Umumnya, seorang anak kecil tentu berada di lingkup sekolah---belajar, bermain, menulis, bercerita, dan melakukan hal-hal sederhana yang menjadi bagian dari dunia anak-anak. Ada riang tawa di jam istirahat, derap langkah saat bel berbunyi, dan rasa penasaran setiap kali guru menjelaskan pelajaran baru.
Namun, tidak semua anak memiliki cerita seperti itu. Di luar sana, ada anak-anak yang harus menempuh perjalanan berbeda---perjalanan yang tak mereka pilih, tapi harus mereka jalani. Mereka tidak duduk di bangku sekolah, melainkan di kursi plastik pinggir jalan. Mereka tidak membawa buku dan pensil, tapi membawa lap semir sepatu, kotak kecil berisi peralatan mengamen, atau karung lusuh untuk memulung. Dari satu tempat ke tempat lain, dari pagi hingga larut malam, mereka berjuang untuk mendapatkan uang---bukan untuk jajan atau membeli mainan, tapi untuk bertahan hidup.
Mereka menawarkan jasa semir sepatu dengan senyum yang terkadang dipaksakan. Ada yang menjadi manusia silver, rela tubuhnya dipenuhi cat demi menarik perhatian orang di lampu merah. Ada pula yang berjualan tisu, air mineral, atau makanan kecil, sambil berharap setiap pengendara mau membuka kaca mobilnya. Bahkan, memulung pun tidak sungkan dilakukan---semua demi satu hal: hidup yang lebih baik.
Di balik tubuh kecil yang berlari-lari di panas dan hujan itu, ada isi hati yang jarang kita dengar. Mungkin, kalau kita bisa masuk ke benak mereka, kita akan mendengar suara seperti ini:
"Kadang aku mikir... kalau aja aku masih bisa sekolah, mungkin sekarang aku lagi duduk di kelas, pegang buku, dengerin guru ngomong di depan papan tulis. Tapi yang ada, aku di sini... di jalan, bantuin ibu jualan, atau ikut bapak kerja serabutan. Temen-temenku masih pake seragam, sementara aku cuma punya kaos lusuh. Dulu aku pengen banget jadi guru, soalnya keren bisa ngajar orang. Sekarang mimpi itu kayak awan, ada tapi susah digapai. Orang bilang kalau mau sukses harus sekolah... tapi aku nggak punya pilihan. Aku nggak nyerah, sih, tapi kadang capek juga. Masa depan itu... rasanya kayak jalan panjang yang nggak kelihatan ujungnya. Aku cuma berharap suatu hari nanti, aku bisa buktiin kalau anak kayak aku juga bisa berhasil. Tapi... entah gimana caranya."
Meski hidupnya keras, mereka tetap memiliki harapan. Mereka percaya ada hari yang lebih baik, bahkan kalau jalannya penuh kerikil. Mereka mungkin tidak punya seragam sekolah, tapi mereka punya baju besi yang tak terlihat---baju ketabahan, keberanian, dan kerja keras.
Perjalanan hidup mereka mungkin terlihat biasa di mata orang---sekadar anak yang bekerja di jalan. Padahal, apa yang mereka alami adalah sesuatu yang luar biasa. Mereka tetap berdiri tegak di tengah badai, tetap berusaha tersenyum di tengah letih, dan tetap memandang ke depan walau kabut menutup pandangan.
Dan di dalam hati kecil mereka, tersimpan doa yang terus mereka kirimkan kepada Tuhan: agar suatu hari nanti, hidup mereka berubah. Agar tangan yang hari ini mengamen, memulung, atau berjualan, suatu saat bisa menulis di atas meja kerja yang layak. Agar langkah kaki yang hari ini berjalan tanpa tujuan pasti, kelak bisa menapak di jalan yang lebih terarah.
Perjalanan mereka memang tidak dimulai dari tempat yang indah, tapi siapa yang tahu di mana akan berakhir? Karena sering kali, kisah paling menginspirasi datang dari mereka yang memulai hidup di titik terbawah, namun tetap berani menatap langit dan berkata,
"Aku akan terus berjalan."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI