Program MBG memang menarik secara politis: mudah dipahami masyarakat, cepat mendapat simpati, dan bisa dijadikan simbol kepedulian pemerintah. Namun, dari sisi substansi, ia rawan menjadi program populis yang lebih mementingkan citra ketimbang solusi jangka panjang.
Bayangkan jika sebagian besar anggaran MBG dialihkan untuk:
- Membangun sekolah berkualitas di daerah terpencil.
- Meningkatkan gaji guru honorer setara UMR.
- Memberikan beasiswa penuh bagi anak miskin berprestasi.
- Mengembangkan kurikulum digital yang merata di seluruh Indonesia.
Bukankah dampaknya akan jauh lebih besar terhadap kualitas pendidikan bangsa?
6. Potensi Masalah Teknis dan Korupsi
Selain persoalan prioritas, MBG juga rawan menghadapi masalah teknis di lapangan. Pengadaan makanan dalam jumlah besar seringkali membuka celah bagi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Kasus serupa bisa dilihat dari program bantuan sosial atau proyek pengadaan barang pemerintah. Tanpa sistem pengawasan yang ketat, kualitas makanan bisa rendah, penyedia jasa bisa bermain curang, dan dana negara bisa bocor ke kantong pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Alih-alih menyehatkan anak bangsa, program ini justru bisa menjadi lahan baru praktik korupsi.
7. Perspektif Jangka Panjang: Investasi pada Otak, Bukan Sekadar Perut
Tidak ada yang menyangkal bahwa gizi penting. Tetapi pendidikan bukan hanya soal makan. Pendidikan adalah soal mencerdaskan, membentuk karakter, dan mempersiapkan anak-anak menghadapi tantangan global.
Gizi tanpa pendidikan yang berkualitas hanya akan menghasilkan anak-anak sehat fisiknya, tetapi lemah daya saingnya. Sebaliknya, pendidikan bermutu dengan dukungan gizi yang memadai akan menciptakan generasi emas yang diharapkan Indonesia 2045.
Artinya, program MBG seharusnya bukan menjadi fokus utama, melainkan bagian kecil dari strategi besar pembangunan pendidikan. Tanpa itu, ia hanya akan menjadi proyek jangka pendek yang cepat dilupakan.