“Matamu aneh... kenapa?“ Aku tatap perempuan berambut pirang itu lekat-lekat. Ia bergerak. Ya, menutupi wajahnya yang ayu.
“Jatuh...,“ lirih ia menjawab. Lalu... menunduk.
“Aku sering lihat perempuan bermata lebam sepertimu. Aku yakin itu karena....“
“Bukan... bukan Peter yang melakukannya. Betul, aku jatuh.“ Ia sibuk membantu Sophie, anak gadis berambut pirang umur 6 tahun, yang badannya bongsor. Gadis itu kelas 1 SD.
“Sandra....“ Kucoba kejar dengan ragam tanya yang lain.
“Ananda... aku tidak apa-apa. Tak usah kau berpikir macam-macam,“ Sandra berusaha meyakinkanku tapi aku tak mau. Kepalaku menggeleng. Ini di bukan lebam pertama yang kupandangi di wajahnya! Aku harus berbuat sesuatu....
***
Sandra. Dia tetanggaku. Perempuan lembut itu pastilah menanggung beban yang tidak ringan. Pertama memelihara anak sulung yang sangat hiperaktif, susah diatur. Kedua, ekonomi keluarga yang tidak tentu. Peter sudah lama menganggur. Untuk pengangguran Jerman pastilah ada uang dari pemerintah. Tapinya, sampai di mana uang itu untuk mereka berempat? Beruntung sekali, Sandra sudah terbiasa hidup kekurangan. Katanya, ia pernah mengalami masa-masa sulit ketika Jerman utara masih belum terjamah pembangunan dan kesejahteraan dari pemerintah.
Aku rasa... sisa-sisa kekuatannya masih juga diuji dengan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya. Prinsipku, tak boleh ada seorang suami pun di dunia ini yang menganiaya istrinya untuk alasan apa pun.
Aku masih ingat perbincanganku dengan Peter:
“Manuela cerita, waktu hamil ia bertengkar hebat dengan Sam. Sampai-sampai pukulan diterimanya.“ Kutatap mata Peter yang biru. Mata yang menurun pada Sophie.