Mohon tunggu...
G A Siswoko
G A Siswoko Mohon Tunggu... -

the free man is a man who live in truth

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Modern War (1)

6 Maret 2014   20:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:10 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam sebuah penataran yang pernah saya ikuti ada sebuah kalimat yang sampai sekarang terngiang-ngiang dalam benak saya. Kalimat itu adalah Modern War alias perang modern. Sang pembicara mengatakan Indonesia sedang menghadapi sebuah problema yang cukup pelik, yakni sudah menjadi ajang perang modern dari berbagai pihaknya. Sayangnya, hal ini tidak begitu disadari, karena memang prosesnya sangat halus dan terselubung.

Andaikan boleh dikomparasikan dengan perang konvensional, perang modern lebih menekankan pada soft attack, alias bukan mentargetkan bangunan fisik. Perang modern ini justru menyerang pada objek yang sangat fundamental, manusia-manusia Indonesia.

Indikatornya sangat jelas, yakni degradasi moral, jiwa patriotisme, semangat kesetiakawanan dan lain-lain yang dulu masih dijunjung oleh bangsa ini. Sebagi contoh kecil namun kongkrit, generasi muda yang paling dini disibukkan dengan berbagai game online yang menguras waktu sehingga mereka lupa pentingnya bersosialisasi, melatih keterampilan apalagi mengejar nilai akademik.

Game online ini, menjamur dan mewabah sampai ke desa-desa, sehingga banyak anak kecil rela mencuri uang orang tuanya atau uang sekolah demi bermain game online. Perang modern telah menjadikan anak-anak sebagai target utama, dan sampai saat ini hal ini belum disadari dan ditanggulangi dengan serius.

Fenomena game online bahkan lebih besar dari ledakan rental PS atau ding-dong yang pernah booming beberapa dekade lalu. Selain fenomena video games, anak-anak pun disajikan hiburan-hiburan yang keblinger, hasil kolaborasi dari media nasional yang tidak nasionalis serta kumpulan pejabat pembuat kebijakan. Indikatornya? Lihat dan nyalakan stasiun teve anda! Jam-jam penting justru dijejali dengan tayangan-tayangan kosong mlompong yang ke-tidak-penting-annya tidak perlu dibahas disini.

Televisi yang seharusnya mampu memainkan fungsinya sebagai media pendidikan dan penjalin persatuan dan kesatuan kini hanya sebagai sarana tambang emas bagi para investor. Teve juga membuat generasi kita menjadi angkatan kaum pemalas, yang lebih suka duduk menghabiskan berjam-jam di televisi daripada berkreasi apalagi belajar.

Ya inilah kebebasan bung. Asalkan kau bisa punya duit, goyang ngebor, patah-patah, oplosan, dan lain-lain boleh ditayangkan kapanpun, biarpun pada waktu itu banyak anak kecil yang melihat. Lantas mau dikemanakan negeri ini? Inget, udara dan ruang publik adalah harta kekayaan negara yang harusnya dikuasai oleh negara untuk kesejahteraan rakyat, bukan mencetak generasi pemalas.

Tentu masih banyak sekali hal yang bisa dikritisi dari televisi, terutama televisi swasta. Tapi mari kita melompat sejenak ke serangan berikutnya, yakni di ranah literasi. Ketika anak-anak keluar rumah ataupun gerbang sekolah, mereka akan disuguhkan serangan tulisan secara membabi-buta, mulai dari bualan para caleg, media masa yang disuguhi berita pemerkosaan, pencurian, perampokan sampai iklan rokok yang dibuat sehalus-halusnya. File dalam memori anak-anak kita akan merekam itu semua, dan jelas itu akan mempengaruhi mereka.

Modern war juga telah menyerang sisi pendidikan, dimana kebanyakan guru lebih banyak menghabiskan waktunya di meja kerja menyusun administrasi demi mengejar sertifikasi dan melupakan anak didiknya. Fenomena para pelacur smp dan berandal-berandal belia harusnya menjadi bukti yang bisa menampar kita semua bahwa modern war memang nyata adanya.

Ini adalah sebuah serangan sistematis, dimana generasi muda menjadi terlena dengan kemudahan. Sepeda motor dibuat murah, bahkan kredit, sehingga anak SMP tidak mau masuk sekolah kalau tidak dibelikan. Coba lihat negara maju di barat, kalau tidak naik mobil, ya naik kereta, bis atau jalan kaki. Anak-anak menjadi sangat manja dan parahnya mereka memuja kemanjaan itu. Padahal jelas, manja dan malas adalah pintu dan jendela bagi kejahatan.

Belum lagi masalah narkotika yang kini sudah menyisir anak usia SD. Hal ini, sekali lagi, harusnya menjadi rudal yang meledakkan pemikiran bahwa everything is okay! Modern war di depan mata kita, dan jikalau kita tidak bersiap, entah bagaimana nasib republik ini selanjutnya.

Kita kemudian merindukan generasi 1920an yang trengginas, penuh dedikasi, berjiwa baja dan bermental banteng. Atau generasi 1945 yang heroik, semangatnya lebih membara dari mentari dan pengabdiannya melebihi langit. Atau generasi Habibie, yang walau hidup dalam jaman diktator suharto, telah terbukti nyata menjadikan republik ini disegani.

Tidak perlu menyalahkan Belanda karena sudah menjajah kita sekian lama. Atau suharto dan kroni termasuk partai beringinnya yang mencengkeram Indonesia begitu keras. Mengapa? Terbukti, di dua masa itu, negeri ini telah menelurkan generasi banteng berjiwa garuda.

Jika modern war ini terus disepelekan, maka mungkin, ketika generasi sekarang habis, beberapa waktu kedepan, anak cucu kita hanya akan tahu, bahwa dulu pernah ada sebuah negara bernama Indonesia, dari buku-buku sejarah usang di lemari tua perpustakaan. Dan kita, akan menjadi tertawaan langit.

pada lain kesempatan, penulis akan mengajak untuk membahas pentingnya ruang yang benar-benar 'aman' untuk berkembangnya anak-anak dan modern war di ranah media sosial

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun