Menyaksikan ulah Ompu Donggo, raja marah. Kemudian ia bangkit dari kursinya dan pergi keruang pertemuan. Di ruang pertemuan telah menunggu pula Ompu-ompu yang lain. Wajah raja tampak merah padam. "Ompu Donggo, kaulancang!" kata raja seraya menunjuk Ompu Donggo. Raja pun meluapkan kemarahan dalam waktu yang cukup lama.
Begitu ada kesempatan bicara Ompu Donggo berkata,"Baginda, utang penghinaan dibayar penghinaan, utang nyawa dibayar nyawa. "Ruang pertemuan pun hening. Ompu Donggo bicara lagi,Â
"Baginda tentu belum lupa peristiwa tiga tahun silam. Baginda memarahi hamba di depan seluruh pejabat kerajaan. Baginda telah mempermalukan hamba."
"Baginda," kata Ompu Donggo, "Apa artinya nyawa di bandingkan dengan harga diri."
Setelah berkata begitu, Ompu Donggo mencabut keris kebesaran yang ada di pinggangnya. "Mohon permasalahan hamba di selesaikan secara laki-laki," katanya sembari menyodorkan keris kepada raja. Dengan jiwa besar Ompu Donggo memberikan pula Sambolo (ikat kepala khas Bima) miliknya sebagai Samawo.
Samawo adalah penutup leher binatang sembelihan. "Pakailah Sambolo hamba," kata Ompu Donggo. Dan ia berpesan,"Kiranya Baginda berkenan mengembalikan Sambolo yang berlumuran darah nanti ke Donggo. Biarlah rakyat tahu bahwa moyangnya adalah orang yang menjunjung tinggi harga diri.Â
"Raja dengan sigap menerima keris dari tangan Ompu Donggo. Seluruh pejabat yang hadir puct pasi dan menahan napas menyaksikan peristiwa tersebut. Di Dorong Oleh Amarah, Sekali Sabet Saja Kepala Ompu Donggo Terpisah dari Badannya. Nyawa Ompu Donggo pun melayang seketika. Sesuai pesan Ompu Donggo, mayat berikut sambolo-nya dikirim ke Donggo. Sebagai pejabat kerajaan, ia tetap mendapat perlakuan yang wajar.
Konon Sambolo Kala Ompu Donggo kini masih tersimpan di Desa Kala. Benda itu menjadi warisan untuk dikenang sebagai lambang keberanian untuk melawan kesewenang-wenangan. Sesepuh masyarakat Donggo, Jamaludin H. Yasin mengakui ketika peristiwa 1972, sambolo dikeluarkan dari penyimpanannya. Kala itu masyarakat Donggo melakukan long march (perjalanan panjang) ke Bima guna menggugat Bupati Bima, Letkol (Pur) TNI AD Suharmadji yang mereka nilai korup.
Ompu Donggo sesungguhnya merupakan manusia Donggo. Mereka kerap tampil beda dengan ciri utama pribadinya, yakni berani. Tidak berlebihan bila di katakan manusia Donggo adalah replika manusia Bima. Maka, kalau mau melihat manusia Bima, Donggo-lah replikanya. Perjalanan komunitas ini terbilang unik. Lebih mirip lakon yang diperankan moyangnya. Mereka seperti melompat dari satu pristiwa ke peristiwa lain.
Jika membuka lembaran sejarah Bima, ketika Sultan Abdul Kahir mengukuhkan Islam sebagai agama raja dan kerajaan, orang Donggo menolak Islam. Mereka tetap patuh pada kepercayaan lama yakni animisme. Islam baru masuk dan di anut masyarakat Donggo setelah 300 tahun lebih menjadi agama raja dan kerajaan Bima. Sultan Salahuddin yang berhasil membuka jalan ke sana.
Penolakan itu menempatkan komunitas ini sebagai satu kutub yang berhadapan dengan kerajaan Bima sebagai kutub lain. Pihak orang Donggo telah membuka konfrontasi dengan kerajaan. Puncak konfrontasi dua kutub itu meletus pada masa Sultan Ibrahim (1881-1915). Momen itu terkenal dengan perang Donggo atau Perang Kala.