Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Bule Jerman Mati di Semarang

17 September 2013   21:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:45 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap manusia pasti ada umurnya. Kematian bisa dikarenakan banyak sebab. Mungkin karena sakit, dibunuh, tanpa sakit, jatuh atau alasan lainnya.

Bagaimana kalau yang mati bule dari Jerman? Di kota Semarang. Nama negara dan nama kota yang amat erat dalam kehidupan pribadi saya.

Adalah Lukas, 19 tahun yang ditemukan meninggal usai menenggak minuman keras. Relawan dari LSM Jerman itu menambah catatan bule yang meninggal di Semarang.

***

Saya tengah santai di kasur bersama anak-anak. Lamat-lamat, saya dengarkan berita dari TV di ruang tamu. Seorang bule ditemukan tewaspada tanggal 22 Agustus 2013 akibat terlalu banyak menenggak minuman keras! OMG. Orang Jerman !

Lukas adalah salah satu relawan yang diterima LSM DJ. Sebenarnya, ia sudah usai tugasnya tanggal 2 Agustus 2013. Sesuai pengalaman saya terdahulu sewaktu membawahi LSM seniornya IC, banyak aturan yang mengikat relawan seperti tidak boleh minum-minuman keras, berpakaian sopan, melakukan tugas dan kewajiban sesuai kontrak kerja sosial yang ditandatanganinya dan masih banyak lagi. Mereka ini tidak boleh sembarangan, karena membawa nama baik organisasi pengirim dalam hal ini Jerman. Dan organisasi penerima, dalam kasus ini DJ.

Saya taksir, Lukas merasa bebas melakukan apa saja usai kontraknya habis, meski sebenarnya visa yang ia gunakan adalah sisa dari visa relawan (biasanya visa sosial dengan kode tertentu, berbeda dengan visa pendidikan atau kunjungan keluarga bahkan turis).

Beberapa hari sebelum kejadian ini, saya sempat disambangi dedengkot DJ. Maklum, kami sudah lama tak bertemu, mumpung saya sedang pulang dan ia akan segera pergi ke Eropa lawatan LSM. Dalam wawancanda bersamanya, ia mengutarakan bahwa akhri-akhir ini DJ sedang banyak masalah dengan relawan dari Jerman. Komplen datang dari para orang tua asuh yang dititipi. Saya bisa merasakan apa yang menimpanya. Masih terekam didalam memori ini. Tahun 2005, seorang relawan di Jerman membuat saya geram. Ia begitu yakin menyanggupi kontrak kerja sosial 1 tahun dari 6 bulan yang saya tawarkan. Selain berkaitan dengan repotnya mengurus visa, saya tidak pasti apakah ia akan betah berada di tanah air dalam jangka waktu yang lama. Apalagi ia masih muda. Pria blonde itu bahkan berani sumpah, " Kalau tidak sampai satu tahun saya makan sapu." ( red; maksudnya makan sabun, bahasa Indonesianya masih parah kala itu belum bisa membedakan antara B dan P).

Akhirnya, terbuktilah kekhawatiran saya, si jejaka ganteng merengek, minta pulllangg. Sudah tidak betah di tanah air. Alasannya banyak aturan; tidak boleh minum alkohol, tidak boleh bersandal jepit dan bercelana pendek di kampus, larangan seks bebas dan masih banyak lagi.

[caption id="attachment_289086" align="aligncenter" width="430" caption="Konsekwensi di Indonesia, hadapi nilai dan norma yang berlaku"][/caption]

Selamahampir delapan tahun ini, saya memperhatikan budaya minum rakyat Angela. Mereka ini meminum bir layaknya air putih. Kalau ada pertemuan pasti ada bir. Selain itu wine juga disukai, mudah dan murah didapat. Saya bisa membayangkan rasanya orang tidak meminumnya dalam hitungan bulan bahkan tahun. Seperti bunga yang kekurangan air. Alum, layu. Masalahnya adalah nilai dan norma di negeri kita berbeda. Benturan ini pasti menyisakan dilema yang luar biasa sulitnya.

Kematian Lukas bukan pertama kalinya, sudah ada pendahulunya. Semoga catatan kematian orang asing itu tak mewarnai Semarang dengan arang. Kota ATLAS ini kian memasuki masa puber; cantik, merekah dan menggugah gairah, jangan menjadi sampah. (G76).

Semarang, 27 Agustus 2013

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun