejala split mentalitas. Yaitu terbelahnya antara idealitas yang terpikir dengan yang sedang dipraktekkan. 

Trial and error sistem Pendidikan sudah dibuat secara berulang-ulang dan menemukan kegagalan total. Pertanyaan selanjutnya adalah apa mau diulangi kebodohan tersebut secara bertubi-tubi dengan mengorbankan anak bangsa ini kedepan menuju pada kebangkrutan sebuah peradaban.

Soekarno pernah menyerukan kebangkitan Pendidikan Indonesia dengan slogan yang terkenal dengan "Jas Merahnya". Sang proklamator ini juga sadar tentang kaidah bahwa sikap untuk menjebol sesuatu dengan membangun, itu ternyata masih berat "membangun". Dialektika sejarah menjadi keniscayaan. Karena sejarah adalah lahan berpijak sekaligus alat pemantik kesadaran jati diri bangsa.  

Revolusi pendidikan yang dicanangka Soekarno tidak tanggung-tanggung. Dia tidak hanya meneriakkan slogan seperti kebanyakan pejabat sekarang. Soekarno memberikan teladan secara utuh yaitu menyatunya kata dengan perbuatan.

Pendidikan menurut beliau adalah sebuah kerja kebudayaan. Pendidikan adalah kata kerja. Bukan hanya verbalisme dan berhenti pada kata sifat lebih-lebih sebagai pencitraan politik semata.

Beberapa contoh-contoh monumental yang diberikan Soekarno pada bangsa ini yang hingga sekarang manjadi pelajaran hidup adalah menyatukan seluruh elemen bangsa yang berbeda suku agama, ras kepentingan politik terangkum dalam semangat Pancasila.

Beliaupun juga pernah tercatat sebagai inisator sekaligus konsolidator kawasan Asia. Hal ini dibuktikannya di saat bangsa-bangsa dalam situasi gawat pasca kemerdekaan untuk memilih blok politik besar dunia antara idiologi kapitalisme dengan blok politik komunisme. Dengan sangat cerdas beliau melakukan konsolidasi bangsa-bangsa Asia yang kemudian melahirkan negara-bangsa nonblok.

Keberanian yang terbalut dengan intlektual ketimuran inilah menjadikan bangsa yang berkarakter dan berkepribadian. Paling tidak mampu mendongkrak derajat dan martabat sebagai bangsa merdeka dan berdaulat. Sehingga bangsa Indonesia mampu dan berani bicara lantang kepada bangsa-bangsa di dunia untuk menunjukkan harga diri dan jati diri yang sesungguhnya.

Lantas sekarang, apakah yang bisa diberikan oleh sistem pendidikan pada generasi kita dalam membangun jati diri bangsa Indonesia ke depan..

Wallahu 'alam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun