Mohon tunggu...
Fajar Setiawan Roekminto
Fajar Setiawan Roekminto Mohon Tunggu... profesional -

Konsultan "Republik Tikus"

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Untuk Sahabatku Terkasih, Rima (Sebuah Surat)

10 Februari 2014   09:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:59 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rima yang baik, kemarin aku mengajar matakuliah Drama. Saat kita kuliah dulu, aku tidak pernah tertarik untuk belajar menganalisis drama. Memang tidak ada yang salah apakah aku suka atau tidak menganalisis drama dan aku memang ingin sekali megenang apa yang pernah kita bicarakan dan pelajari dahulu mengenai hal ini. Rasanya baru kemarin kita berboncengan bersama untuk sekedar mengerjakan tugas matakuliah dramadi lantai dua perpustakaan pusat kampus kita dulu.

Rima, ada sesuatu yang menarik untuk aku ceritakan padamu. Sebuah kejadian yang mungkin hanya kamu yang mau mendengarkan ceritaku ini. Begini ceritanya. Seperti biasa aku mengajar dengan terlebih dahulu memulai dengan berbasa basi – basi ria selama beberapa menit. Satu dua mahasiswaku datang terlambat dan aku membiarkan mereka masuk, ada banyak alasan yang mereka kemukakan mengapa mereka datang terlambat, namun aku sudah melarang mereka untuk memberi alasan, “Macet pak.” Beberapa semester yang lalu aku sudah katakan pada para mahasiswa bahwa tidak satupun ruas jalan di Jakarta yang tidak macet, dan itu sebabnya barangkali jadi banyak juga kredit – kredit yang macet di bank. Aku juga “mengajari” mereka cara memberi alasan dan berbohong. Aku bilang pada mereka kalau ingin menjadi pembohong yang baik jangan pernah menjadi pelupa. Kadang aku merasa bersalah mengapa aku mengajari mereka seperti itu, apakah ini buah – buah belajar sastra? Namun sisi positifnya, frekuensi keterlambatan mereka dari hari ke hari menjadi semakin kecil setelah aku “mengajari” mereka berbohong dan memberikan alasan. Meskipun tentu masih ada saja beberapa mahasiswa yang datang terlambat dengan segudang alasan yang sudah mereka susun dengan sangat rapi dari rumah. Aku jadi teringat, bukankah kita juga sering melakukan hal yang sama ketika masih mahasiswa. Kamu tentu masih ingat kita musti bergantian “mbolos” karena kelas kita yang hanya diisi oleh delapan mahasiswa.

Rima yang baik, ketika aku sedang memberi kuliah, tiba – tiba ada mahasiswaku yang bertanya, “Pak, sebenarnya untuk apa kita belajar Prosa, Drama, Puisi dan belajar sastra secara umum?” Aku terdiam dan terkekeh dalam hati. Pertanyaan sederhana tetapi sebenarnya bermakna sangat mendalam. Dan kamu tahu, itu adalah pertanyaan entah keberapa dari mahasiswa - mahasiswaku sejak aku menjadi pengajar. Hampir setiap semester ada saja mahasiswa yang memberiku pertanyaan serupa. Wajar kalau mahasiswaku bertanya seperti itu dan barangkali pertanyaan itu juga mewakili pertanyaan masyarakat kita. Barangkali benar juga, apa sih gunanya sastra, toh sastra tidak mungkin dipakai ketika kita bekerja dikantor atau ditempat kerja kecuali memang kelak akan menjadi guru atau dosen sastra. Berbeda dengan belajar bidang ilmu yang lain, khususnya yang bersifat pragmatik. Belajar komputer misalnya. Jelas dipakai dalam bidang pekerjaan, minimal ketika bekerja dikantoran. Berbeda juga misalnya kalau belajar AkuntansiManajemen. Kadang aku sendiri berpikir kalau sastra itu sendiri adalah ilmu yang tidak karuan dan tidak jelas. Kenapa juga aku belajar sastra. Mungkin mahasiswaku berpikir kalau belajar sastra itu kelak ia hanya akan menjadi pembaca puisi yang biasa aku lihat di bus kota, membaca beberapa bait puisi kemudian membuka topi dan menyodorkannya kepada para penumpang untuk sekedar mendapatkan uang lima ratusan yang kemudian setelah terkumpul dipakai untuk membeli sebotol whiski murahan hingga dia dapat mengkhayal kembali dan menulis puisi. Mungkin juga mahasiswaku berpikir kalau belajar sastra itu hanya akan mencetak seniman gondrong, dekil, bau dan tidak pernah mandi yang biasa ia lihat di TIM (Taman Ismail Marzuki) atau kalau sedikit lebih “beruntung” bisa menjadi dosen sastra.

Rima sahabatku, meski aku tersenyum mendengar pertanyaan itu, tapi terus terang hatiku sedih. Sebegitu hinakah sastra, sebegitu tidak berartinyakah sastra sehingga orang selalu dengan sinis bertanya, “Untuk apa belajar sastra?” Tanpa belajar sastra sekalipun orang bisa memiliki pekerjaan dengan gaji besar, rumah, mobil dan jabatan yang sangat prestisius dalam masyarakat. Hanya orang – orang bodoh saja yang belajar sastra barangkali itu pikiran mereka.

Rima, aku segera menjawab pertanyaan itu sekenanya saja untuk menarik perhatiannya. “Setelah belajar sastra, kalian bisa saja menjadi satpam, tukang jualan mie ayam dan pekerjaan apa saja yang kalian suka.” Itulah jawabanku. Tentu dia protes dengan jawaban itu. Mereka menganggap aku tidak serius, meski sebenarnya aku telah memerankan diriku sendiri dengan baik dan benar untuk tidak pernah menjadi manusia yang lahir batin serius.Bukankah keseriusan sebenarnya hanya dimiliki oleh mereka yang kelihatan tidak serius. Entahlah aku sendiri akan terus mencoba untuk menemukan dimana disekitar kita masih tercecer “keseriusan”.

Rima, mahasiswaku mungkin tidak sadar bahwa genre – genre sastra telah mampu membuat kita memahami apa yang diinginkan oleh manusia dan apa keunikan manusia. Puisi mungkin tidak ada artinya dan hanya susunan kata – kata “gombal” yang dibuat oleh orang – orangfrustasi. Novel adalah tulisan ecek – ecek yang berisi khayalan, atau drama yang mementaskan dunia yant sama sekali tidak pernah ada. Tapi bukankah puisi – puisi mampu melatih kita untuk merasakan getaran yang ada dalam hati kita, entah itu rasa kesal, marah, sedih, dan gembira. Puisi dan juga genre sastra yang lain juga mampu mengasah kepekaan kita hingga kita tidak menjadi badak. Untuk yang satu ini aku ingat ketika seorang pejabat negara yang marah – marah ketika seorang guru membacakan sebuah puisi. Pejabat itu tersinggung karena merasa kondisi yang digambarkan mengenai keadaan sekolah dinegeri kita tidak seperti yang digambarkan dalam puisi yang dibacakan oleh si guru tersebut. Aku jadi ngeri membaca berita itu. Bagaimana mungkin negeri kita tercinta ini ini dipimpin oleh badak yang tidak memahami seni. Mungkin dia tidak pernah belajar sastra, atau seni yang lain, atau mungkin juga pejabat negara tadi memahami seni sebagai sesuatu yang bisa dijual. Mereka yang tidak bisa merasakan manfaat seni dalam kehidupannya niscaya dia tidak akan pernah memiliki empati dan bisa diduga kebijakan macam apa yang akan dia keluarkan. Dunia hanya dipandang hitam dan putih hingga manusia dianggap tidak lebih sebagai robot – robot yang bisa dicekoki oleh ideologi dan “teks – teks” yang tidak pernah ditafsirkan.

Rima yang baik, aku jadi berkhayal seandainya aku punya negarawan yang memahami sastra dan seni. Dalam hal ini aku sering berpikir mengapa aku tidak dilahirkan kembali sehingga sempat merasakan pemimpin macam Soekarno, Hatta dan Syahrir yang memilikisense of art yang amat tinggi hingga mereka tahu bagaimana menjadi seorang pemimpin sekaligus menjadi manusia. Jujur saja Rima, aku kadang merenung apa yang akan terjadi kelak pada bangsa kita jika seni dan sastra jauh dari kehidupan keseharian. Tidakkah kau sadar para pemimpin, baik lokal maupun nasional hanya seongok begundal, bandit dan makelar. Onggokan – onggokan itulah yang selama ini mentertawakan sastra. Aku juga berandai – andai memiliki sosok negarawan macam Pablo Neruda. Sastra adalah beyond, karena penjelasan tidak lagi perlu dalam sastra melainkan hati, jiwa yang memaknai.

Rima, kembali pada cerita mahasiswaku itu. Aku masih ingat kuliah Sejarah Kesusastraan Inggris. Kita tahu jaman Inggris kuno puisi sengaja ditulis untuk dinyanyikan dan biasanya diiringi oleh harpa, dan mungkin kau masih ingat istilah scop atau bard, lewat scop atau bard itu puisi dinyanyikan. Puisi – puisi sedih yang menggambarkan kesia – siaan hidup dan ketidakberdayaan manusia menghadapi nasib yang sudah digariskan. Puisi tidak hanya menjadi sebuah hiburan tetapi juga sebuah wacana untuk merenung dan memahami hidup. Dengan kemampuan memahami kehidupan maka akan sangat mudah bagi kita untuk melakukan sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan itu sendiri.

Rima, puisi epik Beowulf contohnya. Masih ingatkan kamu karya itu? Saat itu kamu marah besar karena kritikanku yang "sedikit keras" atas analisismu tentang Beouwulf. Rupanya kamu terlalu sensitif, maafkan aku. Sejatinya kamu tahu, saat aku kuliah dulu, aku paling malas membaca Beowulf. Betapa panjangnya karya itu dan kepalaku masih terus dibuat pening oleh bahasa Inggris kuno yang English native speakers-nyasendiri barangkali banyak yang tidak mengerti vocabulary dalam puisi epik itu.

Rima yang baik, aku cuma membayangkan seandainya banyak pemimpin dan mereka yang mengaku pemimpin membaca Beowulf. Akan sangat bijaksanyanya mereka, ah itu juga mungkin. Para pemimpin tentu akan mencibir, karena puisi epik yang ditulis antara abad 8 sampai ke akhir abad 10 ini hanya sebuah dongeng yang hanya layak dibacakan buat anak – anak dan bukan buat pemimpin. Entahlah, tapi bagiku tidak. Bukankah ketika Beowulf yang membunuh Grendel, si monster jahat, ibunya Grendel dan naga penyembur api kita tahu bahwa itu sebuah tindakan kepahlawanan. Bagaimana seorang pemimpin macam Beowulf tidak hanya menjadi sosok pahlawan tapi juga penyelamat umat manusia. Sebuah peristiwa yang sangat dramatis dan mampu membuat kita bermimpi memiliki pemimpin semacam itu.

Rima yang baik, seandainya kau masih ada di dunia ini, ke ujung dunia pun akan aku cara dirimu, hanya untuk sekedar minum kopi dan ngobrol bersama tentang banyak hal. Itu saja sudah membuat aku sangat bahagia. *****

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun