Mohon tunggu...
Galen
Galen Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pengacara (Pengangguran Banyak Acara)

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Miliarder Vietnam Divonis Hukuman Mati Dalam Kasus Penipuan Bank Rp 702 Triliun

3 Mei 2024   07:12 Diperbarui: 3 Mei 2024   07:12 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada hari Kamis, 11 April 2024, seorang miliarder pengusaha properti di Vietnam bernama Truong My Lan diberikan hukuman mati. Truong My Lan yang berusia  67 tahun ditemukan terlibat dalam kasus penipuan keuangan yang terbesar di Vietnam. Lan dituduh menggunakan perusahaan cangkangnya untuk mengambil pinjaman yang melanggar hukum Saigon Joint Stock Commercial Bank (SCB).

Lan mengambil pinjaman senilai 44 miliar dollar AS atau sekitar Rp 702 triliun. Dari pinjaman tersebut, Lan menyumbang lebih dari 90 persen antara tahun 2012 dan 2022. Lan mengatakan bahwa ia hanya mengendalikan 15 persen dari bank SCB dan tidak memiliki posisi resmi di dalam bank tersebut. Tetapi, pengadilan menemukan bukti bahwa Lan merupakan pemilik SCB secara de facto dengan lebih dari 90 persen saham pengendalian. 

Mayoritas dari pinjaman tersebut ia alirkan ke perusahaan pengembang properti miliknya yang bernama Van Thinh Phat Holding Group. Sementara, sisa dari dana pinjaman tersebut ia gunakan untuk kepentingan pribadi.

Kasus Truong My Lan ini merupakan bagian dari kampanye anti-korupsi "Blazing Furnaces (Tungku Berapi)" yang dipimpin oleh Sekretaris Jenderal Partai Komunis, Nguyen Phu Trong. Banyak politikus tingkat tinggi, termasuk mantan presiden Vietnam, yang telah terlibat dalam kasus serupa dengan kasus Truong My Lan. Ratusan pejabat dan pengusaha pun telah dihukum. Kasus Truong My Lan menyoroti upaya keras pemerintah Vietnam dalam memerangi korupsi. Dengan penegakan hukum yang ketat, pemerintah berharap untuk dapat memberikan pesan bahwa pelanggaran serius akan ditindak tegas.

Tidak hanya negara Vietnam yang masih marak akan korupsi. Di negara kita, Indonesia pun masih banyak terdapat tindakan korupsi. Walaupun Indonesia sudah memiliki lembaga khusus untuk melawan korupsi, masih banyak terdapat kasus-kasus terjadinya korupsi. Faktor penyebab masih tingginya budaya korupsi dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian yakni, tata kelola, penegakan hukum, dan politik.

Faktor tata kelola ini berhubungan dengan sistem dan cara kerja lembaga itu sendiri dalam menekan korupsi. Korupsi cenderung tinggi di lembaga yang memberikan minim informasi terkait aturan dan tata cara pelayanan. Sedikitnya informasi yang tersedia atau informasi yang tidak jelas akan menyebabkan disinformasi, sehingga memungkinkan oknum yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan kesempatan tersebut. Demikian, sumber daya manusia yang memiliki keterbatasan dalam pengetahuan praktik korupsi dan nilai integritas terjadinya praktik korupsi lebih rentan terjadi. Tata kelola yang buruk juga berkaitan dengan proses birokrasi yang masih cukup berlapis dan berbelit dalam lembaga. 

Reformasi birokrasi yang pemerintah pusat maupun daerah lakukan sepertinya masih jauh dari kata sempurna. Ini sempat dikeluhkan oleh Presiden Joko "Jokowi" Widodo yang pada akhirnya sering sekali mendorong lembaga untuk melakukan praktik single window policy (kebijakan satu pintu). Namun, meskipun single window policy sudah dilakukan, praktiknya belum ideal. Padahal, dengan adanya single window policy, kegiatan pelayanan dapat dilakukan dalam satu proses. Apalagi kemajuan teknologi dapat membuat pelaksanaan single window policy bisa dilakukan lebih mudah. Hanya saja dalam implementasinya, perlu dilakukan perubahan dalam pola pikir dan sistematika dalam bekerja.

Faktor lemahnya penegakan hukum dalam memberantas aktivitas korupsi juga menjadi masalah besar. Pemimpin instansi bahkan belum terlihat memiliki keinginan yang kuat untuk menghilangkan korupsi. Kasus mantan ketua KPK Firli Bahuri yang dinyatakan melanggar etik ketika menangani kasus dugaan korupsi mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL), misalnya, bisa jadi contoh kuat bagaimana pucuk pimpinan lembaga antirasuah pun bisa terjerumus ke dalam lingkaran korupsi.

Faktor terakhir adalah faktor politik. Kedekatan terhadap tokoh yang memiliki kekuatan politik yang kuat masih dinilai sebagai 'kartu as' yang perlu dipertahankan. Praktik balas budi ini juga menjadi salah satu akibat banyaknya praktik korupsi. Budaya kekeluargaan di Indonesia disalahartikan menjadi membantu satu sama lain walaupun hal itu adalah kegiatan yang tidak beretika.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun