Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Pengalaman Menari Golek Manis di Gereja Jerman

16 Januari 2023   00:56 Diperbarui: 16 Januari 2023   01:01 673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menari Golek Manis di Jerman (dok.Gana)

Namanya orang kerja pasti pengen liburan. Takut jadi orang kurang piknik, ah. 

Makanya sebenarnya akhir bulan Desember kami sekeluarga berencana ke New York. Yaelah, pengen liat patung Liberty aja segitunya. Tapiiii, sangat manusiawi, tidak semua keinginan manusia itu bisa terwujud. Selain repot dengan urusan visa, rasanya kok, nggak sreg senang-senang di masa skripsi yang juga penuh ujian tiap minggunya pula. Ya, udah, di rumah ajaaaa. Diambil hikmah baiknya saja (sambil mewek).

Kebetulan, tanggal 30 Desember, saya sudah diminta perkumpulan diaspora yang saya ikuti di Friedrichshafen, Jerman Selatan untuk mengajari anak-anak Jerman yang tergabung dalam "Sternsinger", menari tarian Indonesia (tari Saman dari Aceh dan Poco-Poco). Wkwk, saya pernah belajar sehari waktu di Denmark. Tutornya orang asli Aceh. Gara-gara lupa, saya wayangan latihan dari youtube. Alhamdulillah, bisa! 

Yang belum pernah dengar tentang Sternsinger; Stern artinya bintang dan Singer artinya penyanyi. Mereka ini adalah anak-anak Jerman yang biasa mengumpulkan dana dari pintu ke pintu setelah natal. Mereka ini akan memakai kostum tiga raja atau disebut "die drei Koenige" (Caspar, Melchio dan Balthasar), menyanyi di setiap pintu rumah orang Jerman. Ada yang kebagian membawa kotak uang, ada yang kebagian membawa dupa, ada yang membawa tongkat berujung bintang, ada yang mendorong tas yang nanti bisa untuk menaruh coklat atau snack yang disumbangkan orang selain uang. Seru banget, bukan?

Kegiatan yang sangat saya rekomendasikan untuk mendidik anak-anak berempati dengan orang lain, kerja keras dan belajar kerja sama. Perlu diketahui bahwa biasanya di kampung kami,  anak-anak yang bergabung  tidak melulu orang Katolik, ada yang Kristen, ada yang atheis, ada yang Islam (kebanyakan anak orang Turki).

Menari di gereja Katolik Jerman

Nah, pada akhir kegiatan bersama 200 anak Jerman tersebut, ada kebaktian di gereja. Anak-anak sudah berkumpul dari pukul 10 pagi dan macam-macam kursus baru usai jam 16.00. Selain kursus tari Indonesia yang saya pandu, ada teman lain yang mengajari masak masakan Indonesia, bermain angklung, silat dan hasta karya. Heboh pakai bingit, dah.

Eh. Mengapa semua berbau Indonesia? Lantaran gereja memiliki setidaknya 4 suster dari Indonesia dan ada suster Jerman yang pernah tinggal di Indonesia.  Ide untuk menampilkan budaya Indonesia selama kebaktian pas dengan latar belakang orang-orang yang bekerja di dalam gereja. Ada ikatan batin di sana.

Setelah dirundingkan di dalam perkumpulan kami, acara permainan angklung yang diminta pihak gereja dibatalkan. Kami kekurangan orang karena banyak yang libur. Hasil obrolan dengan panitia, kami diberi waktu selama 10 menit; ada saya yang menari tari Golek selama 5 menit dan Citra cs membawakan lagu Indonesia dengan waktu yang sama.

Dari gedung tempat kursus tari ke hotel kami menginap, hanya 7 menit jalan kaki. Jadi jeda waktu satu jam dari lepas acara sosial sampai kebaktian ada sekitar satu jam. Nggak salah kalau saya balik ke hotel untuk ganti kostum tari. Toh, dari hotel ke gereja juga hanya 7 menit jalan kaki. Tadinya mikir mau ganti baju di gereja tapi nggak tahu apakah ada tempatnya. Nggak jadilahhh. Mosok saya harus ganti di bilik bergorden untuk orang mengaku dosa? Nggak sopan, kan. Lagian kalau saya harus mengaku dosa pasti seharian nggak selesai karena sudah tua bersantan, dosanya banyak. Hik. 

Ya, udah lebih aman dan nyaman saya balik ke hotel. Yup, selama hampir satu jam, saya dandan di kamar mandi, di mana kaca besar membantu penglihatan saya dalam memberikan pulas ke wajah. Namanya manggung, saya biasa untuk memaksimalkan warna supaya pentasnya lebih greng. Iya, nggak? 

Mengapa tari Golek Manis?

Tari Golek Manis saya pelajari ketika saya duduk di kelas 6 SD Sendangguwo 2 di Semarang. Kebetulan, ibu saya yang guru kesenian yang mengajarkan kepada kami. Pertama tujuannya untuk lomba di kecamatan. Kami juara 4. Mau tahu hadiahnya? Buku tulisssss. Aih, klasik banget kan zaman ituh. Kedua, karena ini adalah muatan tari yang diberikan di kegiatan ekstrakurikuler tari anak-anak SD kami. 

Oh, iya, tari Jawa ini diciptakan oleh Sultan Hamengkubuwono ke-IX. Dengan kain batik parang, yang konon hanya boleh digunakan untuk putri keraton, saya merasa "wow" memakainya di luar negeri. Jadi, boleh yaaaa ... Emang saya mendapat nama Raden Roro saat lahir, tapi saya bukan dari kalangan istana, nggak lahir di istana. Cuma kata bapak, eyang kakung adalah demang keraton Jogja, orang keraton...jadinya nama itu sempat tercatat di kertas resmi catatan sipil. Ah, yang penting hati saya princess laaaah.

OK. Tari ini saya pilih karena memang menggambarkan putri yang lemah lembut. Golek artinya adalah boneka. Memang waktu dibuat, sang Raja baru saja pulang menonton wayang golek. Manis sendiri artinya tahu bukan, di mana gadis remaja yang sedang tumbuh pasti sedang ranum-ranumnya aka manis-manisnya. Maka gerakan tari banyak yang melukiskan kegiatan para gadis seperti bersolek, berdandan, merias begitu, deh. Jenis gerakannya lemah lembut jadinya nggak yang kedombrengan, nggak jingkrak-jingkrak ...kan nggak enak di gereja tempat orang doa, rame-rame gitu. Jadinya pas dengan suasana kebaktian yang kalem.

***

Teman-teman, Kompasianer di manapun kalian berada. Apa yang bisa diambil hikmahnya dari tulisan ini? Di Kompasiana kan banyak mahasiswa, anak muda yang masih kinyis-kinyis. Betul. Supaya generasi muda bisa menjadi duta budaya di manapun ia berada. Pelajari dan lestarikan budaya negeri. 

Lebih heboh memang ketika berada di luar negeri, saat merah putih dan garuda berkibar di dada. Beda, lho, rasanya manggung di negeri kita dan di negeri orang. Nggak percaya? Coba. deh. Tuh, gemes, kannnn. Ayo, cari beasiswa atau program yang bisa membawamu go internasional. 

Lhhha, beneran, untuk menjadi duta budaya begini, pasti harus punya bekal, dong. Artinya harus belajar dulu, sebelum pamer. Saya beruntung dilahirkan dari keluarga yang sangat memiliki ketertarikan di bidang budaya. Otomatis ada niat dan bakat di sini. 

Saya sudah menari di 12 negara dan menari selama 42 tahun dalam hidup. Semoga terus begitu. Anak-anak saya juga bisa menari tapi nggak sesemangat saya. Nggak papa, yang penting masih mau belajar dan pentas (kalau nggak lagi ngambek). Bukan, saya bukan penari profesional. Menari di sanggar pun, saya enggak. Jadi dari kegiatan ekstrakurikuler di sekolah saja (SD-SMA) habis itu belajar dari tante youtube. Wkwk, follow me if you want.

Terakhir. Saya ingin mengingatkan dan memberi semangat kepada yang muda-muda, bahwa masih banyak waktu untuk belajar. Jika ada keinginan di situ ada jalan. Kita yang tua-tua tinggal mendorong dan mengamini, visi-misi, tujuan atau apapun mimpi yang ingin kalian capai. Eaaaaa ... gayanya kayak emak-emak lagi kultum.

Ya, udah, buruan, buka youtube dan pilih tarian yang ingin kalian pelajari, jangan main Lato-lato meluluuuu. Siapa tahu, suatu hari kalian punya kesempatan untuk mempertontokan keahlian kalian itu. Nggak rugi, kok belajar budaya negeri sendiri. Orang bule saja pada rebutan dan getol banget belajar serta memamerkan budaya Indonesia, mosok kita yang punya tradisi malah kebarat-baratan dan nggak bisa budaya sendiri. Idihhh.

Salam budaya. Greetings from Germany. (G76)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun