Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada ia harus berbagi peran dengan orang lain. Sebagaimana matahari dan bulan yang berbagi peran dalam waktu yang ditentukan. Atau sebagaimana seorang yang hanya bisa mengucapkan selamat pagi. Sedangkan untuk ucapan selamat malam, sudah ada seorang lain. Tapi ada yang jauh lebih menyakitkan daripada itu semua. Ketika lambat laun, halus, dan tanpa diketahui, peran yang hanya sebagian itu, ternyata sudah direbut oleh orang lain. Praktis, tersungkur dan tersingkirlah dikau ke tepian jurang kesakitan.
Merintihlah jika harus merintih, tapi jangan kau salahkan orang lain. Apalagi jika orang-orang itu adalah manusia kategori baik. Setidaknya mereka sendiri yang menyematkan itu pada diri mereka. Bersyukurlah menjadi orang-orang baik, seolah narasi tentang kebaikan dan keburukan hanya miliknya semata. Mereka berhak membenci keburukan, sebagaimana mereka berhak memuji kebaikan.
Tapi aku benci berada diantara orang-orang baik, kata kawanku Aan Mansyur. Lalu ia menambahkan kurang lebih begini; Mereka bicara tentang segala sesuatu tapi kata-kata mereka tidak mengatakan apa-apa. Mereka tertawa dan menipu diri sendiri dan menganggap hidup mereka baik-baik saja. Mereka berpeseta dan membunuh anak kecil dalam diri mereka.
Kemudian ia menghiburku barang sejenak. Ketika ia secangkir kopi jalanan dihidangkan diantara kami. Tepat ketika suara kereta lewat yang begitu kencang selesai, ia memulai bicara. Aku senang duduk disini, menikmati malam Surabaya, di pinggir jalan, dekat Stasiun kota. Tapi aku lebih senang mendengar kata-katamu tadi, katanya.
"Aku senang berada diantara orang-orang yang patah hati," katanya sambil melirik padaku. Aku melihat ia tersenyum simpul meledek.
"Orang yang patah hati itu, mereka tidak banyak bicara, jujur dan berbahaya. Mereka tahu apa yang mereka cari. Mereka tahu dari diri mereka, ada yang telah dicuri," katanya sambil sekali dua kali menepuk pundakku. Aku kemudian hanya bisa tertawa merintih. Kalimat itu sudah kubaca dalam kumpulan puisinya, dan malam ini ia mengatakan itu langsung padaku.
"Aku menggagumi segala puisimu. Seperti rangkaian kalimat yang hidup, dan menawan," kataku.
"Kau kira aku bisa begitu karena apa?"
"Kupikir karena kau itu berbakat," kataku memuji.
Dia diam, lalu tersenyum lagi pelan. Lalu melebar hingga jadilah suatu tawa. Apa yang lucu dari ini semua, kataku mengadu pada batin.
"Menulislah nanti malam, kau akan bisa sepertiku," katanya.