Oleh: Furkan Y.K_
Mataram, Selasa 14 Oktober 2025 (Buku Mutiara Donggo)_-Ghazaly Ama La Nora.
Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi TabloidKilas Drs. Muslimin Hamzah dalam tulisannya tentanng Dou Donggo di sebuah majalah nasional terbitan Jakarta mengatakan bahwa ejekan terhadap orang Donggo berawal ketika membangkang terhadap perintah Raja Bima untuk membayar blasting, bea/pajak kepada raja (Majalah Progress edisi III,November-Desember 2000, halaman 53-53).
Substansinya, bukan orang Donggo yang tidak mau bayar pajak, namun yang menjadi persoalan bahwa bea/pajak yang dikumpulkan itu bukan untuk pembangunan menyejahterakan masyarakat Bima. Tapi,untuk disetor ke penjajah Belanda. Sedangkan Belanda musuh kita yang harus dilenyapkan dari muka bumi. Orang Donggo beranggapan, membayarpajak sama saja dengan memberi senjata kepadamusuh guna menghancurkan kita sendiri. Kerangka berpikir orang Donggo yang sangat Strategis Nasionalis itu dianggap oleh raja sebagai pembangkangan terhadap perintahnya. Ini kan kebodohan yang tak terukur nilainya. Akibatnya, sang raja marah dengan mengucapkan kata,"Dasar Dou Donggo."
Nah, orang awam di sekitar kota Bima ikut-ikutan mengolok orang Donggo dengan kata-kata,"Dasar dou Donggo, Lako Donggo..." Sehingga membudaya sampai sekarang, terutama orang-orang yang mengaku diri keturunan bangsawan dan orang-orang kota.
Kekasaran yang di tunjukkan raja tidak membuat nyali orang Donggo ciut. Mereka justru makin melawan pembayaran pajak ke pihak kerajaan. Orang Donggo memboikot pembayaran pajak. Peristiwa tersebut menimbulkan kekesalan Ompu Donggo. Dihadapan ompu-ompu lain dan pejabat kerajaan, Ompu Donggo di marahi dan di hina habis-habisan.
Ompu Donggo terpukul dengan adanya peristiwa tersebut. Dia menyayangkan sikap raja yang tidak seharusnya,'"Padahal, ada forum tersendiri menurut adat, jika raja akan memarahi pejabat," kata batin Ompu Donggo. Ia pun pulang ke Donggo dengan perasaan malu bercampur dongkol.
Seperti biasa, tiap musim panen para pejabat daerah mempersembahkan hadiah kepada raja di istana. Hadiah itu berupa hasil panen berikut kerbau jantan bertanduk lebar. Dalam idiom setempat di katakan "Sahe dala wanga." Kerbau tersebut seukuran dua rentangan tangan orang dewasa. Begitu lebarnya tanduk kerbau, hingga bila binatang itu melewati lare-lare (pintu gerbang), kepalanya harus di miringkan agar bisa masuk melewati Istana.
Tiap penguasa wilayah berusaha memper-sembahkan kerbau paling besar sebagai tanda kepatuhannya kepada raja. Ketika para penguasa daerah datang, raja biasanya duduk di istana menghadap lare-lare. Raja dengan sendirinya menyaksikan satu per satu para Ompu membawa hadiah.
Setahun setelah peristiwa, Ompu Donggo seperti biasa datang mampersembahkan hadiah, tahun berikutnya juga begitu. Rupanya pada kali ketiga, Ompu Donggo membayar sakit hatinya. Ia datang membawa hasil panen berikut seekor anak kerbau cacat kurus kering yang tidak bertanduk.
Menyaksikan ulah Ompu Donggo, raja marah. Kemudian ia bangkit dari kursinya dan pergi keruang pertemuan. Di ruang pertemuan telah menunggu pula Ompu-ompu yang lain. Wajah raja tampak merah padam. "Ompu Donggo, kaulancang!" kata raja seraya menunjuk Ompu Donggo. Raja pun meluapkan kemarahan dalam waktu yang cukup lama.
Begitu ada kesempatan bicara Ompu Donggo berkata,"Baginda, utang penghinaan dibayar penghinaan, utang nyawa dibayar nyawa. "Ruang pertemuan pun hening. Ompu Donggo bicara lagi,Â
"Baginda tentu belum lupa peristiwa tiga tahun silam. Baginda memarahi hamba di depan seluruh pejabat kerajaan. Baginda telah mempermalukan hamba."
"Baginda," kata Ompu Donggo, "Apa artinya nyawa di bandingkan dengan harga diri."
Setelah berkata begitu, Ompu Donggo mencabut keris kebesaran yang ada di pinggangnya. "Mohon permasalahan hamba di selesaikan secara laki-laki," katanya sembari menyodorkan keris kepada raja. Dengan jiwa besar Ompu Donggo memberikan pula Sambolo (ikat kepala khas Bima) miliknya sebagai Samawo.
Samawo adalah penutup leher binatang sembelihan. "Pakailah Sambolo hamba," kata Ompu Donggo. Dan ia berpesan,"Kiranya Baginda berkenan mengembalikan Sambolo yang berlumuran darah nanti ke Donggo. Biarlah rakyat tahu bahwa moyangnya adalah orang yang menjunjung tinggi harga diri.Â
"Raja dengan sigap menerima keris dari tangan Ompu Donggo. Seluruh pejabat yang hadir puct pasi dan menahan napas menyaksikan peristiwa tersebut. Di Dorong Oleh Amarah, Sekali Sabet Saja Kepala Ompu Donggo Terpisah dari Badannya. Nyawa Ompu Donggo pun melayang seketika. Sesuai pesan Ompu Donggo, mayat berikut sambolo-nya dikirim ke Donggo. Sebagai pejabat kerajaan, ia tetap mendapat perlakuan yang wajar.
Konon Sambolo Kala Ompu Donggo kini masih tersimpan di Desa Kala. Benda itu menjadi warisan untuk dikenang sebagai lambang keberanian untuk melawan kesewenang-wenangan. Sesepuh masyarakat Donggo, Jamaludin H. Yasin mengakui ketika peristiwa 1972, sambolo dikeluarkan dari penyimpanannya. Kala itu masyarakat Donggo melakukan long march (perjalanan panjang) ke Bima guna menggugat Bupati Bima, Letkol (Pur) TNI AD Suharmadji yang mereka nilai korup.
Ompu Donggo sesungguhnya merupakan manusia Donggo. Mereka kerap tampil beda dengan ciri utama pribadinya, yakni berani. Tidak berlebihan bila di katakan manusia Donggo adalah replika manusia Bima. Maka, kalau mau melihat manusia Bima, Donggo-lah replikanya. Perjalanan komunitas ini terbilang unik. Lebih mirip lakon yang diperankan moyangnya. Mereka seperti melompat dari satu pristiwa ke peristiwa lain.
Jika membuka lembaran sejarah Bima, ketika Sultan Abdul Kahir mengukuhkan Islam sebagai agama raja dan kerajaan, orang Donggo menolak Islam. Mereka tetap patuh pada kepercayaan lama yakni animisme. Islam baru masuk dan di anut masyarakat Donggo setelah 300 tahun lebih menjadi agama raja dan kerajaan Bima. Sultan Salahuddin yang berhasil membuka jalan ke sana.
Penolakan itu menempatkan komunitas ini sebagai satu kutub yang berhadapan dengan kerajaan Bima sebagai kutub lain. Pihak orang Donggo telah membuka konfrontasi dengan kerajaan. Puncak konfrontasi dua kutub itu meletus pada masa Sultan Ibrahim (1881-1915). Momen itu terkenal dengan perang Donggo atau Perang Kala.
Suatu ketika SuItan Ibrahim datang ke Donggo untuk membujuk mereka khususnya orang Kala agar mau tunduk pada Belanda. Orang-orang Donggo secara terang-terangan menampik ajakan Sultan. Sultan pun murka dan menggempur Kala. Karena kecewa dengan sikap Sultan yang kooperatif (mau bekerja sama) dengan Belanda, rakyat Kala dan Donggo umumnya mencoba membunuh Sultan, akan tetapi gagal. Perang Kala pun meletus padatahun 1909 dan berakhir pada Juni 1910.
Sultan Ibrahim bersama Raja Muda Tureli Donggo, Muhammad Salahuddin, datang bersama orang Donggo yang gagah berani di antaranya Ntehi, Ngita dan Juru Ncahu. Mereka berunding di Asi (Istana) Mbojo bersama Sultan. Tapi ketika beberapa saat mereka berunding, Istana dikepung pasukan Belanda. Ketiga orang Donggo itu ditangkap dan dibuang ke Goa Makassar. Mereka dibebaskan sepuluh tahun kemudian. Donggo pun kalahdengan tipu muslihat Belanda.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI