Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

“Sarang Kelinci Putih” Di Shinjuku, Jepang

22 September 2011   06:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:44 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 

Saya adalah satu dari berjuta orang didunia yang ingin terbang ke Jepang. Senang rasanya saya narik arisan. Hopla! Di bandara Narita, saya dijemput KH chan. Gadis yang pernah tinggal serumah dengan saya itu, didaulat LSM-nya untuk menjemput saya. KH mengantar saya sampai di rumah pemilik sekaligus pemimpin LSM kondang Jepang itu untuk berkumpul dengan partner dari berbagai negara. Akhirnya, pengalaman pertama tidur didalam Futong (red: kantong tidur ala Jepang) diatas lantai kayu. Aucht! [caption id="attachment_136595" align="aligncenter" width="555" caption="Futong"][/caption]

 

Pagi-pagi sekali setelah makan pagi, kami sudah berbondong-bondong menuju kereta. Seperti biasa, antrian orang-orang itu begitu tertibnya membentuk sebuah barisan yang rapi. Jadi ingat kata Jepang baris ... Didalam kereta yang penuh sesak itu, saya lihat para penumpang mulai berdesak-desakan. Seorang pria mulai bergerilya di dada seorang gadis sekolahan. Ketika KA direm, momen dalam hitungan detik itu dimanfaatkan dengan sempurna. Saya tidak tahu apakah itu sengaja atau tidak, tapi dimata saya ... hey, that was such a sexual harassment! Banyak perempuan yang mengenakan rok mini dan kaos kaki selutut atau jeans ketat dengan sepatu lancip depan bak alibaba. Warna rambut mereka terlihat coklat, semburat ungu atau warna genjreng lainnya menghiasi beberapa helai. Segelintir anak mudanya juga memasang earphone sejenis ipod untuk menikmati musik dalam perjalanan, beberapa diantaranya ... membaca buku! [caption id="attachment_136596" align="aligncenter" width="481" caption="Di dalam kereta yang sudah sepi"][/caption]

 

Dari exit stasiun kereta Shinjuku station, saya membeli tiket dan memasukkannya demi membuka plang pintu. Meski saya buta tulisan hiragana, katakana atau kanji, saya sukses melakukannya. Tentu saja ini berkat KS san yang memberitahu dengan sabar. Arigatou ne (red: terima kasih). Ketika menyeberang di zebra cross, lagi-lagi orang-orang berbaris amat rapi dan tenang. Tak ada keributan, tak ada riuh rendah tawa, tak ada gossip yang digosok biar sip. Beberapa anak muda waktu itu terlihat sedang jadi korban mode rambut jambak (red: hasil cabikan tangan), rambut dibuat sedemikian rupa dengan gel untuk berdiri tegak bak landak. Entah itu yang berambut panjang, sedang atau pendek. Begitu lampau hijau, kami seperti barisan bebek berjalan di pinggir jalan ... serempak. Berjalan menuju Shinjuku ku, kantor LSM rekanan kami, mata saya jelalatan seperti tarzan masuk kota. Byuh-byuh ... ternyata skycrapers itu menjadi peneduh dari matahari dan tentunya pagar penghias kota yang nampak sibuk dan padat. Tidak ada orang yang berjalan malas-malasan. Semua nampak bergegas untuk segera mencapai tempat tujuan. Saya jadi ikut-ikutan. Kaki kecil ini berlomba-lomba dengan rombongan orang Jepang lainnya.

 

[caption id="attachment_136597" align="aligncenter" width="465" caption="Satu dari skycrapers tertinggi Tokyo (kiri)"][/caption]

 

Kantor LSM NE didepan mata. Di lantai 5 kami mendarat disebuah kantor yang tidak begitu besar dan dihuni 5 orang staff. Sebuah toilet kecil tepat berada di sebelah pintu masuk. Di tengah-tengah nampak para relawan Jepang berkumpul menyambut kedatangan kami. Rangkaian bunga kecil dibagi kepada dua orang perempuan Indonesia, saya dan P. "Ohayou gozaimasu ... Gana chan ..." seorang gadis energik mendaratkan ciuman di pipi sembari mengucapkan selamat pagi. Tak percaya rasanya bahwa kami bisa bertemu setelah setahun berlalu. "Oha ..." seru M chan disebelah si cantik itu. Ia membungkukkan badannya sedikit, mirip Oshin dalam serial TVRI waktu lampau. Usai bercengkerama, saya minta ijin mengecek email. Beberapa menit kemudian, ruangan digoncang gempa. Karena berada dilantai yang cukup tinggi, getarannya amat terasa. Sempat terhuyung-huyung saya selama beberapa detik. Saya lihat tak ada seorangpun yang terganggu, mereka tetap melanjutkan kesibukannya masing-masing. Timpal mereka, gempa sudah menjadi agenda sehari-hari, jadi saya tak perlu panik. Sehari bisa lima kali, tambah S chan. Hah??? Biasa??? Lima kali??? Padahal tadinya saya sudah mau menuju satu-satunya pintu dan menuju pintu darurat untuk turun dan mengamankan diri diluar gedung. Saya kecelik (red: tertipu). Saat makan siang, kami semua turun menuju restoran yang menyajikan makanan khas Jepang: tempura, tepanyaki, sushi, mi sho soup, beragam ikan mentah dan masih banyak lagi. Tim sepakat memilih menu ikan untuk disantap bareng-bareng. Saya penggemar ikan, tetapi bukan yang mentah. Walhasil, saya muntah di toilet resto. Salah seorang teman dari Malaysia berbisik, bahwa saya tak perlu khawatir kelaparan karena ia telah menyelundupkan mie instan halal dikoper, yang bisa kami nikmati nanti di kantor. Terima kasih, Pak cik ... hahaha.

 

[caption id="attachment_136599" align="aligncenter" width="501" caption="Makan-makan"][/caption]

 

Hengkang dari restoran, saya amati seorang pria sedang berbisik ditelinga seorang pria pejalan kaki. Ditangannya, sesuatu digamit amat erat. Mungkinkah ini broker kelinci putih yang diceritakan mantan admin saya sebelum berangkat ke Jepang? Distrik Shinjuku memang terkenal dengan prostitusi terselubung, dalam artian para wanita itu tidak kelayapan di jalan melainkan di ruangan khusus. Baik siang atau malam, pelanggan dijemput seorang agen yang mempromosikan mereka dengan sebuah katalog bergambar. Majidee??? (red: benarkah?). ST chan, remaja yang baik hati disebelah saya, terlibat diskusi gerak jalan tentang apa yang baru saja tertangkap oleh ekor mata saya. Bujang energik itu mengatakan bahwa Shinjuku bukan satu-satunya daerah lampu merah yang bisa ditemukan orang. Ia sendiri mengaku tak sepaham dengan kemunculan budaya yang telah mendarah daging pada masyarakat Jepang. "Gana, it is not only in Shinjuku but actually everywhere in cities, I don't like such kind of culture. But it's economically huge and part of our society now. Do you have any specific point you wanna know?"

[caption id="attachment_136602" align="aligncenter" width="504" caption="Shinjuku street"][/caption]

 

Langkah kaki kecil saya percepat dan segera berbisik menimpalinya. ST bercerita bahwa jalur red light di Shinjuku biasa dikenal dengan nama Kabuki-cho. Tersiar kabar bahwa walikota Tokyo, Ishihara punya niat dan kiat untuk membersihkan area ini. Ujar penguasa itu, ia ingin duduk-duduk dan minum dengan tenang tanpa terganggu bujuk rayu para penjaja seks. Kabarnya jumlah PSK itu-pun menurun saat ini. Melalui yahoo answers, saya temukan beberapa info, sebenarnya seks di daerah Kabuki-cho (diambil dari nama teater Kabuki yang rencananya akan dibangun tahun 1940 tapi tak pernah menjadi kenyataan), lebih terkenal dengan oral seks saja. Jadi di dalam bar, night club, tempat pijat dan bangunan lainnya yang dihiasi lampu warna-warni nan terang itu biasa menjadi sarang para kelinci putih. Organisasi semacam Yakuza amat rapi mengemas jasa seks ini, jumlah bar-nya pun mencapai angka ratusan. ST san berpesan, sebaiknya hati-hati jika masuk bar dan menanyakan harganya terlebih dahulu ketimbang dihantam nota dibelakang. Dilain sisi, kehadiran bar dan klub itu menjadi tempat mampir ngombe (red: menunggu barang sejenak) saat ia ketinggalan kereta. Wooooooo itu sebabnya dia suka karaoke waktu ke Indonesia. Jebule, dia sudah terbiasa ... Sebelum kembali bekerja, saya mengejarnya dengan pertanyaan terakhir, apakah para pelanggan oral seks lebih banyak generasi mudanya. Pria yang tahun ini baru saja kursus bahasa Inggris di London itu mengatakan, beberapa pelanggan juga merupakan kaum lansia seperti ojisan. Para kakek itu biasanya hanya ingin minum, duduk santai sembari berbincang dengan kelinci putih cantik dan terpesona. That's all, no more. Bea yang dipatok untuk servis ini, minimal $50 per jam. Sososososo ... Matane! (red: sampai jumpa).

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun