Mohon tunggu...
Farah Yuliana
Farah Yuliana Mohon Tunggu... Analis Kimia

Manusia berkepribadian melankolis-plegmatis yang menyukai hal-hal rumit.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sempurna atau Selesai? Membongkar Alasan Prokrastinasi di Balik Obsesi Kualitas

29 September 2025   09:29 Diperbarui: 29 September 2025   17:14 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Apakah Anda sering merencanakan kegiatan, baik harian maupun mingguan? Di antara kegiatan-kegiatan yang direncakan, tentu salah satunya berupa mengerjakan tugas ataupun pekerjaan. Sebesar apakah niat Anda untuk melakukannya? Tentu sangat berniat bukan? Akan tetapi, apakah tugas atau pekerjaan tersebut dikerjakan sesuai waktu yang telah ditentukan atau malah menunda dan terus menunda? Pada kenyataannya, tak jarang orang-orang menunda dan terus-menerus mengatur ulang jadwal hingga waktu yang tidak dapat ditentukan. Seperti kata orang-orang, “Niat sudah ada, tapi kalau bisa nanti kenapa tidak?”. Bukan karena malas apalagi sibuk, tetapi bagi sebagian orang bisa jadi karena kecemasan akan ketidaksempurnaan hasil yang tentunya tidak sesuai ekspektasi. Coba renungkan, apakah Anda termasuk orang itu? Jika iya, mungkin Anda selalu dilema memilih antara sempurna atau selesai?

Kondisi menunda-nunda pekerjaan secara sengaja dan disadari ini dikenal dalam istilah psikologi sebagai prokrastinasi. Istilah ini berasal dari bahasa Latin “pro” dan “crastinus”.[1] Kata “pro” berarti maju, ke depan, dan lebih menyukai, sedangkan “crastinus” berarti besok sehingga prokrastinasi dapat diartikan lebih suka dan memilih mengerjakan tugas atau pekerjaannya besok, besok, dan besoknya lagi. Perilaku ini menimbulkan opini bahwa prokrastinator memiliki kebiasaan buruk yang disebabkan oleh kemalasan. Padahal bagi sebagian orang terutama pelajar/mahasiswa, penundaan terjadi karena dipicu oleh sifat kepribadian yang dimiliki, yaitu perfeksionisme– sifat kepribadian yang ditandai dengan hasrat untuk meraih kesempurnaan dalam segala aspek dengan standar yang terlalu tinggi dan tidak mentolerir kesalahan. Seorang perfeksionis akan terobsesi pada kualitas dan justru menjadi musuh produktivitas. Artikel ini akan membongkar alasan di balik prokrastinasi karena sifat perfeksionisme yang dimiliki seseorang serta menawarkan beberapa strategi sebagai solusi.

Kegagalan,  ketidakpuasan, juga kesalahan menjadi inti dari permasalahan ini. Seorang perfeksionis selalu memiliki target capaiannya sendiri, baik disadari maupun tidak dan cenderung tidak menyukai kegagalan. Mereka selalu mencemaskan waktu dan usaha yang dikerahkan tidak sebanding dengan hasil yang akan diperoleh. Lucunya, tidak ada celah untuk sebuah kesalahan bagi seorang perfeksionis. Dalam hal tugas, biasanya mereka selalu melakukan pengecekan ulang dan merevisinya terus-menerus sampai dirasa sempurna. Obsesi terhadap kualitas yang berlebihan ini tentu melelahkan dan menyita energi serta waktu yang terlalu banyak, padahal belum tentu hasilnya seratus persen sempurna. “Mau dikerjakan sekarang ataupun besok hasilnya pasti sama saja, jadi untuk apa cape-cape mengerjakan sekarang?”, pertanyaan monolog yang selalu terbersit dalam benak si perfeksionis. Siklus ini memberikan tekanan luar biasa dan mendorong timbulnya kebiasaan menunda sehingga tak jarang para perfeksionis tanpa sengaja memutuskan untuk menjadi prokrastinator dengan dalih daripada menghasilkan sesuatu yang biasa saja atau berusaha keras sampai sempurna yang tiada ujungnya, lebih baik dilakukan nanti. Pada akhirnya mereka melakukan hal lain yang menyenangkan, seperti scroll sosial media, menonton film/drama favorit, nongkrong atau bermain dengan teman, dan lain sebagainya.

Kebiasaan menunda ini jika terus dilakukan tentu menimbulkan dampak negatif bagi si pelaku. Dampak paling umum yang terjadi di antaranya ialah dikejar deadline, kualitas kinerja menurun, stress, bahkan jatuh sakit karena terlalu memforsir diri. Terkadang, hasil yang diperoleh pun justru malah lebih buruk dan sangat jauh dari ekspektasi. Bukankah lebih baik  dikerjakan dahulu semampunya daripada dikerjakan esok hari tapi telat dan tetap saja belum maksimal? Jika tugas atau pekerjaannya segera diselesaikan, meski tidak sempurna dan kepuasan diri tidak tercapai, setidaknya semua pekerjaan beres, beban hilang satu-persatu, dan Anda tentu akan merasa lega. Perubahan pola pikir dari yang awalnya “sempurna, harus sempurna” menjadi “selesai, yang penting selesai” dapat memutus rantai prokrastinasi. Selesai bukan berarti dikerjakan asal-asalan atau semaunya. Selesai di sini berarti dikerjakan sekarang, dengan serius, dan terus selesaikan satu-persatu. Pola pikir selalu menjadi kunci bagaimana manusia bertindak.

Disiplin diri menjadi hal penting setelah merubah pola pikir dan mendukung proses keluar dari siklus prokrastinasi. Membuat list daily routine, mengkonversi tugas-tugas kecil menjadi misi yang harus diselesaikan, belajar dari kesalahan di masa lalu, dahulukan kelegaan daripada kepuasan, dan mulai tegas terhadap diri sendiri dapat dijadikan opsi lain jika Anda berminat. Pada akhirnya, belajar melepaskan obsesi kualitas yang berfokus pada kesempurnaan merupakan langkah awal menuju produktivitas yang lebih sehat. Tidak ada salahnya memiliki standar yang tinggi, tetapi jika standar tersebut justru membuat kita tidak bergerak sama sekali, mungkin sudah saatnya kita bertanya: Apakah tujuan kita sebenarnya sempurna, atau selesai?

Catataan kaki:

[1]Fauziah HH. 2015. Faktor-faktor yang mempengaruhi prokrastinasi akademik pada mahasiswa fakultas psikologi UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Psympathic: Jurnal Ilmiah Psikologi. 2(2):123-132. doi: 10.15575/psy.v2i2.453

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun