Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Cara Jerman Mengenang Zaman Perang dan Para Korbannya

23 November 2017   22:58 Diperbarui: 24 November 2017   14:35 1858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perang memang menyakitkan (dok. Gana)

Volkstrauertag, hari berkabung baru saja diperingati rakyat di Jerman pada hari Minggu, 19 November 2017 pukul 11.00.

Mengingat anak nomor dua kami ikut paduan suara, kami harus datang lebih awal ke krematorium lama di Tuttlingen. Ya, ia harus latihan bersama teman-teman dan ibu guru sebentar.

Hari Minggu, ya ampun, sepi. Pusat kota Tuttlingen seperti dijajah Zombie The Walking Dead, penduduknya tak kelihatan. Mengapa? Pertama, memang hari Minggu, hari keluarga, hari santai. Semua pasti banyak yang berada di dalam rumah. Apalagi hari itu, masih pukul 10 pagi dan saaaangat dingin. Sudah pakai sweater, jaket, topi, syal dan kaos tangan saja, kulit masih saja serasa disambit sandal.

Kedua, hari Minggu memang kebanyakan toko, pabrik dan kantor  di Jerman tutup. Untung, selain SPBU 24 jam, masih ada toko roti yang buka. Serasa mimpi kalau ada penjual gerobak lewat seperti di Indonesia.

Kami pun ke sana karena memang belum sarapan. Sekalian menunggu sampai pukul 11 tiba, kami bertemu dengan 5 orang pelanggan yang sepertinya sudah sedari tadi makan dan minum di sana. Kami ambil satu kopi, satu coklat hangat, satu croissant, satu Brezel, satu sandwich dan satu Fleischkaese. Bayar lebih dari 10 euro.

Peringatan hari berkabung di krematorium lama (dok.Gana)
Peringatan hari berkabung di krematorium lama (dok.Gana)
Ratusan Hadirin Memenuhi Krematorium

Krematorium sudah dipenuhi orang ketika kami kembali dari cafe. Mulai dari pasukan pemadam kebakaran (dewasa dan anak), kelompok musik kota, para lansia, keluarga dari para pejuang dan pejabat pemda setempat sudah hadir. Tadi masih sepi.

Musik mulai mengalun.  Dirigen Klaus Steckeler memimpin orkes simfoni dengan "Das ist der Tag des Herrn." Berada di krematorium dan bekas kuburan kota yang sekarang sudah dikosongkan, hawa yang dingin dan ranting pohon yang sudah tak berdaun, ah... lengkap sudah perasaan kami. Serasa dicabik-cabik dengan musik yang sedih. Beberapa lansia tampak menitikkan air mata. Hiks, galau.

Beberapa menit kemudian, walikota setempat (Buergermeister), Michael Beck memberikan sambutannya. Rasa senang dan bangga disampaikan beliau. Mendapati kehadiran paling tidak 100 orang itu tentu sesuatu lah. Apalagi, hadirin tak hanya lansia tapi anak-anak sekolah beserta orang tuanya, generasi muda dan tim pemadam kebakaran. Jujur, kalau disuruh memilih tidak harus datang pasti lebih enak di rumah, hangat dan nyaman. Bagaimana dengan Anda, dengan suhu 4 derajat C?

Pak walikota pidato. Kota yang dipimpinnya pernah dibakar ketika zaman perang 30 tahun sebelum PD I dan II. Selanjutnya, beliau menceritakan tentang perjuangan orang-orang Jerman khususnya dan Eropa pada umumnya pada PD I dan II. Banyak orang kehilangan keluarga, tempat tinggal dan penderitaan batin yang mungkin sampai hari ini tak akan begitu saja terlupakan. Yang masih hidup harus melarikan diri ke tempat yang aman. 

Pokoknya kondisinya lebih sulit dari apa yang dialami para pengungsi yang menyerbu Jerman. Beliau juga menyinggung sedikit tentang situasi Jerman atas kedatangan para pengungsi akhir-akhir ini. Lalu, tokoh nomor satu di Tuttlingen turun podium, menuju monumen.

Bendera dipegang pasukan pemadam kebakaran (dok.Gana)
Bendera dipegang pasukan pemadam kebakaran (dok.Gana)
Pak walikota pidato (dok.Gana)
Pak walikota pidato (dok.Gana)
Cara Jerman Menghormati Pejuang

Api dari tempurung di atas monumen bagi para pejuang perang dinyalakan oleh Pak Wali Kota bersama Martin Brenndoerfer dari Siebenbuergern Sachsen.

Saya amati, lilin biasa dinyalakan orang yang nyekar di makam orang Jerman. Lilin sebagai lambang cahaya penerang dalam hidup, entah kehidupan nyata atau baka. Tapi ini bukan lilin yang dinyalakan melainkan kayu.

Api berkobar. Grup anak-anak sekolah segera menyambungnya dengan lagu "Wenn Worte nicht ausreichen." Ketika kata-kata tak mampu mengungkapkan segalanya, musik dan lagu adalah salah satu jawabannya. Penciptanya pasti memasukkan perasaan yang dalam dalam menggubah lagu itu.

Ah, segera hati makin ngeres mendengar suara musik dari orkes simfoni melantunkan "Ueber allen Gipfeln ist Ruh."

Salah seorang pria yang pernah mengalami masa-masa sulit, mengungsi dari tempat yang hancur ke tempat yang lebih aman, naik podium. Ia berbagi cerita. Huh, betapa perang adalah sebuah kekejaman dunia. Yang tersisa hanya kematian, mengungsi sana-sini, kehancuran, rasa sakit hati dan raga serta kehilangan. Berbahagialah hidup di zaman merdeka, tinggal mengisi dengan berkarya.

Tanpa diminta, tetesan salju yang nangkring di pohon berjatuhan. Beberapa orang mengubah posisi berdiri supaya tidak basah. Ah, acara belum usai, kaki kami sudah kaku karena lantai sangat dingin.

Lega begitu Pak Wali Kota bersama beberapa pejabat setempat bergegas meletakkan karangan bunga di dalam krematorium. Itu sebagai penghormatan kepada yang telah meninggal dalam masa perang. Ratusan pasang mata mengamati langkah pelan tapi pasti mereka.

Tenang, tidak ada yang ngerumpi/ngobrol atau berisik. Semua begitu hikmat. Luar biasa. Sering malu kalau ada acara Indonesia di Jerman, di mana orang-orang Jerman sangat tenang menikmati acara tapi orang Indonesianya sendiri pada ribut, mulai dari ngobrol sampai tertawa lepas.

"Ich hatte einen Kameraden" mengantar langkah balik mereka yang tak lagi membawa karangan bunga. Lagu itu rupanya jadi penutup acara. Oh, tidak. Tidak semua orang  bubar lantaran Pak Wali Kota mempersilakan para tamu untuk menuju balai krematorium yang kecil tapi lumayan hangat. Jajanan ringan seperti Butterzopf yang mirip roti sobek diisi kacang manis, Gluehwein hangat untuk dewasa dan Kinderpuensch yang tanpa alkohol dan manis rasanya untuk anak-anak sudah disediakan untuk rakyat. Ah, sudah kenyang.

***

Dari menghadiri acara Volkstrauertag, terlihat sekali bahwa masyarakat Jerman menjadikannya sebagai hari berkabung yang penting dan menjadi tradisi secara turun- temurun di negaranya sejak 1952. Itu diperingati di setiap daerah secara serempak.

Seperti kata Bung Karno, jasmerah-jangan sekali-kali melupakan sejarah. Lihatlah orang Jerman yang sangat menikmati negaranya yang maju, modern, super, sejahtera tapi tetap mengingat perjuangan mereka yang telah gugur di medan laga. Yang begitu yang sebaiknya kita (bangsa Indonesia) teladani.

Bangsa Indonesia juga punya catatan sejarah panjang dalam masa pra kemerdekaan. Para pejuang dan pahlawan serta para korban, patut diingat sampai kapan pun. Di tanah air, ada hari pahlawan. Rasanya nyes melihat masyarakat (termasuk anak-anak) juga datang menyaksikan peringatan. Bukan hanya khusus dihadiri pejabat teras, veteran (beserta keluarganya) dan tentara atau polisi saja. (G76)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun