Coba kamu lihat data riwayat hidupmu.
Apakah dalam kehidupan ini, jalanmu mulus dan baik-baik saja?
Jika tidak, nggak usah khawatir. Banyak temannya, kok. Antara lain mas Garna dan aku.
Aku lulusan S2 Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Negeri Semarang. Aku pernah bekerja sebagai guru TK, dosen bahasa Inggris, penyiar radio dan koordinator sebuah LSM, namanya Indonesia International Workcamp PKBI Jateng. Jangan disangka aku nggak pernah kerja kasar, ya.
Sejak aku pindah ke Jerman, aku sulit mendapatkan pekerjaan yang aku inginkan, jadi guru! Maklum, universitas kita belum bisa begitu saja diakui seperti lulusan EU. Makanya, berlibet banget. Walaupun demikian, aku akhirnya bisa jadi guru bimbel di dua lembaga di Jerman, mengajar para oma - opa belajar bahasa Inggris di sekolah rakyat pula.
Setelah 20 tahun berlalu, alhamdulillah aku mendapatkan kuliah PGTK lagi dan pekerjaan yang aku impi-impikan aku raih. Ngeres banget masa-masa sebelumnya, aku harus sabar. Untung ususku panjang. Bersyukur bahwa aku ini bermental baja. Tapi aku ingat, aku pernah kerja di swalayan selama 1 minggu. Aku ngakak saat menghitung permen sampai hitungan seribu sekian, lupa dan harus mengulang lagi dan lagi. Walah, kalau ibuku tahu pasti ketawa. "Kamu ngapain di swalayan?" begitu kali, ya. Tapi aku nggak ceritakan supaya ibuku yang sudah sakit nggak khawatir. "Lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang?"
Entahlah, gengsi sepertinya sangat jauh dari pikiranku waktu itu. Aku hanya mau mencoba sejauh mana aku bisa mendapatkan pekerjaan di negeri orang yang bahasanya susah banget. Sungguh, bahasa Jerman itu menurutku complicated.
Lewat Kotekatalk bersama mas Garna Raditya dari Semarang, soal gengsi ini kembali mencuat.
Mas Garna dulunya pernah bekerja sebagai wartawan media cetak di kota Semarang. Kota panas di pesisir pantai ini juga tempat asalku. Barangkali temperaturnya benar-benar menggodog kami jadi orang kuat mentalnya.
Pria yang beristri seorang Doktor Amerika itu mengesampingkan rasa gengsi tinggi. Ia rela bekerja dengan menggunakan tangan daripada pena, di sebuah perusahaan coklat mariyuana di Oakland. Kalau dihitung, gajinya pastilah lebih tinggi dari saat bekerja di Indonesia, namun statusnya beda standar. Satunya menggunakan otak, satunya otot. Kalian pilih mana?
Aku yakin cinta yang menggelora membutakan mata mas Garna. Nanti di Amerika kalau pindah makan apa, kerja apa, kalau kangen kampung halaman bagaimana? Jika tidak cocok hawa dan masakan lokal bagaimana? Dan entah kekhawatiran yang baru muncul ketika berada di tempat yang asing. Nggak heran banyak orang dapat lotere visa greencard nggak diambil karena masalah itu. Bisa pindah ke Amrik langsung seperti jalan tol tapi selanjutnya, bingung tentang masa depan.
Untung saja mas Garna punya banyak keahlian, ide dan kesibukan. Mulai dari radio online, membuat film dokumenter tentang Indonesia bersama istri, menari, meditasi dan entah apalagi kegiatan pria yang pernah juga berambut panjang itu.
Demikian hikmah yang aku petik usai mewawancarai mas Garna dalam Komunitas Traveler Kompasiana Talk edisi 219.
Sekarang, apakah kalian yang mau kabur aja dulu ke luar negeri sudah siap menyimpan gengsi dalam-dalam dan berpikir rasional? Hidup kadang memang tidak adil dan kejam tapi kalau kita punya niat, bertindak dan berdoa, everything will be all right. Percaya nggak percaya, lakukan. (G76)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI