Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Cara Jerman Mengenang Zaman Perang dan Para Korbannya

23 November 2017   22:58 Diperbarui: 24 November 2017   14:35 1858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perang memang menyakitkan (dok. Gana)

Bendera dipegang pasukan pemadam kebakaran (dok.Gana)
Bendera dipegang pasukan pemadam kebakaran (dok.Gana)
Pak walikota pidato (dok.Gana)
Pak walikota pidato (dok.Gana)
Cara Jerman Menghormati Pejuang

Api dari tempurung di atas monumen bagi para pejuang perang dinyalakan oleh Pak Wali Kota bersama Martin Brenndoerfer dari Siebenbuergern Sachsen.

Saya amati, lilin biasa dinyalakan orang yang nyekar di makam orang Jerman. Lilin sebagai lambang cahaya penerang dalam hidup, entah kehidupan nyata atau baka. Tapi ini bukan lilin yang dinyalakan melainkan kayu.

Api berkobar. Grup anak-anak sekolah segera menyambungnya dengan lagu "Wenn Worte nicht ausreichen." Ketika kata-kata tak mampu mengungkapkan segalanya, musik dan lagu adalah salah satu jawabannya. Penciptanya pasti memasukkan perasaan yang dalam dalam menggubah lagu itu.

Ah, segera hati makin ngeres mendengar suara musik dari orkes simfoni melantunkan "Ueber allen Gipfeln ist Ruh."

Salah seorang pria yang pernah mengalami masa-masa sulit, mengungsi dari tempat yang hancur ke tempat yang lebih aman, naik podium. Ia berbagi cerita. Huh, betapa perang adalah sebuah kekejaman dunia. Yang tersisa hanya kematian, mengungsi sana-sini, kehancuran, rasa sakit hati dan raga serta kehilangan. Berbahagialah hidup di zaman merdeka, tinggal mengisi dengan berkarya.

Tanpa diminta, tetesan salju yang nangkring di pohon berjatuhan. Beberapa orang mengubah posisi berdiri supaya tidak basah. Ah, acara belum usai, kaki kami sudah kaku karena lantai sangat dingin.

Lega begitu Pak Wali Kota bersama beberapa pejabat setempat bergegas meletakkan karangan bunga di dalam krematorium. Itu sebagai penghormatan kepada yang telah meninggal dalam masa perang. Ratusan pasang mata mengamati langkah pelan tapi pasti mereka.

Tenang, tidak ada yang ngerumpi/ngobrol atau berisik. Semua begitu hikmat. Luar biasa. Sering malu kalau ada acara Indonesia di Jerman, di mana orang-orang Jerman sangat tenang menikmati acara tapi orang Indonesianya sendiri pada ribut, mulai dari ngobrol sampai tertawa lepas.

"Ich hatte einen Kameraden" mengantar langkah balik mereka yang tak lagi membawa karangan bunga. Lagu itu rupanya jadi penutup acara. Oh, tidak. Tidak semua orang  bubar lantaran Pak Wali Kota mempersilakan para tamu untuk menuju balai krematorium yang kecil tapi lumayan hangat. Jajanan ringan seperti Butterzopf yang mirip roti sobek diisi kacang manis, Gluehwein hangat untuk dewasa dan Kinderpuensch yang tanpa alkohol dan manis rasanya untuk anak-anak sudah disediakan untuk rakyat. Ah, sudah kenyang.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun