Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Galau Tempe Busuk

18 Juli 2014   21:33 Diperbarui: 4 April 2017   16:20 3371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14056717112123681052

Kompasianer suka makan tempe? Berbahagialah kalau untuk mendapatkannya masih mudah dan murah di warung kampung atau tukang belanjaan keliling. Di Jerman, selain sulit juga tidak murah. Satu tempe setara dengan 2-3 €. Itu saja harus pesan tidak langsung dapat atau harus menempuh perjalanan jauh barang satu jam ke toko yang selalu memiliki stok lama atau baru. Makanya, saya belajar membuat tempe sejak tinggal di Jerman dari teman, Henny.

Sayangnya, beberapa kali membuat tempe tetap saja rasanya ada pahitnya. Tidak sesedap beli. Tapi namanya buatan sendiri, selalu ludes. Digoreng pakai tepung jadi mendoan, digoreng biasa berbumbu bawang putih dan ketumbar jadi tempe goreng garing, diuleg sama cabai, daun jeruk dan bawang putih jadi sambal tempe, disantan jadi oblok-oblok. Pokoknya, tidak bikin bosen mengonsumsinya.

Nah, untuk membuat rasa pahit itu hilang, saya search di google. Ada yang menyarankan pakai cuka, ada yang dengan garam. Saya pun mencobanya. Apa yang terjadi? Oalahhhh ... tempe saya malah jadi busuk!

[caption id="attachment_348478" align="aligncenter" width="466" caption="Tempe jadi busuk."][/caption]

“Buk, barusan bikin tempe, kok busuk“ telepon saya pada ibu di tanah air.

“Yaaa ... bikin tempe itu gampang-gampang susah. Kalau orang yang bikin lagi sedih ya, gitu, busuk.“ Ibu tertawa kecil. Saya yakin bukan bermaksud menertawakan tempe yang tak jadi bahkan busuk itu. Saya pun bercermin. Ooooh, kayaknya ibu benar. Saya sedang galau. Saya memang lagi sedih. Makanya tempe saya tidak jadi. Ini bukan takhayul karena logika saya adalah jika orang mengerjakan sesuatu harus konsentrasi. Sedangkan dalam keadaan sedih, galau atau tidak sehat jasmani atau rohani pasti lah apa yang dikerjakannya tidak karuwan. Jangankan membuat sesuatu, menulis saja kalau sedang tidak konsentrasi, lagi tidak sehat otak atau hatinya ... tulisannya jadi sembarangan bahkan terkesan ngawur.

“Pak, tempenya busuk.“ Saya ngglendhot suami yang sedang nonton TV. Anak-anak sudah tidur.

“Hah, busuk, buk? Memang raginya rusak?“ Mata coklatnya memandangi saya yang berkerut keningnya.

“Kalau dipegang masih butiran, tidak menggumpal jadi masih baik. Barangkali karena kebanyakan garam.“

“Hayooo kamu minta kawin, yaaa?“ Suami saya menggoda.

“Husssh ... puasa, Pak. Tidak boleh kawin. Bukanya masih satu jam. Dulu lihat resep biar tempe tidak pahit. Kalau tidak membubuhi cuka pada rendaman kedelai, ya bisa dengan garam. Barangkali garamnya kebanyakan. Nggak konsen, asal menaburi saja. Bakterinya mati kali ... jadinya hitam-hitam bahkan ada yang tidak jadi sporanya.“ Mata saya lurus memandangi film di layar. Saya sudah berkali-kali membuat tempe dan selalu jadi, bentuknya cantik, sporanya tebal, meski agak pahit. Baru kali ini tidak jadi bahkan .... busuk. Suami pun sibuk melihat resep membuat tempe dalam bahasa Jerman. Saya janji bikin lagi meskipun sedih tempe jadi mubadzir harus dibuang karena busuk. Nasib. (G76)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun